Sabtu, 30 November 2013

Quo Vadis (Reposisi) Australia?

Quo Vadis (Reposisi) Australia?
Fajar Riza Ul Haq  ;   Sekretaris Jenderal DPP BARINDO
KORAN SINDO,  29 November 2013
  


Indonesia adalah mitra strategis Australia di Abad Asia bersama China, Jepang, India, dan Korea Selatan. Pernyataan itu termaktub jelas bahkan berulang kali muncul dalam dokumen putih “Australia di Abad Asia” yang dikeluarkan pemerintah Australia pada Oktober 2012. 

Salah satu kunci strategi Negeri Kanguru ini ialah memaksimalkan segala daya guna memperkuat dan memperluas hubungan diplomatik dan kerja sama dengan negara-negara Asia atas dasar kepercayaan, saling menghargai, dan saling memahami (2012:251). Pada konteks inilah, Indonesia dipandang sangat penting dalam peta geopolitik dan geoekonomi Australia, tidak terkecuali dari sisi kepentingan keamanan. 

Namun terbongkarnya kegiatan penyadapan oleh lembaga pemerintah Australia terhadap Presiden, Ibu Negara, dan sejumlah pejabat tinggi RI pada tahun 2009 itu, otomatis mempertanyakan komitmen dokumen putih Australia. Presiden SBY tidak bisa menyembunyikan kekecewaan mendalamnya. Penarikan Duta Besar Indonesia di Canberra dan pembekuan sejumlah kerja sama strategis oleh Presiden SBY menjadi bola panas. Banyak kelompok masyarakat marah karena Perdana Menteri Tonny Abbott enggan meminta maaf. 

Mereka memprotes Kedutaan Besar Australia di Jakarta bahkan ada yang membakar bendera Australia dan Amerika. Tim Lindsey menyebut kasus penyadapan ini sebagai ujian terhadap jalinan persahabatan antara kedua negara yang sudah terbina sangat baik sebagaimana diulasnya dalam The Age (21/11). Menurut analis dari Universitas Melbourne ini, Indonesia tidak semata-mata negara jiran yang berpengaruh, namun juga kunci bagi masa depan Australia di abad ke-21. 

Kerja sama penanganan terorisme dan pencari suaka berada di tubir masalah. Tak pelak, memulihkan kepercayaan Pemerintah Indonesia terhadap Australia menjadi tugas krusial pemerintahan Abbott karena isu ini sudah menyangkut kepentingan nasional. Kegagalan Abbott memberikan respons permulaan yang bisa mendinginkan suasana seakan mengonfirmasi kecemasan beberapa pengamat mengenai kebijakan luar negeri Australia saat Partai Liberal berkuasa menggantikan Partai Buruh. 

Paradigma Lama 

Penulis melihat ada ketidakselarasan antara perspektif persahabatan dalam dokumen putih dengan paradigma keamanan yang masih dianut pemerintah Australia. Semangat kelahiran dokumen “Asia di Abad Asia” tidak bisa dipisahkan dari pergulatan identitas dan upaya reposisi Australia di tengah kemunculan kekuatankekuatan ekonomi baru di Asia. Kritik tajam pernah dilontarkan Kishore Mahbubani (2012), Australia harus segera sadar dan membuka mata bahwa takdir geopolitik dan geografinya berada di Asia. 

Keanggotaannya di PBB mewakili rumpun Eropa Barat dan Group Lain merupakan buah anakronisme sejarah. Australia dan Selandia Baru harus mendekatkan diri ke komunitas ASEAN bahkan belajar menjadi bagian dari Asia. Abad ke-21 merupakan momentum reposisi dan redefinisi identitas Australia ketika peta kekuatan politik global berubah dari unipolar ke multipolar. Sebenarnya dokumen yang diterbitkan pada masa pemerintahan Julia Gillard tersebut mencerminkan perspektif baru bahkanlangkahreposisikebijakan politik luar negeri Australia. 

Wajah Australia yang meng- Asia. Bahasa Indonesia diajarkan di institusi pendidikan mereka bersama bahasa-bahasa Asia lainnya. Secara reguler, pemerintah Australia mengirimkan rombongan pejabat dari lintas departemen untuk mengunjungi dan bertukar pikiran dengan para pemimpin politik dan tokoh kelompok sipil diIndonesia, Malaysia, Thailand, India, dan China. Pertukaran tokoh pemuda dan pemudi Muslim Indonesia dan Australia salah satu contoh program yang berhasil merekatkan hubungan people to people pelbagai komunitas di antara kedua negara. 

Kepemimpinan Partai Buruh di bawah Kevin Rudd dan Julia Gillard telah membawa hubungandiplomatikkeduanegara pada level terbaik. Bocoran Edward Snowden mengenai operasi penyadapan pemerintah Australia telah menguak lubang yang justru berpotensi mementahkan keseriusan reposisi Australia. Kemungkinan lebih buruk adalah aktivitas ini bisa membahayakan keamanan Australia sendiri. Operasi ini sendiri telah berlangsung cukup lama sebagai bagian kerja sama intelijen dari kelompok “Five Eyes” yang terdiri dari Amerika, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. 

Pada awalnya, sebuahkerja sama pertukaran informasi intelijen antara Amerika dan Inggris untuk kepentingan Perang Dingin pada tahun 1946, sebelum akhirnya menyertakan tiga negara lainnya. Sebuah penelitian tahun 2009 mengenai persepsi pemimpin ormas Islam di Indonesia terhadap kebijakan politik luar negeri Australia mengidentifikasi negara ini sebagai sekutu Amerika. Sentimen anti- Barat yang sempat diekspresikan beberapa kelompok Islam dalam aksi protes kemarin terhadap Australia tidak bisa dianggap angin lalu. 

Fasisme, baik yang berakar pada nasionalisme buta maupun ekstremisme agama, akan menjadi tantangan bagi keamanan Australia jika gagal memenangkan pikiran dan hati negeri tetangganya. Adanya ketimpangan antara perspektif dokumen putih dan paradigma keamanan Australia seperti diungkap di atas, mencerminkan kompleksitas yang sedang dihadapi sebuah negara yang selama ini menyandarkan akar sejarahnya pada entitas Barat. 

Ketidakpekaan Australia untuk tidak mengubah paradigma keamanan nasionalnya seiring meredupnya hegemoni global Amerika dan munculnya kekuatan-kekuatan baru di level regional akan menimbulkan ketidakpastian pada upaya reposisinya. Sikap Australia untuk tetap menjaga hubungan kuatnya dengan Amerika sembari menjalin persahabatan dengan negara-negara Asia merupakan pilihan strategis, namun akan sangattidaketisjika memainkan politik belah bambu atas nama kepentingan keamanannya. 

Ancaman terorisme lintas negara hanya bisa ditangkal secara bersama dan berjejaring di atas prinsip kepercayaan dan menghormati kedaulatan masingmasing. Mungkin ini salah satu hikmah yang dapat dipetik dari terganggunya hubungan diplomatik pemerintah Indonesia dan Australia. Namun, hendaknya kelompok-kelompok masyarakat jangan sampai terperosokpada nasionalismebuta. Hubungan yang kokoh antar komunitas di antara kedua negara akan mampu menjadi jembatan bahkan perekat di tengah dinamika surutnya hubungan bilateral kedua negara. Jadi, quo vadis reposisi Australia?
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar