Senin, 30 Desember 2013

Berani Berubah untuk Melaju Lebih Cepat



PROSPEK POLITIK 2014

Berani Berubah untuk Melaju Lebih Cepat

Ninuk Mardiana Pambudy  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  25 Oktober 2013



“BERKAH dari harga komoditas yang terus tinggi hingga tahun lalu telah membuai Indonesia sehingga lupa harus melanjutkan transformasi ekonomi.”
Nilai tukar rupiah yang merosot cepat dari aras Rp 9.900-an pada Agustus lalu dan bertahan pada tingkat Rp 11.000-an menyadarkan, defisit transaksi berjalan membuat ekonomi Indonesia rentan gejolak keuangan global.

Ekonomi Indonesia termasuk tahan banting karena lolos dari krisis ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat tahun 2008. Saat itu China dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 10 persen menjadi gerbong penghela Asia, termasuk Indonesia, yang mengandalkan ekspor komoditas, terutama batubara dan minyak sawit.

Hal tersebut ikut melenakan Indonesia. Industri terlambat berkembang dan ekonomi mengandalkan konsumsi domestik yang dipasok impor. Indonesia berada di pinggir jejaring rantai nilai tambah global dan mendapat sedikit manfaat dari liberalisasi perdagangan bila dikaitkan dengan ambisi menjadi negara berpenghasilan menengah-atas pada 2030 dan ekonomi ketujuh terbesar seperti disebut lembaga riset global McKinsey.

Pelambatan ekonomi China dan India membuat tahun 2012 transaksi perdagangan Indonesia defisit, pertama kali sejak merdeka. Situasi ini memperburuk defisit transaksi berjalan yang sudah berlangsung 22 bulan.

Laporan Harvard Kennedy School Ash Center for Democratic Governance and Innovation tentang Indonesia, The Sum is Greater Than Parts (Oktober 2013), menyebutkan nilai tukar rupiah terhadap mitra dagang terbesar Indonesia yang relatif kuat ikut menyumbang defisit. Industri manufaktur tidak berkembang karena daya saing melemah dan barang impor membanjir. Pangan juga semakin mengandalkan impor sebab arah kebijakan pangan pemerintah tidak jelas.

Defisit transaksi berjalan selain karena defisit perdagangan, terutama disebabkan tingginya impor bahan bakar minyak, juga akibat repatriasi keuntungan penanaman modal asing ke negara asal, biaya perjalanan ke luar negeri, pembayaran utang luar negeri swasta dan pemerintah, dan perginya investasi asing di pasar keuangan karena rencana Bank Sentral Amerika Serikat menghentikan kebijakan moneter longgarnya.

Tantangan kualitas

Ekonomi Indonesia selama periode 2000-2010 tumbuh 5,3 persen. Antara 2009 hingga Juni 2013 tumbuh rata-rata 5,9 persen. Hal tersebut didukung aliran investasi asing karena besarnya pasar domestik dan kekayaan alam, terutama tambang.

Setelah krisis ekonomi Asia 1998, kebijakan ekonomi makro Indonesia sangat berhati-hati. Defisit APBN dibatasi 3 persen produk domestik bruto dan utang pemerintah maksimum 60 persen PDB. Likuiditas perbankan dijaga dan pengawasan industri keuangan diperketat melalui otoritas jasa keuangan.

Secara politik, Indonesia juga relatif stabil melalui transisi dari periode Orde Baru dan telah melalui tiga kali pemilu. Pemilu 2014 juga ditanggapi optimistis pengusaha. Bahkan pemilu akan menaikkan pertumbuhan ekonomi, terutama jasa transportasi dan hotel.

Di sisi lain, pertumbuhan tersebut kurang tinggi untuk memenuhi target menjadi negara kaya, menciptakan lapangan kerja, serta menurunkan kesenjangan kesejahteraan dan kesenjangan pembangunan antarwilayah yang rawan memicu konflik. Pertumbuhan ekonomi nasional 1 persen hanya menciptakan 200.000 lapangan kerja baru. Sebanyak 54 persen tenaga kerja ada di sektor informal. Di sektor formal, 38 persen tenaga kerja tidak memiliki kontrak sehingga rawan PHK dan menganggur.

Meskipun pemerintah mengklaim jumlah orang miskin terus turun, tetapi ukurannya pengeluaran Rp 253.273 per orang per bulan. Bila memakai standar internasional 2 dollar AS per hari, separuh penduduk Indonesia tergolong miskin.
Melonjaknya harga pangan karena pemerintah kurang mendorong produksi dan mengendalikan harga setelah kenaikan harga BBM bersubsidi pada Juni lalu, mungkin menambah jumlah orang miskin. Ini mengingat lebih separuh pengeluaran orang Indonesia masih untuk makanan.

Bahkan saat harga komoditas primer andalan ekspor Indonesia tinggi, pertumbuhan ekonomi nasional di bawah target 7-8 persen seperti rencana pembangunan 2010-2014. Pertumbuhan itu pun tidak dinikmati merata. Kesenjangan kemakmuran tertinggi sejak merdeka, dengan indeks gini 0,41. (Indeks gini bergerak pada 0-1, angka 1 menunjukkan ketidakmerataan sempurna). Ketimpangan juga terjadi antarawilayah Jawa-Sumatera-Bali dengan bagian lain Indonesia.

Itulah tantangan ke depan Indonesia: pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, berkualitas, dan inklusif untuk menjamin kemakmuran yang adil dan merata serta keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.

Transformasi

Indonesia memiliki kekayaan alam sebagai modal terberi. Jumlah penduduk usia produktif akan mencapai puncak pada 2025-2030 dan memberi peluang lonjakan kemakmuran bila tenaga kerja terdidik, produktif, bekerja, dan menabung.

Joseph E Stiglitz dalam The Price of Inequality (2012) menunjukkan, di Amerika Serikat sebagai negara yang dianggap paling demokratis, paling kaya, dan kiblat pembangunan banyak negara berkembang, terjadi ketimpangan kesejahteraan karena kebijakan pemerintah.

Pemerintah dituntut mengendalikan kelebihan yang terbentuk pada kelompok kecil di puncak piramida kemakmuran, menguatkan yang di tengah, dan membantu yang di bawah. Masing-masing membutuhkan program spesifik.

Permasalahan akut Indonesia adalah rente ekonomi yang menyebabkan pembangunan tidak efisien dan memperlebar ketimpangan. Ekonomi rente memiliki banyak bentuk, seperti disebut Stiglitz, antara lain, transfer terbuka dan tersembunyi serta subsidi pemerintah, peraturan yang membuat persaingan kurang kompetitif, lemahnya pelaksanaan peraturan yang mendorong persaingan usaha, atau memindahkan biaya praktik rente ekonomi kepada masyarakat.

Semua tantangan tersebut membutuhkan transformasi mendasar, terutama kelembagaan sebagai prasyarat agar kebijakan dan program pembangunan berjalan baik. Seperti dijelaskan Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam Why Nations Fail (2012), kegagalan membentuk kelembagaan ekonomi dan politik yang demokratis, inklusif, dan transparan, menjebak banyak negara dalam perangkap negara berpenghasilan menengah.

Ada tiga aspek reformasi kelembagaan yang kurang disentuh saat pemerintah menjalankan reformasi ekonomi: reformasi administratif, sistem hukum, dan politik.

Kebijakan reformasi ekonomi yang bersemangat deregulasi dalam derajat tertentu sudah dalam jalur memperkuat daya saing ekonomi, tetapi tidak ditopang kelembagaan administratif memadai. Reformasi administrasi-birokrasi sebatas jargon sehingga kapasitas dan kompetensi administrasi birokrasi tidak membaik. 

Contoh gamblang, fenomena korupsi dan penyerapan APBN yang lamban.
Kelembagaan hukum juga amat parah sehingga terjadi ketidakpastian dalam kegiatan ekonomi. Tidak ada jaminan hak kepemilikan dan tidak ada kepastian penanganan sengketa.

Reformasi kelembagaan politik secara prosedur sudah mengadopsi unsur penting demokrasi, seperti pemilihan umum yang terjadwal, adanya lembaga parlemen, dan pelembagaan media untuk berekspresi. Lebih penting dari itu, demokrasi sebagai hasil reformasi politik telah menyediakan jalan bagi terjadinya lalu lintas transaksi kepentingan yang transparan dan akuntabel.

Diandaikan jika kegiatan ekonomi sudah dideregulasi dan sistem politik telah demokratis, maka patronase antara politisi dan birokrat dapat dibatasi dalam sistem ekonomi yang dipandu pasar. Padahal, semua itu hanya bisa terjadi bila sistem politik demokratis tersebut dilengkapi aturan main dan norma yang jelas sehingga sistem dapat mengakomodasi aspirasi politik rakyat. Sebaliknya, jika sistem politik demokratis itu tidak ditopang aturan main rinci, maka agenda reformasi ekonomi berpotensi ditelikung pemburu rente ekonomi-politik. Contoh paling telanjang adalah kebijakan tata niaga impor daging, kedelai, hingga gula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar