Minggu, 24 November 2013

Sinkronisasi Teknologi dan Kebijakan Negara

Sinkronisasi Teknologi dan Kebijakan Negara
Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  24 November 2013
  

Australia bukan negara uber power, merefleksikan tindakan yang mementingkan diri sendiri, penuh permusuhan, munafik, dan mendominasi. Indonesia juga bukan middle power dan berharap sesama negara demokrasi akan diperlakukan pada posisi yang sama. Ini refleksi terhadap perseteruan RI-Australia mengenai penyadapan.
Ironisnya, kemarahan yang menjadi hak Indonesia atas Australia tidak diikuti tindakan afirmatif, apalagi dijalankan melalui prosedur diplomasi yang mengejawantahkan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Kepala negara condong bergerak sendiri dengan menteri luar negeri yang menjadi corong.
Terlepas dari ketersinggungan kita atas ulah Australia, harus ada kesepakatan bersama—khususnya pejabat yang merumuskan, mengendalikan, dan menjalankan politik luar negeri—jika globalisasi ekonomi dan revolusi teknologi informasi membuat sulit menghentikan pegawai pemerintahan memberikan atau menjual rahasia milik negara.
Harus dipahami juga kalau cara berdiplomasi bergeser akibat kemajuan teknologi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam kemarahannya atas Australia, menggunakan Twitter dan menulis, ”@SBYudhoyono 19 Nov I also regret the statement of Australian Prime Minister that belittled this tapping matter on Indonesia, without any remorse. *SBY*”
Sayangnya, pergeseran akibat kemajuan teknologi komunikasi informasi, termasuk penerapan langsung dalam diplomasi kebijakan luar negeri, sering tidak diikuti etika dan ciri alami teknologi komunikasi itu sendiri. Twitter adalah aplikasi yang sifatnya pribadi dan tidak mewakili kepentingan orang banyak. Apalagi atas nama kepala negara yang sering mewakilkan pada stafnya untuk berkicau.
Pengisap debu
Ada beberapa hal yang patut disorot atas insiden penyadapan yang dilakukan pihak Australia. Pertama, masalah keamanan teknologi informasi di Indonesia tidak pernah menjadi perhatian pejabat negara dan para eksekutif perusahaan yang rawan akan berbagai penyadapan, baik berbasis suara maupun teks.
Hingga kini, Indonesia tak memiliki rumusan, baik di tingkat strategi maupun taktis, untuk melindungi pemanfaatan kemajuan teknologi komunikasi informasi. Penyadapan yang dilakukan Australia adalah bentuk spionase baru, termasuk bagaimana menggunakan teknologi maju untuk mengumpulkan informasi intelijen.
Kedua, posisi Indonesia di persilangan dinamika regional dan global menjadikan negara ini di tengah derasnya arus informasi sebagai sasaran penyadapan intelijen, baik kawan maupun lawan. Kita terkejut dengan penyadapan atas ponsel Presiden Yudhoyono. Bayangkan jika ada pesawat nirawak asing mengintai diam-diam di atas rumah para pejabat tinggi negara dan menyadap berbagai informasi rahasia negara.
Ketiga, kemajuan teknologi telekomunikasi informasi secara masif dalam jargon ”big data” menyebabkan berbagai badan intelijen di dunia menggunakan kemajuan teknologi elektronik sebagai ”pengisap debu” yang mengambil data dan informasi apa saja yang bisa diambil. Insiden pesawat mata-mata AS EP-3 yang melakukan pengintaian pada April 2001 mengisyaratkan adanya perubahan penggunaan teknologi pengintaian memanfaatkan gabungan digitalisasi dan avionik.
Pesawat tanpa awak bisa kapan saja masuk ke Indonesia, tidak memiliki tanda pengenal, membawa banyak sekali peralatan spionase elektronik, dan tidak hanya menyadap percakapan ponsel saja.
Di masa depan, cara kita menggunakan kemajuan teknologi komunikasi informasi seperti Twitter harus disinkronkan dengan cara berdiplomasi. Masifnya penggunaan jejaring digital melalui beragam medium, termasuk ponsel dan tablet seperti iPad, harus memiliki pola pengamanan yang memadai, seperti melarang membawa perangkat teknologi ke dalam rapat kabinet seperti yang dilakukan banyak negara.
Sejak tahun 1948, Badan Keamanan Nasional AS (NSA) menciptakan sistem spionase global disebut ECHELON, bekerja sama dengan Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Stasiun pengintaian ditempatkan di negara-negara ini dan negara lain menangkap komunikasi satelit, gelombang mikro, seluler, dan serat optik. Setelah kode sandi dibuka komputer NSA, analis meneruskan berbagai pesan ke badan intelijen yang membutuhkannya.
Ini adalah kenyataan yang tak bisa dihindari. Pilihan kita adalah bergabung dengan Jerman dan Brasil yang mengedarkan rancangan resolusi ke komite Sidang Umum PBB, menyerukan diakhirinya pengintaian elektronik, pengumpulan data, dan penerobosan privasi secara kotor. Ini adalah langkah awal.
Untuk Partai Liberal yang berkuasa di Australia serta politisi dan pejabat lainnya, mempertahankan kebebasan membutuhkan upaya memajukan kebebasan itu sendiri. Namun, kebebasan itu jangan disalahartikan untuk mencemooh konsensus mencapai tujuan akhir. Hidup bertetangga memerlukan itikad baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar