Sabtu, 23 November 2013

Yang Penting Kemandirian Negeri

Yang Penting Kemandirian Negeri
Sumasno Hadi  ;   Dosen Pancasila pada Fakultas Tarbiyah
IAIN Antasari, Banjarmasin
SUARA KARYA,  22 November 2013



"Suaminya walikotaku yang sekaligus adiknya gubernurku ditangkap KPK. Bendaharanya kumpulan ulamaku yang sekaligus wakil kami di DPR juga ditangkap KPK. Penjaga gawangnya puncak keadilan negeriku yang berpendidikan strata tiga hukum juga ditangkap KPK. Al Fatihah.."

Begitu tertulis status Facebook Agus Setiawan, seorang teman saya yang berdomisili di Banten setelah tersiar berita terkait penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi kita, Akil Mochtar. Dan, bacaan al-fatihah di akhir statusnya tersebut tentu saja merupakan bentuk kehancuran akut atas moralitas pejabat tinggi kita - hingga Mas Agus pun sampai menghadiahi mereka dengan doa 'sapu jagad', Surah Al-fatihah.

Fenomena semacam ini tentu bukanlah suatu hal yang aneh di negeri yang sudah aneh ini. Bahwa Gubernur dan Bupati kerap menjadi jabatan giliran antar-sanak saudara, semacam arisan keluarga. Periode sekarang dijabat oleh sang Bapak. Periode selanjutnya sang Istri, selanjutnya anaknya, kemudian menantunya, dan sebagainya. Para pengamat politik menyebut fenomena ini sebagai Politik Dinasti (atau Dinasti Politik?), di mana praktik semacam itu pastinya akan dilaknat oleh para pejuang demokrasi. Karena, memang ajaran demokrasi tidak memberi ruang untuk arisan keluarga dalam posisi pejabat publik. Demokrasi yang disokong oleh individualisme tidak mungkin akur dengan corak politik dinasti yang mengkebiri kebebasan politik masyarakat.

Kaitan dengan ini, beberapa waktu lalu, saya menyimak pendapat dari 
budayawan Radhar Panca Dahana dalam acara Soegeng Sarjadi Syndicate yang disiarkan oleh Stasiun TVRI. Menurutnya, kasus Akil dan Atut ini bukanlah soal yang penting dalam konteks kehidupan bernegara kita.

Kalaupun ini dimaknai sebagai hancurnya landasan hukum bernegara dengan robohnya fondasi etika para elite pemerintahan, namun sebenarnya ancaman yang paling mengerikan adalah hancurnya kehidupan negeri yang ditandai dengan sekaratnya sub-sub kebudayaan masyarakat kita. Dan, Bung Radhar pun meyakini bahwa ada atau tidak adanya negara bagi rakyat itu bukanlah soal penting, tapi yang lebih penting adalah kemandirian negeri. Menurutnya, jangan samakan negara dengan negeri.

Bangunan Moralitas

Jika formalisme ketatanegaraan yang disangsikan Bung Radhar itu memang sangat beralasan, setidaknya bisa kita rasakan dari kegagalan negara dalam mengelola segala pemerintahannya. Konkritnya, mandulnya institusi negara (baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif) dalam melaksanakan konstitusi, UUD 1945 dan Pancasila. Dan, secara mendasar, sebenarnya kegagalan dimaksud adalah keterbatasan formalisme dengan landasan hukumnya yang tidak ditopang oleh bangunan moralitas yang kuat, kekuatan etika yang kokoh.

Seperti pula pandangan penulis buku Negara Paripurna, Yudi Latif dalam siaran Soegeng Sarjadi Syndicate bahwa kasus Akil sebagai ketua lembaga paling berwibawa, Mahkamah Konstitusi yang tertangkap tangan oleh KPK adalah bukti bahwa penegakan hukum kita tidak dilandasi oleh kapasitas etika yang memadai. Sebagaimana hukum itu adalah buah dari pohon etika yang berakar pada kedalaman tanah moralitas. Dan, dari waktu ke waktu, kita sudah teramat susah untuk tidak menyaksikan tanah moralitas pejabat publik yang busuk. Tanah yang sudah tercemar oleh racun korupsi, kolusi, nepotisme.

Hari ini, hampir tidak ada pejabat kita yang orientasi tindakannya berpihak pada kepantasan, kalau tidak tepat dibilang kesederhanaan. Bahkan banyak para pemimpin agama, ustadz, kiai-kiai yang memasang tarif untuk berdakwah. Hal tersebut jauh berbeda dengan para pemimpin kita di masa revolusi dulu. Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim, Safroeddin Prawiranegara, Pak Hoegeng, atau yang paling dekat adalah sosok Gus Dur. Dari mereka kita bisa melihat moralitas yang mengedepankan kepantasan serta kepatutan. Tidak malah bergaya hidup glamour di tengah penderitaan rakyatnya.

Ketika kebangkrutan moralitas pejabat kita kian hari makin membudaya, menjadi semakin miris karena masyarakat pun menjadi semakin apatis. Bahkan menganggap perilaku kaum hedonis sebagai hal yang lumrah. Lihat saja, tayangan infotainment yang menampilkan gaya hidup mewah selebriti malah menjadi acara kegemaran. Tayangan humor yang tidak cerdas, yang hanya bermuatan remeh-temeh, cengengesan, ratingnya semakin melonjak, alias menjadi acara televisi favorit. Boleh jadi, itulah potret psikis masyarakat yang sudah apatis terhadap kelangsungan bangsa ini. Semuanya mau lari pada hiburan, untuk melarikan diri dari keruwetan hidup.

Di akhir tahun 2013 ini, secara politik tentulah bangsa ini harus menghadapi rutinitas lima tahunan. Di televisi-televisi sudah bermunculan tokoh-tokoh yang tersenyum dan melambai-lambaikan tangan di hadapan kita, seperti menjanjikan kehidupan berbangsa yang lebih baik. Di pohon-pohon, tembok-tembok, atau di tiang-tiang kabel listrik, berderet gambar-gambar yang diberi tajuk "Pilihlah Kami", tentu dengan keterangan mencoblos nomor urut mereka.

Menyitir kembali ujaran Bung Radhar bahwa negara itu boleh tidak ada, tapi negeri harus tatap hidup, relevansi kontekstualnya adalah siapa pun yang menjadi pemerintah, penguasa, atau yang menjadi penentu kebijakan negara itu tidak penting. Hal yang sangat penting adalah produknya, kebijakannya, apakah berpihak pada rakyat atau tidak. Semoga saja pemilihan umum yang akan datang terpilih pejabat publik yang punya integritas kuat untuk berpihak pada rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar