Sabtu, 30 November 2013

Penyelewengan BUMN Berlatar Politik

Penyelewengan BUMN Berlatar Politik
Arif Minardi  ;   Anggota Komisi VI DPR
KORAN JAKARTA,  28 November 2013
  


Ada sederet modus penyelewengan dana BUMN untuk kegiatan politik praktis. Modus tersebut sangat rapi dan terbungkus dengan program sosial dan kemasyarakatan yang selama ini dilakukan pengelola BUMN. Modus itu semakin marak karena pucuk pimpinan BUMN semakin getol bermain politik praktis dan terjun langsung dalam kegiatan konvensi parpol untuk merebut tiket calon presiden dalam Pemilu 2014.

Sudah barang tentu aksi Menteri BUMN, Dahlan Iskan, yang getol bermain politik praktis berpengaruh langsung terhadap kondisi pengelola BUMN yang secara halus dan diam-diam mendapat tekanan dan bermacam titipan kegiatan sosial sepanjang tahun politik. Tekanan itu bisa datang dari para komisaris BUMN yang notabene kebanyakan adalah inner-circle penguasa atau mantan menteri dan mantan pejabat negara lainnya.

Kekhawatiran sejumlah kalangan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait penyaluran dana secara terselubung oleh BUMN untuk kegiatan politik praktis sangat berdasar. Ada berbagai modus untuk mengeruk dana BUMN bagi kegiatan politik. 

Modus yang paling empuk adalah memainkan dana tanggung jawab sosial (CSR) BUMN yang dikenal dengan sebutan dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang digelontorkan kepada kelompoknya. PKBL mirip dengan bansos yang selama ini menjadi senjata ampuh para petahana untuk mempertahankan jabatan dalam pilkada. PKBL sangat rentan untuk kegiatan sosial yang ditunggangi kampanye terselubung parpol atau politisi.

Modus lain yang lebih menyerempet bahaya adalah commitment fee dari BUMN kepada parpol atau politisi yang telah membantu memenangi proyek tender. Di BUMN sektor perbankan, modus juga dilakukan dengan penyaluran kredit fiktif yang kemudian dianggap macet. Commitment fee semacam itu, salah satunya, telah dikuak KPK dalam kasus korupsi proyek Pedidikan dan Latihan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) Hambalang.

Modus lain yang bisa menghancurkan masa depan BUMN yang selama ini dianggap sehat dengan laba gemuk adalah dengan cara menjual anak perusahaan. Padahal, anak perusahaan BUMN itu memiliki posisi sangat strategis dalam menunjang kegiatan korporasi induk. Salah satu modus tersebut yang patut dicurigai dan terus diawasi adalah penjualan Mitratel, anak perusahaan PT Telkom.

DPR sudah menolak aksi penjualan Mitratel, apalagi ada aturan bahwa rencana penjualan aset yang bernilai di atas 200 miliar rupiah harus disetujui DPR. KPK harus mendalami alasan pengelola PT Telkom begitu berkeras dan suka menjual anak perusahaan. Kasus penjualan Telkomvision sebaiknya juga diusut lebih mendalam karena telah menjadi preseden buruk bagi direksi BUMN lainnya. Mereka ikut menjual secara serampangan anak perusahaan.

Ironi

Telkom adalah perusahaan telekomunikasi berperingkat AAA yang sangat gampang memperoleh pendanaan dari pasar finansial. Jadi, penjualan Mitratel untuk mendapatkan pendanaan sangat ironis. Hal itu justru bisa mengurangi posisi tawar PT Telkom di kemudian hari. Sekadar catatan, Telkom memiliki nilai pasar sekitar 225 triliun rupiah atau hampir tujuh kali lipat dari perusahaan-perusahaan menara seperti Tower Bersama atau Sarana Menara. 

Telkom juga perusahaan dengan rasio utang yang jauh lebih baik dari perusahaan-perusahaan menara. Maka, jauh lebih mudah mendapat utang dibandingkan perusahaan menara mana pun. Selain itu, Mitratel sendiri adalah perusahaan yang sangat menguntungkan dengan marjin laba bersih sekitar 20 persen. Angka tersebut lebih baik dari perusahaan induknya sendiri. Mitratel juga memiliki captive market sangat besar, yaitu Telkom dan Telkomsel.

Mestinya, Direksi PT Telkom belajar dari pengalaman pahit PT Indosat yang telah menjual 4.500 menara ke Tower Bersama. Yang terjadi setelah penjualan, Tower Bersama membukukan laba sangat besar dengan marjin laba hampir 50 persen, sedangkan Indosat mencatat kerugian yang cukup besar dalam sembilan bulan tahun 2013 ini, antara lain akibat meningkatnya biaya sewa menara.

Penjualan anak perusahaan BUMN sarat dengan kepentingan politik sehingga harus dicegah karena kelak akan mengurangi kinerja, bahkan bisa menghancurkan induk.

Akar persoalan timbulnya modus-modus penyelewengan dana BUMN dari yang empuk hingga modus yang paling kasar karena pola rekrutmen direksi dan Komisaris BUMN. Selain jumlahnya yang terlalu banyak dengan gaji sangat tinggi, komisaris dan direksi BUMN juga kurang menguasai persoalan teknis BUMN karena mereka datang dari latar belakang yang tidak relevan dengan tantangan BUMN. Tidak mengherankan bila pengelola BUMN tidak mengerti portofolio usaha dan prosedur pengadaan barang serta menentukan harga pembelian komponen yang ideal.

Sebenarnya pengeluaran atau belanja BUMN saat ini menjadi faktor sangat penting untuk menanggulangi laju pelambatan perekonomian nasional. Celakanya, ada masalah mengenai optimalisasi belanja karena kompetensi dan kredibilitas pengelola yang kurang memadai. Hal itu juga berdampak buruknya penyerapan anggaran dan peruntukan.

Kini, para pengelola BUMN tidak mau repot-repot lagi kerja detail untuk mengatasi masalah pengadaan barang dan faktor efisiensi. Mereka juga kurang menyadari proses bisnis global yang kini mengedepankan solusi teknologi e-sourcing. Solusi elektronik berbasis internet ini merupakan kerangka atau bagian dari e-procurement. 

Sebenarnya solusi tersebut bukan sekadar katalog elektronik untuk pengadaan barang dan jasa BUMN, namun bisa dijadikan rujukan standar teknis barang atau jasa publik bagi para user. Sebagai source harga pasar untuk owner estimate (OE), perkiraan yang dikalkulasi lewat keahlian, sebagai acuan utama dalam menilai kewajaran harga di lingkungan BUMN. Solusi tersebut dikembangkan dengan prinsip supply chain management (SCM). Mestinya ada integrasi e-sourcing terhadap seluruh BUMN agar bisa mengurangi mark up dan penyimpangan tender.

Apalagi, sebagian besar BUMN, hingga kini, belum bisa menyediakan laporan keuangan yang baik sesuai dengan standar pelaporan keuangan. Hanya sedikit BUMN yang dapat membuat laporan keuangan dengan baik sesuai dengan kaidah International Financial Reporting Standards. 

Padaahal, ukuran kinerja keuangan BUMN merupakan faktor penting untuk mewujudkan IPO BUMN yang berkualitas. Secara umum, makna kata kinerja atau performance merupakan outcome yang dihasilkan dalam suatu periode. Ukuran kinerja keuangan BUMN yang dipakai adalah profitabilitas, yang diartikan sebagai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Profitabilitas dapat mengukur kinerja perusahaan secara keseluruhan dan dapat mengukur tingkat efisiensi dalam pengelolaan aset, kewajiban, dan ekuitas perusahaan.

Agar peran komisaris lebih efektif dalam mengembangkan BUMN, mestinya sosok yang dipilih harus bisa mengevaluasi kinerja korporasi. Mereka juga harus aktif mengontrol aksi-aksi direksi secara independen dan bebas politik praktis. Melihat kondisi BUMN yang masih karut-marut, mestinya jumlah direksi dan komisaris sebaiknya dipangkas. 

Birokrasi gemuk di tubuh perusahaan negara malah membuat kas perusahaan goyah karena harus menggaji tinggi para pemimpin. Sayang, selama ini, Menteri BUMN, Dahlan Iskan, hanya berani menggeser atau mengganti jajaran direksi, tetapi jarang mengutak-atik posisi komisaris angker yang banyak menyedot anggaran, tetapi kurang kredibel. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar