Senin, 30 Desember 2013

Jangan Terlena, Jangan Lamban



PROSPEK EKONOMI 2014

Jangan Terlena, Jangan Lamban

Pieter P Gero  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  25 Oktober 2013
 


DARI fakta yang ada, sangat jelas bahwa pemerintah dan semua pemangku kepentingan di negeri ini terlena. Bisa diduga, karena terlena, mereka menjadi sangat lamban mengambil langkah-langkah kebijakan penanggulangan. Tudingan terlena dan lamban ini muncul jika dikaitkan dengan kinerja defisit neraca perdagangan dan, akhirnya, defisit neraca transaksi berjalan di negeri ini.

Defisit neraca perdagangan di Indonesia mulai terjadi sejak tahun 2012. Kinerja defisit perdagangan untuk produk minyak dan gas (migas) serta produk nonmigas ini merupakan yang pertama sejak tahun 1962. Pertama terjadi dalam 50 tahun ini. Neraca perdagangan sejak itu silih berganti defisit dan surplus, sementara defisit transaksi berjalan per triwulan II-2013 sudah berlangsung tujuh triwulan atau 21 bulan ini.

Kenyataannya, pemerintah baru mengeluarkan langkah-langkah penanggulangan dengan mengeluarkan empat paket kebijakan ekonomi pada Agustus lalu. Itu juga setelah terkejut ketika angka defisit transaksi berjalan pada triwulan II-2013 mencatat rekor 9,8 miliar dollar AS. Sekitar 4,35 persen dari produk domestik bruto (PDB). Meningkat tajam dari 5,8 miliar dollar AS, angka defisit transaksi berjalan triwulan I-2013.

Padahal, sangat jelas, defisit transaksi berjalan yang bersumber dari defisit neraca perdagangan ini lebih disebabkan kebutuhan impor produk migas dan produk nonmigas yang meningkat pesat. Ironisnya, beberapa dari produk impor ini sebenarnya bisa disiapkan dari dalam negeri, seperti beras, produk hortikultura, daging sapi, jagung, dan kedelai. Saat pemerintahan Orde Baru, produksi beberapa produk tersebut, seperti jagung, kedelai, dan beras, bisa sangat tinggi. Namun, kini kinerjanya merosot tajam dan harus diisi dari impor.

Data menyebutkan, produksi kedelai tahun 1992 mencapai 1,9 juta ton. Namun, produksi kedelai tahun 2013 hanya 800.000 ton sehingga perlu impor 2 juta ton kedelai per tahun. Tahun lalu, Indonesia mengimpor 3 juta ton, mengimpor bawang putih 410.100 ton, dan mengimpor bawang merah rata-rata 100.000 ton per tahun. Total impor pangan Indonesia tahun 2012 sebesar Rp 81,5 triliun.

Semisal pemerintah mengeluarkan paket kebijakan antara lain menekan impor bahan bakar minyak (BBM) yang terus meningkat. Seperti diketahui, anggaran subsidi energi yang disiapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 sebesar Rp 299,8 triliun. Subsidi BBM mencapai Rp 199,9 triliun dan subsidi listrik Rp 99,9 triliun.

Anggaran subsidi BBM yang sekitar 20 persen dari APBN untuk kehidupan 240 juta jiwa sepanjang setahun jelas tidak sehat. Lembaga pemeringkat S&P sudah memperingatkan hal ini saat menurunkan peringkat utang Indonesia. Dan, sungguh ironis, pemerintah baru menaikkan harga BBM bersubsidi pada bulan Juni lalu.

Terlalu lamban untuk sebuah pengorbanan infrastruktur yang tidak terbangun, petani yang kesulitan mendapat pupuk dan benih yang baik, serta saluran irigasi yang sudah kritis. Petani bisa menghasilkan produk pertanian yang juga akan menekan beban impor produk pertanian. Mengapa tidak semua subsidi dialihkan ke sana?

Kebijakan paket ekonomi pengalihan BBM bersubsidi jenis solar ke produk biodiesel berbasis minyak sawit mentah (CPO) bersubsidi sebenarnya harus dilakukan sejak jauh hari. Setelah pasar global mengalami resesi akibat krisis ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa sejak tahun 2008, sebuah langkah kebijakan mengalihkan biodiesel ini juga sudah harus diambil. Ketika itu, banyak ekspor CPO berkurang dan bisa dialihkan untuk BBM jenis solar. Bakal ada penghematan impor produk BBM solar.

Lambannya aksi pemerintah ini menimbulkan prasangka ada permainan di balik berbagai impor minyak mentah dan produk BBM. Apalagi, pembangunan kilang minyak di dalam negeri terakhir pada tahun 1974. Tak pernah lagi ada pembangunan kilang baru. Terkesan, pemerintah atau oknum dalam pemerintah yang bermain untuk mendapat rente dari kegiatan impor minyak mentah dan produk BBM. Saatnya pemerintah mulai tahun 2014 segera memutuskan pembangunan kilang di dalam negeri. Maklum, kebutuhan domestik yang terus melonjak.

Tudingan terlena dan tidak antisipatif juga terlihat berkaitan dengan pujian bahwa negeri ini mengalami ledakan kelas menengah dengan populasi besar masyarakat usia muda yang juga bonus demografi. Studi McKensey Global Institute sering kali dikumandangkan, di mana kekuatan ekonomi Indonesia kini 16 besar dunia dengan 45 juta konsumen potensial. Kekuatan ini akan menjadi nomor tujuh dunia pada tahun 2030 dengan 135 juta konsumen potensial.

Bukankah berarti masyarakat kelas menengah yang konsumtif karena perubahan gaya hidup dan kebutuhan ini memerlukan banyak produk? Dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6 persen dalam beberapa tahun terakhir ini, bukankah kebutuhan mereka akan bertambah pesat? Bukankah pertumbuhan ekonomi 6 persen itu karena peranan konsumsi dan investasi? Namun, mengapa sektor manufaktur, sektor ekspor manufaktur minim? Mengapa impor begitu mendominasi, apalagi impor produk konsumsi yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri? Masih banyak pertanyaan menggugat lainnya.

Konsekuensi yang mahal

Konsekuensi dari terlena dan lamban adalah transaksi berjalan yang melambung besar. Dalam berbagai kesempatan, peserta panel diskusi, pengamat ekonomi, dan berbagai lembaga keuangan internasional meminta pemerintah untuk fokus menekan defisit transaksi berjalan ini. Mengapa? Karena defisit transaksi berjalan merupakan biang dari nilai rupiah yang melemah, cadangan devisa yang terus merosot, dan jatuhnya harga saham.

Kondisi defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan ini akan mendorong spekulasi di pasar valuta. Apalagi, dengan pasokan dollar AS yang semakin menipis dan cadangan devisa yang terus merosot. Sekali lagi, pemerintah dan Bank Indonesia perlu berkoordinasi rapat untuk menyampaikan kondisi yang akut ini. Semisal, cadangan devisa kita pernah mencapai 124 miliar dollar AS pada Agustus 2011. Namun, belalakangan merosot hingga 92 miliar dollar AS. Sebuah situasi tak beres. Sinyal bank sentral AS yang ingin menghentikan kebijakan pelonggaran likuiditas (quantitative easing) kian memperumit keadaan.

Nilai rupiah yang melemah di tengah impor yang tinggi berakibat inflasi yang kian meroket. Inflasi yang sudah tinggi dampak dari kenaikan harga BBM terus terdorong dengan inflasi impor karena produk barang impor yang mahal akibat rupiah melemah. Bank Indonesia terpaksa menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate hingga 7,25 persen agar inflasi cukup 9 persen. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi terkoreksi menjadi di bawah 6 persen. Upaya penciptaan lapangan kerja terganggu. Terusik upaya menekan angka kemiskinan.

Paket kebijakan ekonomi pemerintah, sekalipun lamban, mulai berbuah hasil. Setelah empat bulan sejak April 2013 neraca perdagangan terus mencatat defisit, neraca perdagangan Agustus lalu mencatat surplus 132,4 juta dollar AS. Nilai ekspor mencatat 13,16 miliar dollar AS, sementara impor 13,03 miliar dollar AS. Sukses ini karena nilai impor Agustus 2013 turun 25,2 persen menjadi 13,03 miliar dollar AS. Sayangnya, total ekspor Agustus 2013 ikut turun 12,77 persen menjadi 13,16 miliar dollar AS.

Pesan yang kuat, pemerintah dan semua pemangku kepentingan di negeri ini tidak bisa lagi terlena dan lamban menghadapi kondisi perekonomian, terutama memasuki tahun 2014. Apalagi, defisit transaksi berjalan diperkirakan masih akan berlangsung dua sampai tiga tahun lagi. Paling cepat baru akan teratasi pada 2015. Sementara kita sudah memasuki pasar bebas ASEAN dan menyusul pasar bebas APEC.

Paket kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah dan sejumlah kebijakan bauran makro prudensial Bank Indonesia masih harus dilakukan. Intinya, kini saatnya sektor manufaktur dan sektor pertanian di dalam negeri perlu didorong optimal. Siapkan insentif dan kebijakan yang mendorong penanaman modal asing agar terus meningkat. Juga memberikan insentif bagi industri yang ada agar bertahan dan ekspansif.

Pesan paling segar datang dari Deputi Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Naoyuki Shinohara. ”Indonesia perlu melanjutkan kebijakan fiskal dan moneter untuk menangani pelemahan ekonomi. Kebijakan yang diambil harus fokus, salah satunya menangani transaksi berjalan yang defisit. Terkait hal itu, Indonesia harus melanjutkan reformasi struktural, mendorong investasi, serta memperbaiki infrastruktur dan iklim bisnis,” ujarnya.

Pesan ini sebenarnya sudah dilontarkan sejak lama oleh pengamat ekonomi serta sejumlah lembaga ekonomi dan keuangan lokal dan internasional. Media massa juga berkali-kali mengumandangkannya. Bahkan, pejabat ekonomi dan keuangan dalam pemerintahan sekarang ini juga bukan orang sembarangan. Prasangka yang muncul adalah kepentingan politik mematikan semua logika ekonomi. Akibatnya, pemerintah menjadi terlena dan lamban. Jangan ada lagi pemerintah yang terlena dan lamban pada 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar