Senin, 30 Desember 2013

Infrastruktur - Eksekusi yang Sangat Terlambat



PROSPEK EKONOMI 2014

Infrastruktur : Eksekusi yang Sangat Terlambat

M Clara Wresti  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  25 Oktober 2013
 


PERTENGAHAN  tahun 2013, sesaat sebelum hari raya Idul Fitri, pemerintah dikejutkan dengan ledakan barang impor yang menyerbu masuk Indonesia. Ribuan peti kemas impor membanjiri Pelabuhan Tanjung Priok sehingga menimbulkan kemacetan karena kapasitas pelabuhan yang terbatas.
Semua pemilik barang berteriak karena kapasitas pelabuhan terbatas dan proses pengeluaran barang dari pelabuhan lama, membuat pemilik barang harus membayar lebih mahal dari seharusnya.

Tidak hanya lalu lintas barang di pelabuhan laut yang mengalami kemacetan. Di Bandara Soekarno-Hatta, para penumpang juga mengeluh. Sering kali mereka harus menunggu hingga puluhan menit di dalam pesawat hanya untuk antre lepas landas atau berputar-putar di udara untuk menunggu giliran mendarat.

Di darat, kondisinya juga tidak jauh berbeda. Jutaan orang harus menghabiskan waktu, tenaga, dan bahan bakar yang besar untuk bisa melakukan aktivitasnya. Kemacetan di jalan raya juga telah mengancam mobilitas warga kota, yang tentu akan berdampak pada produktivitas. Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan hasil studi evaluasi biaya kemacetan lalu lintas DKI Jakarta tahun 2010, mencatat, kerugian akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta mencapai Rp 45,198 triliun.

Kerugian mencakup komponen biaya untuk bahan bakar kendaraan, operasi kendaraan, kehilangan nilai waktu, kehilangan potensi ekonomi, dan pencemaran udara. Kerugian terbesar dari kemacetan lalu lintas yang melingkupi DKI Jakarta adalah kehilangan nilai waktu yang mencapai Rp 14 triliun lebih.

Kemacetan yang terjadi di darat, laut, dan udara ini tentu saja membuat daya saing Indonesia menjadi rendah. Walau World Economic Forum (WEF) telah meningkatkan peringkat Indonesia dalam daftar daya saing global 2013 pada September lalu, dari urutan 50 menjadi urutan 38 dengan skor 4,53, tetapi jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, Indonesia dikalahkan Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand. Padahal, sebentar lagi, di tahun 2015, Indonesia harus bersaing dengan negara-negara itu saat Masyarakat Ekonomi ASEAN diterapkan.

WEF menilai performa Indonesia telah memperoleh nilai baik pada pembangunan infrastruktur, seperti peningkatan kualitas jalan, penyediaan air bersih, pelabuhan, pembangkit listrik, dan fasilitas lain.

Namun, di luar yang diungkapkan WEF ini, kondisi Indonesia masih belum mencukupi. Kemacetan masih ditemukan di banyak tempat. Masyarakat di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi masih mengeluhkan layanan listrik yang buruk. Dengan kondisi ini, Bank Dunia menyarankan Pemerintah Indonesia harus fokus pada kebijakan membangun infrastruktur untuk menopang kebutuhan masyarakat dalam beraktivitas.

Menurut Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik, di Bali, awal Oktober lalu, kurangnya dukungan infrastruktur di Indonesia merupakan halangan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan inflasi, dan menciptakan defisit neraca pembayaran. ”Indonesia membutuhkan investasi infrastruktur untuk menopang kebutuhan masyarakat dalam beraktivitas,” kata mantan Menteri Keuangan Indonesia yang kerap disapa Ani ini.

Ani juga mengatakan bahwa masalah infrastruktur dihadapi oleh semua negara di dunia, baik negara miskin, berkembang, maupun maju. Negara berkembang membutuhkan dana sebesar 1 triliun hingga 1,2 triliun dollar AS untuk menopang pertumbuhan ekonomi, peningkatan produktivitas, pengentasan rakyat dari kemiskinan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Fokus infrastruktur

Menteri Keuangan Chatib Basri sebelumnya mengatakan, Indonesia telah memilih untuk fokus pada masalah infrastruktur. ”Indonesia secara konsisten memimpin upaya untuk meningkatkan profil agenda reformasi infrastruktur di APEC serta forum lainnya, seperti ASEAN dan G-20 serta menciptakan sinergi antarmereka,” ujarnya.

Dikatakannya, untuk memperkuat dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi, perekonomian yang sedang tumbuh perlu menarik modal jangka panjang yang diinvestasikan dalam proyek infrastruktur terbaik. ”Tantangan kita saat ini adalah mengambil langkah-langkah praktis yang membutuhkan kerja dan niat, yang dipandu oleh prospek strategis,” tuturnya.

Apa yang diputuskan pemerintah untuk infrastruktur sudah tepat. Namun, masih dibutuhkan banyak dana dan waktu yang cukup lama untuk bisa mewujudkan infrastruktur itu. Mengenai kendala dana, Bank Dunia sudah menawarkan Global Infrastructure Facility, yakni pembiayaan jangka panjang untuk pembangunan infrastruktur. Selain itu China juga menyatakan ingin membangun bank infrastruktur untuk membantu pembiayaan infrastruktur negara-negara di Asia.

Sekarang yang dibutuhkan adalah komitmen yang kuat untuk tidak melakukan korupsi terhadap anggaran-anggaran infrastruktur. Jangan ada lagi ditemukan daerah-daerah miskin, tetapi pejabat publiknya bergelimang harta. Demikian juga proses lelang, harus dilakukan dengan benar dan jujur.

Pertimbangan pemenang tender jangan lagi sekadar yang menawarkan paling murah, tetapi juga mempertimbangkan kemampuan dan kompetensi agar infrastruktur yang dihasilkan adalah infrastruktur yang berkualitas dan tahan lama sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar