Sabtu, 28 Desember 2013

Indonesia dalam Rekonsiliasi Mesir

Indonesia dalam Rekonsiliasi Mesir

Ibnu Burdah  ;   Pemerhati Masalah Timur Tengah dan Dunia Islam,
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA MERDEKA,  27 Desember 2013




KONFLIK antara pendukung ”legitimasi” yang dimotori Ikhwanul Muslimin dan kubu pemerintahan- ”militer” di Mesir masih jauh dari selesai. Setelah dikabarkan sedikit mereda, ledakan bom mobil di kota Al-Manshurah terjadi, dan itu menambah ketegangan.

Puluhan warga sipil tewas dan ratusan lainnya lukaluka. Perdana Menteri Hazem al-Beblawi secara tidak langsung menuding Ikhwan berada di balik itu semua. Kantor perdana menteri menyatakan Ikhwan adalah organisasi teroris. Sontak Ikhwan dan kelompoknya menolak tudingan itu.

Lewat pernyataan resmi, Ikhwan juga mengutuk keras kejahatan itu dan berharap pelakunya segera ditangkap dan diadili. Kelompok pendukung Mursi plus antimiliter tersebut masih berupaya mempertahankan dan memperluas gerakan aksi di jalanan kendati posisi mereka makin tersudut. Gerakan mereka tidak hanya terkonsentrasi pada 1 atau 2 titik di tengah ibu kota seperti sebelumnya.

Kini mereka menyebar ke berbagai titik di pelbagi kota, termasuk di pinggiran-pinggiran Kota Kairo dan juga di kampus besar di berbagai kota. Sementara, pemerintahan-”militer” masih terus memburu pemimpin Ikhwan yang belum tertangkap. Beberapa pentolan tokoh 6 April yang paling berjasa menjatuhkan rezim Mubarak kini meringkuk di penjara.

Sebagian besar tokoh Ikhwan yang ditangkap, termasuk Mursi, menghadapi tuduhan berat, yaitu melakukan aksi spionase untuk asing, pengkhianatan terhadap negara, memprovokasi untuk melakukan pembunuhan, tindakan kekerasan, menghasut, dan seterusnya. Pilihan rakyat Mesir pada demokrasi sebagai penentu masa depan sebagaimana telah dinyatakan dalam revolusi rakyat tanggal 25 Januari 2011 sebenarnya sudah tepat.

Sistem tersebut memungkinkan negeri itu mengelola keberagaman dan berbagai perbedaan di masyarakat, terutama mengenai cetak biru negara itu ke depan. Patut disesalkan, sebagian rakyat Mesir seperti menelan ludah sendiri melalui gerakan massa sangat besar pada 30 Juni 2013. Gerakan itu antara lain mengundang kembali militer yang mulai tersisih dari panggung politik untuk memegang lagi kendali kekuasaan.

Kegagalan kekuatan sipil demokratik, termasuk Ikhwanul, saat memerintah, beberapa kelompok Liberal dan Kiri yang terkesan memaksakan kehendak telah membawa kembali militer ke pusaran kekuasaan. Kelompok-kelompok sipil demokratik gagal menjadikan jalan demokrasi damai sebagai saluran menyelesaikan perbedaan dan perselisihan di antara mereka.

Kesalahan paling fatal adalah mengundang kembali militer ke pusaran kekuasaan padahal revolusi 25 Januari lalu jelas mengamanatkan keterbentukan pemerintahan sipil, bukan militer. Tragedi demokrasi dan kemanusiaan di Mesir setelah gerakan massa 30 Juni 2013 hingga sekarang tak lain adalah akibat nyata dari kegagalan itu. Faktanya, militer adalah penguasa de facto sekarang. Kekuatankekuatan sipil-demokratik, baik Islamis maupun sebagian besar kelompok sekuler terpinggirkan dari panggung kekuasaan.

Strategi utama Ikhwan hingga sekarang sepertinya belum berubah, yakni melawan ”pemerintah” militer melalui gerakan massa secara damai, terutama di kampus- kampus besar. Mereka masih meyakini pola itu kendati korban di pihak mereka sudah terlalu besar. Angin segar bagi kelompok ini adalah kemunculan gerakan massa yang menamakan diri al-Ahraar. Gerakan ini menginginkan militer keluar dari ”istana” kendati mereka mengklaim juga tidak berpihak kepada Ikhwan.

Gerakan pemuda pada 6 April, yang beberapa pemimpin terasnya dijebloskan ke penjara beberapa hari lalu memiliki posisi mirip kelompok ini. Kelompok ini akan menggalang demo besarbesaran pada 25 Januari 2014 sebagaimana mereka lakukan terhadap Mubarak 3 tahun lalu.

Peran Indonesia

Rekonsiliasi damai tak akan mudah dicapai di Mesir saat ini kendati banyak cara terus diupayakan untuk mencari terobosan baru atas kebuntuan politik saat ini. Berbagai upaya pihak luar, termasuk AS dan Uni Eropa, untuk mendorong rekonsiliasi, juga gagal padahal mereka aktor-aktor kuat internasional.

Orang Mesir tak akan mudah menerima solusi dan ”nasihat” dari orang lain mengingat konsep diri mereka itu sangat tinggi. Mashr yaa ummal bilaad, kata mereka dalam lagu kebangsaannya. Yang ada pada benak mereka adalah apa yang mereka lakukan akan menjadi perhatian dan diikuti oleh negara-negara Arab dan banyak negara berpenduduk muslim.

Tapi Indonesia dengan segala prestasi dalam hal mengelola perbedaan, menjaga moderatisme agama, dan mengokohkan diri sebagai negara terbesar demokrasi di dunia Islam tak boleh terlalu percaya diri menghadapi Mesir. Kita pasti melogikakan pengalaman Indonesia adalah sesuatu yang pasti menarik dan berharga bagi negeri itu untuk memecahkan segala masalah saat ini.

Logika itu mendasarkan pada banyaknya kemiripan persoalan kedua negara, sekaligus kebersamaan yang panjang dalam sejarah perjuangan. Tapi, dalam waktu yang bersamaan yakinlah logika seperti itu tak akan berguna mengingat orang Mesir tidak akan menerima nasihat dari siapa pun. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar