Sabtu, 23 November 2013

Pulang Kampung

Pulang Kampung
Bambang A Sipayung  ;   Pekerja Sosial;
Alumnus Institute of Social Studies, Den Haag
KOMPAS,  23 November 2013



TAHUN lalu film Joshua Oppenheimer membuat heboh dengan mengangkat pembunuhan massal menyusul Peristiwa 30 September 1965 dari sudut pandang pelaku.

Ini tentu berbeda dengan sudut pandang korban yang muncul dalam film dokumenter lain, seperti 40 Years of Silence. Film itu mempertegas kembali pembunuhan massal terhadap orang-orang biasa yang dituduh bagian dari Partai Komunis Indonesia. Rezim Orde Baru mematerikan ingatan akan peristiwa itu sebagai upaya pengambilalihan kekuasaan oleh PKI, di mana Soeharto dan tentara menjadi kelompok yang menyelamatkan negara dari kehancuran. Banyak analisis tentang peristiwa 30 September 1965 (G30S). 

Tulisan ini mencoba melihat akibat peristiwa itu pada sekelompok orang yang oleh Abdurrahman Wahid disebut ”anak-anak bangsa yang kelayapan”.

Kelompok ini membentuk komunitas diaspora Indonesia, dan tersebar di beberapa negara di Eropa. Kebanyakan mereka mahasiswa yang dikirim Soekarno untuk menimba ilmu di negara- negara sosialis-komunis sebagai bagian dari rencana Soekarno menyiapkan tenaga-tenaga ahli untuk membangun Indonesia.

Diaspora 1965 atau ”exiles” 1965?

Kedua kata ini yang banyak dipakai dalam rujukan ilmiah mengenai perpindahan orang atau migrasi. Penjelasan lebih lanjut tentang istilah ini mungkin akan membantu meletakkan kelompok anak negeri yang kelayapan ini. Kata diaspora sering merujuk kelompok orang yang tersebar di tempat-tempat baru yang bukan tempat asalnya. Sebabnya bisa bermacam-macam: alasan pekerjaan, pelarian politik, atau di zaman dulu bagian dari upaya kolonialisasi.

Mereka kemudian membentuk komunitas-komunitas tertentu di tempat baru dengan memelihara ikatan dengan kampung halaman atau tempat asal. Adapun kata exile diterjemahkan secara gamblang dalam bahasa Indonesia sebagai pengasingan atau kelompok orang terbuang. Kata bahasa Indonesia ini menggambarkan dengan tepat definisi yang dipakai Edward Said (2000): ”seseorang yang dicegah untuk pulang kampung” atau orang dengan ”stigma sebagai orang luar”. Dengan kata lain, exile atau kelompok terbuang terkait adanya kekuasaan atau paksaan yang membuat seseorang berada di luar kelompok tertentu. Adanya paksaan ini mungkin menjadikan istilah ”anak negeri yang kelayapan” tak tepat sebab mereka kelayapan karena adanya paksaan tertentu.

Ketika G30S terjadi, rakyat Indonesia yang berada di luar negeri pada masa itu umumnya tak menyadari sepenuhnya perubahan politik kekuasaan yang terjadi dan dampak yang akan menimpa mereka. Ketika rezim Orde Baru mulai memegang kekuasaan, kontrol kekuasaan pun mulai muncul dan menampakkan diri di kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri. Rakyat Indonesia di luar negeri, terutama di negara-negara sosialis-komunis, dihadapkan pada pilihan mendukung dan loyal terhadap rezim Orde Baru atau kehilangan kewarganegaraannya karena pilihan ideologis dan politis mereka.

Berhadapan dengan situasi dilematis ini, mereka yang menolak mendukung pemerintahan Orde Baru dicabut paspornya dan kehilangan kewarganegaraannya. Beberapa yang memilih diam dan menjauh dari kedutaan akhirnya juga kehilangan kewarganegaraan karena paspor yang dipegangnya habis masa berlaku. Secara legal mereka bukan lagi warga suatu negara tertentu atau orang tanpa kewarganegaraan (stateless person) sebagaimana didefinisikan Ayat 1 Konvensi 1954 tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan. Implikasinya, mereka ”kehilangan hak dan privilese yang dinikmati seseorang sebagai warga negara karena kewarganegaraan memprakondisikan seseorang untuk menikmati hak yang disediakan negara” (Goldston 2006:321).

Status sebagai orang tanpa kewarganegaraan, rasa takut kembali ke Indonesia karena alasan keamanan, dan upaya menjaga jarak dari sanak keluarga di Indonesia demi keselamatan keluarga di Indonesia menempatkan mereka sebagai kelompok terbuang bukan saja dari negara Indonesia, melainkan dari struktur formal negara kebangsaan. Akibat pilihan politisnya, mereka menjadi bukan warga negara mana pun dan dipaksa kelayapan ke tempat lain dengan menggunakan jaringan pertemanan ataupun solidaritas negara sosialis-komunis. Mereka kelompok orang terbuang, atau berada di luar kelompok tertentu yang dalam analisis Edward Said tentang nasionalisme disebut kelompok yang ditandai pengalaman ”kesunyian karena berada di luar kelompok tertentu”.

Selain menciptakan sejarah kelam pembunuhan banyak orang, Peristiwa G30S juga melibatkan bentuk kekerasan negara lain yang menciptakan kelompok orang yang dicegah pulang ke negara asalnya, dan dipaksa menjalani pengasingan (exile) karena alasan politis dan ideologis yang ditempelkan kepada mereka.

Nasionalisme ”exiles”

Hampir semua exiles 1965 ini kini menjadi warga negara salah satu negara tertentu, entah di Eropa atau Amerika Selatan. Namun, mereka masih memelihara ikatan emosional dengan Indonesia sebagai kampung halaman. Ikatan emosional dengan kampung halaman ini sering ditemui dengan sejumlah kelompok diaspora dalam upaya mereka membangun komunitas di tempat baru. Komunitas diaspora Sierra Leon di Amerika, misalnya, memperlihatkan bagaimana simbol pohon kapas memainkan peran penting dalam mengatur kehidupan komunitas mereka.

Pohon kapas simbol kampung halaman dan memberi identitas komunitas mereka (D’Alisera 2002:80). Ini menggarisbawahi yang dikatakan antropolog Mary Douglas (1991:289) bahwa kampung halaman ditemukan dengan membawa beberapa aspeknya ke konteks masa kini dan menempatkan beberapa aspek ruang dalam kendali tertentu.

Komunitas exiles 1965 memperlihatkan ikatan dengan kampung halaman dengan wacana mereka untuk terlibat dalam penulisan sejarah Indonesia, terutama seputar Peristiwa G30S yang sering ditutupi. Sikap kritis mereka terhadap rezim Orde Baru dan sejarah yang dituliskan merupakan bentuk ungkapan nasionalisme jarak jauh terhadap Indonesia (Dragojlovic, 2010). 

Sebagai komunitas diaspora dan exiles, mereka menyimpan dokumen dan 
ingatan akan Indonesia sebagai negara yang sedang mempersiapkan tenaga manusianya untuk mandiri mengelola kekayaan alamnya, termasuk warisan pemikiran sosial Indonesia. Sebagai komunitas exiles, mereka pun mengungkapkan bentuk lain kekerasan negara berupa penyingkiran dan pembiaran terhadap warga negaranya sendiri terkatung-katung dan kehilangan hak dasar sebagai warga negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar