Sabtu, 28 Desember 2013

Demokrasi Perlu Diselamatkan

Demokrasi Perlu Diselamatkan

James Luhulima  ;   Wartawan Kompas)
KOMPAS,  28 Desember 2013

  

MASALAH yang mendera kehidupan demokrasi di Thailand belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik. Harian ini, dalam tajuk rencananya beberapa hari yang lalu, mengingatkan bahwa kehidupan demokrasi Thailand berada di ujung tanduk. Dan, memang itulah yang sedang terjadi.

Tekanan dari gelombang protes yang menuntut Perdana Menteri Yingluck Shinawatra untuk mundur, membuat Yingluck tidak mempunyai pilihan lain kecuali membubarkan parlemen, awal bulan ini, dan menawarkan untuk menyelenggarakan pemilihan umum, 2 Februari mendatang.

Namun, apa yang telah dilakukan oleh Yingluck itu dianggap pemimpin aksi demonstrasi, Suthep Thaugsuban, belumlah cukup, ia tetap memimpin gelombang demonstrasi. Suthep menuntut dibentuknya ”Dewan Rakyat” untuk membersihkan ”klan Shinawatra” sebelum pemilu diselenggarakan.

Keadaan bertambah runyam ketika partai oposisi menyatakan akan memboikot pemilu itu dan memilih bergabung dengan gelombang protes. Bagaimana mungkin sebuah partai oposisi, yang merupakan anggota parlemen, memilih meninggalkan parlemen dan bergabung dalam gelombang protes.

Sebagai anggota parlemen, partai oposisi seharusnya berjuang di dalam gedung parlemen, atau berpartisipasi dalam pemilu, dan bukan bergabung dalam parlemen jalanan yang berjuang melalui aksi demonstrasi.

Kegalauan itu pulalah yang dirasakan oleh Yingluck, yang terpilih menjadi PM melalui pemilu. Yingluck meminta rakyat berpegang dan memercayai sistem. Ia mengatakan, ”Jika kalian tidak menerima pemerintahan ini, setidaknya tetaplah berpegangan pada sistem. Jika kalian tidak percaya pada sistem demokrasi, kepada apa lagi kita semua akan berpegang?”

81 tahun lalu

Kehidupan demokrasi parlementer Thailand diawali sekitar 81 tahun lalu. Pada tahun 1932, perwira-perwira militer muda lulusan Eropa dan Amerika Serikat menuntut agar sistem monarki absolut di Thailand diakhiri dan diganti dengan sistem monarki konstitusional. Sistem demokrasi yang dipilih adalah demokrasi parlementer. Dengan demikian, Raja bertindak sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri.

Namun, kehidupan demokrasi parlementer di Thailand tidak selalu berjalan mulus. Berulang kali militer mengganggu kehidupan demokrasi parlemen dengan melancarkan kudeta. Sejak tahun 1932, hingga kudeta terakhir yang terjadi tahun 2006, sudah terjadi 25 kudeta dan percobaan kudeta. Namun, berkat peran Raja Bhumibol Adulyadej demokrasi selalu bisa dikembalikan ke parlemen.

Kudeta terakhir terjadi pada 20 September 2006, ketika militer merebut kekuasaan dari tangan PM Thaksin Shinawatra yang tengah mengikuti Sidang Majelis Pemilihan Umum di Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York.

Kudeta terakhir itu dianggap mengejutkan mengingat selama 15 tahun militer telah menarik diri dari panggung politik. Pada tahun 1992, Raja Bhumibol memanggil Jenderal Suchinda Kraprayoon, PM Thailand hasil kudeta militer, dan meminta dia untuk mundur dari gelombang protes berdarah yang dimotori kelas menengah. Dan, pada tahun 1993, Panglima Angkatan Darat Jenderal Wimol Pongpanitch memutuskan untuk menarik militer dari panggung politik.

Kini, pada saat demokrasi parlementer Thailand terancam oleh demokrasi jalanan, harapan sempat diarahkan kepada Raja Bhumibol untuk memainkan perannya. Pada hari ulang tahun Raja, 5 Desember lalu, para demonstran sempat menghentikan aksinya untuk menghormatinya. Dan, pada ulang tahunnya itu, Raja mendesak rakyat saling mendukung demi negara. Namun, tampaknya desakan Raja itu belum ditanggapi secara positif oleh rakyat Thailand, paling tidak oleh kelompok anti-PM Yingluck dan partai oposisi. Keduanya tidak mau berkompromi dengan pemerintah.

Melihat tidak adanya tanggapan seperti yang diharapkan, Yingluck lalu menawarkan untuk membentuk Dewan Reformasi Nasional. Namun, tawaran itu ditolak mentah-mentah. Pertanyaannya, relakah kita melihat suatu pemerintahan yang dipilih melalui pemilu dikalahkan oleh parlemen jalanan?

Jika tidak, siapa yang harus, atau dapat, menyelamatkan demokrasi di Thailand? Rasanya tidak mungkin Raja Bhumibol yang melakukannya. Parlemen jalanan tidak sama dengan kudeta militer. Pada kudeta militer, pemimpinnya dipatuhi oleh seluruh anggota kelompoknya sehingga ketika pemimpinnya diajak bicara dan berkompromi akan dituruti oleh semuanya. Berbeda dengan parlemen jalanan. Tidak jelas siapa pemimpin yang paling dipatuhi. Itu sebabnya, juga tidak jelas siapa yang harus diajak bicara untuk mengakhiri gelombang protes itu. 
Apakah cukup dengan mengajak bicara Suthep atau juga dengan orang-orang lain?

Yang mengkhawatirkan, akhir-akhir ini, gelombang protes itu meningkat menjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dan aparat kepolisian. Bahkan, seorang personel polisi tewas saat bentrokan terjadi. Jika keadaan menjadi tidak terkendali, bukan tidak mungkin hal itu akan menjadi pintu masuk bagi militer untuk kembali melakukan intervensi.

Dalam keadaan seperti ini, kita hanya bisa berharap setiap pihak menahan diri dan tidak memperkeruh keadaan. Partai oposisi juga diharap menarik dukungan kepada pengunjuk rasa dan kembali berjuang melalui parlemen atau melalui pemilu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar