Minggu, 24 November 2013

Ujian Nasional dan Kegagalan Pembelajaran

Ujian Nasional dan Kegagalan Pembelajaran
Eko Prasetyo  ;   Pegiat Pendidikan di Ikatan Guru Indonesia
SINAR HARAPAN,  23 November 2013
  


Dalam forum group discussion (FGD) di Surabaya pada 5 November 2013, Kemendikbud memaparkan kebijakan terbaru tentang hasil sensus kurikulum 2013 dan Ujian Nasional (UN). Seperti diketahui, Kemendikbud telah memutuskan bahwa UN tetap diselenggarakan tahun depan.
Topik pada forum ini sebenarnya tidak jauh beda dengan hasil rumusan konvensi UN di Jakarta pada 27 September 2013.

Saat itu Ketua Pelaksana Konvensi UN Bambang Indrayanto menegaskan, UN tetap dilaksanakan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu lulusan sekolah sehingga mutu peserta didik bersaing baik di dalam negeri, regional, dan internasional.

Ada 27 poin yang dirumuskan dalam konvensi UN kala itu untuk meningkatkan mutu tersebut. Poin-poin tersebut, di antaranya pencapaian mutu sekolah dicapai dengan standar yang telah ditetapkan dan peningkatan standar secara berkala, keberagaman kualitas sekolah di Indonesia memerlukan standar yang berlaku secara nasional yang pencapaiannya diukur melalui UN.

Terkait standar ini, ada yang perlu digarisbawahi pada dua di antara 27 poin tersebut. Pertama, dalam penentuan kelulusan penggabungan nilai UN tetap pada komposisi 60-40 persen. Batas kelulusan standar nasional dari tahun ke tahun dinaikkan secara bertahap.

Kedua, konstruksi soal UN terus-menerus ditingkatkan sehingga dapat mengukur kemampuan peserta didik pada ranah kognitif yang lebih tinggi, kemampuan pada ranah afektif, serta kemampuan psikomotorik dan interaktif.

Kebijakan soal “standar pendidikan” inilah yang perlu ditinjau ulang, sebab apabila standar itu dinaikkan, bukan tidak mungkin kegagalan masiflah yang dituai. Apalagi kelulusan bukan merupakan jaminan sebuah keberhasilan dan tidak berbanding lurus dengan tingkat pemahaman siswa kita.

Tingginya Ekspektasi

Praktisi pendidikan dan penulis AS John Holt pernah menyatakan, kebanyakan siswa di sekolah mengalami kegagalan. Bagi sebagian besar orang, kegagalan ini diakui dan mutlak.

Ia melakukan riset di beberapa sekolah, mulai tingkat dasar hingga menengah sampai perguruan tinggi. Pada sekolah-sekolah menengah, hampir 40 persen siswa yang belajar gagal menyelesaikan studi mereka. Pada tingkatan kuliah, gambarannya menjadi satu banding tiga (Holt, 2010 : 8).

Banyak lagi yang lain yang sebutannya saja lulus, tetapi kenyataannya sebetulnya gagal. Para siswa ini menyelesaikan studi semata-mata karena kita terpaksa menaikkan dan meluluskan mereka, tidak peduli apakah mereka memahami segala sesuatu yang diajarkan atau tidak. Sebenarnya, terdapat lebih banyak lagi siswa seperti demikian dari yang kita bayangkan.

Jika kita “menaikkan standar pendidikan” lebih tinggi lagi, seperti yang diinginkan sebagian pihak, kita akan segera menemukan seberapa besar persentase siswa yang seperti ini. Akibatnya, ruang-ruang kelas akan dijejali siswa yang tidak lulus ujian kenaikan kelas.

Akan tetapi, terdapat pemahaman yang lebih penting yang bisa menjelaskan mengapa hampir semua anak gagal, kecuali mereka gagal mengembangkan lebih banyak lagi kemampuan yang amat hebat untuk belajar, memahami, serta menciptakan yang sudah dikaruniakan kepada mereka sejak lahir, yang sebetulnya sudah sungguh-sungguh mereka manfaatkan selama periode dua atau tiga tahun pertama kehidupan mereka.

Mengapa ini terjadi? Holt mengemukakan, kegagalan para siswa tersebut terjadi karena rasa takut, bosan, dan bingung. Di atas semua hal yang lain, mereka takut mengecewakan banyak orang dewasa yang cemas di sekitar mereka, yang harapan serta ekspektasinya yang tak terbatas membayang-bayangi anak-anak ibarat awan tebal menyelimuti kepala mereka.

Anak-anak menjadi bosan karena semua yang diberikan dan diperintahkan kepada mereka di sekolah amat sepele, sederhana, dan menjemukan. Tantangan-tantangannya juga begitu terbatas, tidak sebanding dengan spektrum intelegensi, kemampuan, serta talenta mereka.

Mereka bingung karena kebanyakan dari yang mereka terima di sekolah kurang atau tidak bermakna sama sekali. Kenyataan yang mereka alami sering bertentangan secara tajam dengan semua yang telah diajarkan kepada mereka dan hampir-hampir tidak memiliki hubungan apa pun dengan apa yang sungguh-sungguh mereka ketahui, dengan model mentah realitas yang tertanam di kepala mereka.

Pemerataan Pendidikan

Tidak bisa dimungkiri, ujian nasional selalu berhasil menciptakan horor dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kecemasan yang dirasakan siswa menjelang pelaksanaan UN salah satunya disebabkan tingginya standar nasional untuk kelulusan yang ditetapkan pemerintah.

Ruang kreativitas dan inovasi pembelajaran yang selalu didengung-dengungkan –terutama dalam kurikulum 2013- justru tidak terlihat dalam UN. Yang ada hanya stres karena siswa takut tidak lulus, stres karena tekanan belajar, dan stres karena tuntutan yang tinggi. Celakanya, dampak ini juga dirasakan orang tua siswa.

Di sisi lain, Kemendikbud berdalih bahwa keberagaman kualitas sekolah di Indonesia memerlukan standar yang berlaku secara nasional, pencapaiannya diukur melalui UN. Kemendikbud juga selalu berlindung di bawah payung hukum PP Nomor 32 Tahun 2013 pengganti PP Nomor 19 
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menjadi dasar pelaksanaan UN.

Apabila kita semua sadar bahwa sesungguhnya UN saat ini telah membuat siswa terdistorsi, mempertebal rasa takut mereka, dan gagal menciptakan pembelajaran yang nyata (real learning), kita mesti sepakat agar UN dihentikan.

Kembalikan hakikat UN sebagai pemetaan pemerataan pendidikan, bukan penentu kualitas pendidikan yang justru menciptakan keberhasilan semu dan menambah persentase kegagalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar