Selasa, 31 Desember 2013

Kekuasaan demi Kekuasaan

Kekuasaan demi Kekuasaan

Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO,  30 Desember 2013
  


Sering terjadi debat antara pihak yang berorientasi pada nilai moral dan etika dengan mereka yang gigih berjuang merebut kesempatan politik melalui berbagai cara seperti pemilu, lobi, membujuk halus, mengancam secara terselubung lewat partai, dan banyak cara lain yang dimungkinkan di dalam politik untuk meraih kekuasaan. 

Mereka yang berorientasi pada nilai moral dan etika mengingatkan agar langkah politik jangan semata demi kekuasaan. Pihak yang gigih merebut peluang apa saja demi kekuasaan mengatakan, memangnya apa tujuan politik selain kekuasaan? Perdebatan tak menemukan suatu jalan keluar juga tidak menghasilkan sikap saling memahami. Bagi pihak yang menganggap langkah politik memang ditujukan untuk meraih kekuasaan sejak dulu hingga hari ini tak berubah. 

Bagi mereka, langkah apa pun yang ditempuh dalam politik, tujuannya kekuasaan, kekuasaan, dan kekuasaan. Kita berhadapan dengan sikap politik yang kaku dan tampak begitu mengerikan. Politik yang berarti merebut kekuasaan akan membuat mereka pongah: kekuasaan digunakan untuk berkuasa dan berkuasa bisa berarti semuanya pihak penguasa. Ini wujud kekuasaan demi kekuasaan itu. 

Di sini makna “berkuasa”, terutama terhadap orang lain, terhadap sumbersumber keuangan, dan segenap kekayaan alam, akan menjadikan sang penguasa merasa dirinya raja diraja yang tak ada lawan yang dianggap sepadan. Kata kontrol tidak terdapat dalam kesadarannya. Kata rakyat dan kesadaran bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat tidak ada padanya. Ini kesadaran umum yang berkembang di masyarakat kita. 

Orang melakukan suatu langkah politik untuk berkuasa dan kekuasaan itu miliknya. Kekuasaan di tangannya hanya berarti untuk kekuasaan itu sendiri. “Kekuasaan demi kekuasaan” , warisan kebudayaan abad ke-16 menjadi kebanggaan bagi mereka yang enggan berbagi dengan orang lain. Itu yang hingga hari ini berkembang di kalangan para pemburu kekuasaan. 

Mereka yang haus kekuasaan, perempuan maupun laki-laki, bersikap sama. Bagi tipologi manusia seperti itu, orang lain dianggap tidak ada. Kekuasaan sesuatu yang sebenarnya “dipinjam” sementara dianggap miliknya sendiri. Mereka enggan berbagi dengan orang lain. Gagasan dasar bahwa “kekuasaan hanya demi kekuasaan” itu sendiri sudah menjadi puncak tertinggi dari perjuangan dan pemikirannya. 

Militer, polisi, pebisnis, politisi, dan bahkan kalangan agama berpikir seragam. Kekuasaan tidak lain dari usaha untuk berkuasa. Sesudah berkuasa, mereka bertindak semaunya. Menggelapkan aset bangsa dianggap tidak salah. Mereka yang sadar akan makna kekuatan hukum dan anehnya mereka yang sadar akan makna demokrasi gigih berusaha menyiapkan perangkat hukum agar segenap tindakan dan tingkah lakunya sebrutal apa pun terlindungi secara hukum dan sah adanya. 

Dengan begitu, siapa bakal menuntutnya di depan hukum? Sejak zaman Orde Baru hal itu dipraktikkan secara gemilang. Teriakan-teriakan yang mewakili suara keadilan tak pernah memperoleh tempat. Suara mereka membentur tembok tebal birokrasi. Lebih parah lagi, suara tuntutan itu membentur telinga penguasa yang sudah menjadi sangat tebal dan menyentuh hati yang telah membatu. 

Tak jemu-jemu kita menyerukan agar kekuasaan tidak semata untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri. Sejak dulu suara itu diperdengarkan. Hanya sedikit telinga mau mendengarkannya. Lebih sedikit hati yang mau merasakannya sebagai kebenaran. Di dalam masyarakat kita, masyarakat yang makin korup dan makin menyimpang dari tatanan itu, “kekuasaan demi kekuasaan” menjadi pemula tindak korup dan membenarkan tindak korup itu sendiri. 

Memang tiap penguasa baru yang dilantik dengan sumpah jabatan selalu harus menandatangani pakta integritas. Di sana tersirat agar dia tidak korup. Tetapi jangan salah, keharusan menandatangani pakta itu malah menunjukkan sebaliknya: integritas itu tidak ada di dalam jiwa mereka. Penandatanganan dengan sumpah tadi hanyalah ritus birokrasi yang tak usah dipikir terlalu serius. Ritus yaritus. Jalani. Terima. 

Ikuti dan segera lupakan. Ritus seperti itu tak diresapi sama sekali bahwa kekuasaan itu hanya barang pinjaman sementara. Kekuasaan itu “amanah”, titipan, yang bukan miliknya. Dia harus dijaga dan suatu saat harus dikembalikan. Kesadaran ini tidak ada. Kita tahu tidak ada kesadaran ini dipelihara dengan baik sebagai cara menyimpang yang mereka anggap lumrah. “Lumrah? 

Artinya menyimpang sebagai kewajaran?” “Ya. Tapi tak dinyatakan begitu. Kewajaran itu tampak sangat jelas pada praktik demi praktik kehidupan birokrasi yang tak lagi memiliki hati nurani. Berputarnya roda birokrasi sudah menjadi rutinitas hidup, sama seperti berputarnya jarum jam, roda mobil, dan roda gerobak. Semua berputar rutin, mekanik, tanpa jiwa, tanpa perasaan, dan tanpa nilai baik atau buruk. 

Apa yang rutin dibiarkan kehilangan nilai. Bagi Menteri Dalam Negeri, melantik orang yang sudah dalam posisi tersangka tidak ada masalah apa pun. Lantik melantik itu sudah menjadi “roda” berputar, tanpa jiwa, tanpa nilai. Kalau orang, tak peduli tersangka, seharusnya dilantik, ya dilantik. Kalau pelantikan tak ada, dia akan merasa kehilangan. Ada bagian dari hidup yang terlupakan. 

Hidup menjadi tak lengkap kalau orang tersangka itu tak dilantik. Argumennya kedengarannya bagus. Dia pilihan rakyat. Jadi yang sudah dipilih itu harus segera mengisi kekosongan kekuasaan agar roda pemerintahan berputar. Bagi menteri, “roda berputar” itu penting. Tapi, isi pikirannya ya hanya “roda”, “roda”, dan “roda”. 

Di balik roda berputar tak ada apa-apa. Ada orang muda dari Istana Baginda yang berkata: yang penting rakyat jangan dirugikan. Apa isi kepalanya? Sama dengan sang menteri: hanya “roda” yang harus berputar itu. Rakyat jangan dirugikan hanya kata kosong. Apa dia tak melihat, orang yang dalam status tersangka itu telah membikin rakyat rugi sebelum berkuasa. Kalau belum berkuasa saja sudah merugikan rakyat, bagaimana sesudah memangku jabatan, dan merasa “jagoan” tak terkalahkan? 

Bagaimana kalau dia sudah makin sadar akan makna: “kekuasaan demi kekuasaan” itu tadi? Apa orang Istana sudah terbiasa membikin rugi sebelum berkuasa? Menang pemilu secara gemilang, tapi melalui kecurangan, apa tak berarti sudah membikin rugi rakyat sebelum berkuasa? Apa menang seperti ini sebuah kemuliaan hidup? Orang dilantik di dalam rumah tahanan atau di penjara dianggap lurah? 

Ini hanya menandakan bahwa pelantikan, sumpah jabatan, penandatanganan pakta integritas tadi hanyalahsebuahomongkosong. Ritus ya ritus. Ikuti. Terima dan lupakan, jelas menjadi sekadar asal “roda” berputar. Di mana kemuliaan? Sikap menteri sendiri mengatakan inti soal yang sama “kekuasaan demi kekuasaan”. 

Lantik. Lakukan ritus itu. Lupakan kepantasan hidup. Lupakan etika. Hadapi KPK tanpa rasa malu. Melantik itu haknya. Dia berkuasa dan harus melaksanakan kekuasaannya. “Kekuasaan demi kekuasaan” seperti itu lupa ruh kehidupan, lupa ruh politik, ruh kekuasaan. Semua demi “roda” yang harus berputar. 

Kita berhadapan dengan hati yang beku dan ide yang keras bagai batu meteor: “kekuasaan demi kekuasaan” telah membunuh ruh kehidupan bernegara yang kita junjung tinggi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar