Sabtu, 28 Desember 2013

Kebangkitan Kaum Tradisionalis

Kebangkitan Kaum Tradisionalis

Ali Usman  ;   Aktivis NU, Tinggal di Yogyakarta
SUARA MERDEKA,  27 Desember 2013
  


REFLEKSI terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tidak hanya sewaktu ia masih hidup, bahkan setelah berpulang pada pengujung 2009 pun hingga hari ini terus mengemuka. Gus Dur, oleh khalayak diberi ragam predikat, seperti sebagai Guru Bangsa, Bapak Humanisme, Bapak Pluralisme, dan sebagainya.

Di kalangan warga nahdliyin, Gus Dur layaknya dalam dunia akademisi, dikukuhkan menjadi ìguru besar’’, dan mungkin satu-satunya sepanjang sejarah perjalanan NU sebagai organisasi sosial keagamaan sejak 1926. Ekspektasi publik kepadanya bisa dimengerti mengingat dialah yang membangkitkan kaum tradisionalis, istilah yang diperlawankan dengan kaum modernis.

Ironisnya kalangan tradisionalis distereotipkan pada kesan negatif seperti jumud, antikemajuan, konservatif, dan lain-lain. Gus Dur menjadi ikon kaum sarungan yang gagasannya melampau sekat-sekat tradisionalis dan modernis. Tentang pribumisasi Islam misalnya, sebagian kelompok mencerca karena menganggap pemikiran itu sesat, nyleneh; kelompok lainnya memilih diam enggan berkomentar, dan sebagian lagi mencoba memahami secara perlahanlahan.

Dari sana, lantas tak hanya orang Indonesia, para peneliti Barat pun kembali mempertanyakan, benarkah label tradisionalis- konservatif hasil konstruksi pengetahuan para ilmuwan sebelumnya itu layak disematkan kepada NU, terutama tokohtokohnya, seperti Gus Dur? Gus Dur menerangkan bahwa pribumisasi Islam bukanlah Jawanisasi atau sinkretisme mengingat itu sebatas mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal (Indonesia) dalam merumuskan hukumhukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri.

Juga bukan meninggalkan normanorma (keagamaan) demi budaya melainkan supaya norma-norma itu bisa menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempertimbangkan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash. Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam.

Pribumisasi versi Gus Dur adalah juga upaya kembali mengukuhkan akar budaya, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat taat beragama. Pribumisasi Islam dengan sendirinya bertindak sebagai antitesis atas fenomena kemerebakan Arabisasi pada sebagian umat Islam.

Arabisasi dianggap sebagai representasi ajaran agama, adapun di luar itu dianggap bukan ajaran agama. Gus Dur mempertanyakan asumsiasumsi dasar tentang Arabisasi itu. Mengapa harus menggunakan istilah shalat, bila kata sembahyang juga tak kalah benar? Mengapa harus menjadi mushala, padahal dulu cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa afdal dijadikan milad.

Dahulu tuan guru atau kiai, sekarang harus ustadz atau syeih, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercerabut dari lokalitas yang mendukung kehadirannya di belahan bumi ini? Yang dipribumikan adalah manifestasi kehidupan Islam belaka, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formal. Tidak diperlukan Quran Batak dan hadis Jawa. Islam tetap Islam di mana saja berada. Namun tak berarti semua harus disamakan ’’bentuk luar”-nya. Salahkah kalau Islam dipribumisasikan sebagai manifestasi kehidupan?

Cakrawala Baru

Di kalangan NU, gagasan pribumisasi Islam sebenarnya merupakan wujud dari kaidah ushul, yang sekaligus menjadi jargon terkenal, yakni menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

Gagasan-gagasan Gus Dur, termasuk tentang pribumisasi Islam, justru banyak diapresiasi oleh intelektual muda NU. Gus Dur sebagai seorang muslim tradisionalis, cenderung menggunakan ungkapan-ungkapan keagamaan yang didasarkan pada budaya asli lokal Indonesia.

Hal itu terlihat jelas dalam sikapnya terhadap wayang kulit, wujud seni dari masa pra-Islam dalam dunia Hindu Asia Tenggara. Ia menghormati bukan saja seni pewayangan, melainkan juga isi spiritualnya. Kebiasaan inilah yang kerap membuat banyak pengamat ìkebingunganî atas pemikiran Gus Dur.

Ia sangat menganjurkan pluralisme dan toleransi, sekaligus pada saat bersamaan menjadi orang yang sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan umat Islam itu sendiri. Padahal idiom modern Barat mengatakan bahwa hanya dengan melepaskan dogmatisme maka seseorang bisa menjadi toleran (Barton, 2002).

Karena itu, dalam komunitas nahdliyin, Gus Dur sebagaimana ungkapan Nur Khalik Ridwan (2010) adalah guru besar kaum muda dan para kiai NU, meskipun ada orang tidak suka dan tak sepaham dengannya, tapi itu lumrah dan wajar.

Ketidaksepahaman itu, lagi-lagi juga tidak menutup kebesaran dan posisinya sebagai guru besar nahdliyin, terutama bagi kaum muda dan kiai. Posisi sebagai guru besar kaum nahdliyin tidaklah diperdebatkan, sebagaimana orang memperdebatkan wajib dan tidaknya mendirikan negara Islam, karena memang begitulah adanya.

Gus Dur telah membuka cakrawala dan wawasan baru, dan itu berpengaruh ke dalam arus perkembangan pemikiran warga nahdliyin khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Jasa Gus Dur-lah, membuat banyak warga nahdliyin bangga menjadi orang NU. Dengan demikian Gus Dur memang benar-benar guru bangsa sekaligus guru bagi keberagaman masyarakat Indonesia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar