Selasa, 31 Desember 2013

Kemunduran Peradaban

Kemunduran Peradaban

Ahmad Ubaidillah  ;   Mahasiswa Program Magister Studi Islam UII Yogyakarta
SINAR HARAPAN,  30 Desember 2013

  

“Civilizations die from suicide, not by murder,” teori Arnold Toynbee. Artinya, “peradaban mati karena bunuh diri, bukan pembunuhan”.

Ungkapan sejarawan asal Inggris tersebut sepertinya relevan untuk menggambarkan perjalanan peradaban bangsa kita akhir-akhir ini. Perjalanan yang dipenuhi pemikiran bertentangan dengan hati nurani dan disesaki perilaku ingkar kepada Tuhan.

Hati nurani yang menjadi alat menilai benar-salah dan baik-buruk kini berjalan terseok-seok, diserbu nafsu laknat. Ajaran-ajaran ketuhanan yang menyuruh manusia selalu bertindak mulia tampaknya mulai pingsan, diserang godaan sesaat yang menghancurkan masa depan jangka panjang.

Bergelimangnya perilaku korup dilakukan pejabat negara yang tuli terhadap kemuliaan hidup. Banyak mencuatnya aksi kekerasan dilakukan masyarakat yang buta terhadap indahnya kedamaian. Itu semua adalah sedikit bukti dari sekian banyak fakta empiris yang mengantarkan kita pada suatu keyakinan, bangsa ini sedang mengalami kemunduran peradaban.

Kemunduran yang terjadi bukan karena serangan dari luar, melainkan dari dalam diri kita sebagai pembangun peradaban. M Umer Chapra, ekonom asal Pakisan, dalam karyanya yang berjudul Muslim Civilization: The Causes and Decline and The Need for Reform, melihat kemunduran suatu negara, termasuk kemunduran peradaban, disebabkan ketidakadilan yang mengiringi pembangunan.

Ia mengatakan “Ketidakadilan adalah racun yang sangat mematikan pembangunan. Ia dapat menggerogoti daya hidup manusia dan lingkungan sosial, ekonomi, dan politik melalui proses kompleks yang sulit diprediksi dengan tepat. Jika suatu negara menerapkan ketidakadilan, pembangunan tidak akan mampu bertahan jangka panjang. Hal yang akan muncul adalah ketidakpuasan, konflik, dan perpecahan yang berujung pada kemunduran.”

Kita pasti sepakat, setiap pemimpin dan rakyat pasti menginginkan bangsanya maju. Tidak ada penghuni bangsa di dunia ini, termasuk Indonesia, yang mendambahkan bangsanya mundur atau hancur.

Karena dengan menyandang predikat bangsa yang maju tersebut, tercipta nama baik bangsa di mata bangsa lain. Ini tidak mungkin bisa dicapai tanpa sinergi yang apik antara pemimpin dan rakyat, dengan mencetak peradaban bangsa yang unggul.

Perlu disadari bersama, mencapai bangsa yang maju bukan pekerjaan mudah. Pencapaian kemajuan bangsa tidak segampang membalikkan telapak tangan.
Bangsa tersebut harus menempuh langkah-langkah, yang mungkin amat sulit dan prosesnya sangat panjang. Tidak bisa dimungkiri, sekali lagi, modal utama mencapai kemajuan bangsa adalah kerja sama yang baik antara para pemimpin dan rakyat.

Pemimpin, misalnya presiden, gubernur, bupati, dan pemimpin lainnya, perlu membangun komitmen dan kesadaran bersama guna mencapai kemajuan bangsa tersebut.

Peran para pemimpin perlu mendapat penekanan yang kuat karena mereka memiliki posisi strategis dan kekuasaan politik yang mampu mengarahkan hendak ke mana bangsa ini menuju dan dengan cara apa bangsa ini dikemudikan.

Artinya, para pemegang kekuasaan harus mengelola bangsa ini dengan penuh amanah dan tanggung jawab. Mereka mesti sadar bahwa kekuasaan yang dimiliki bukanlah fasilitas yang dapat dinikmati sesuka hati, melainkan alat memajukan bangsa dan menyejahterakan rakyat.

Mereka juga harus ingat, jabatan yang dimiliki bukan “ladang aji mumpung” yang bebas digunakan untuk meraup kekayaan pribadi dan kelompok (partai). Di sinilah para pemimpin dituntut selalu sadar bahwa dalam menjalankan pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, mereka selalu diawasi Tuhan dan diikat kesetiaan kepada rakyatnya.

Untuk mencapai bangsa yang maju, pasti akan menghadapi berbagai persoalan, mulai persoalan ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan sosial. Ketimpangan ekonomi, kebanalan politik, ketidakadilan hukum, kapitalisasi pendidikan, kekerasan sosial, dan persoalan bangsa lain akan selalu mengadang langkah progresif-konstruktif dalam menggapai kemajuan bangsa tersebut.

Di sini sekali lagi dibutuhkan kerja sama serius dan berkelanjutan antar pemimpin dan masyarakat. Itu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang semakin lama semakin runyam di negeri ini.

Seorang pemimpin di Nusantara tercinta ini perlu merenungkan, maju-mundurnya bangsa sangat dipengaruhi apa yang dilakukan dan diputuskan pemimpinnya, terkhusus presiden.

Presiden adalah representasi bangsa dan negara. Sebesar apa pun negaranya, berapa pun jumlah rakyatnya, dan siapa pun yang bernaung di bawahnya, presidenlah yang memutuskan hendak ke mana nasib bangsa ini dibawa dan bagaimana cara membawanya.

Seorang pemimpin bangsa (presiden) harus mengarahkan seluruh rakyatnya ke arah yang lebih baik. Ia harus memberikan suri teladan kepada rakyatnya, baik berupa perkataan dan perbuatan. Perkataan harus sesuai perbuatan, bukan mencla-mencle.

Kalau ada slogan sebuah partai “Katakan tidak pada korupsi” misalnya, konsukuensinya, pemimpin partai harus bergegas membebastugaskan kader-kader korupnya sebelum berita mencuat ke tengah publik. Di sinilah budaya malu (shame culture) memainkan peranan yang sangat signifikan.

Selain para pemimpin wajib bertiwikrama menciptakan kemajuan bangsa, kiprah rakyat menggapai bangsa yang maju juga memegang peranan yang tidak bisa dianggap remeh.

Warga negara dengan kapasitasnya masing-masing, entah sebagai pendidik, ekonom, tokoh agama, tokoh masyarakat, atau lainnya, perlu berperan proaktif membangun peradaban luhur bangsa. Mereka bisa menyumbangkan ide, pemikiran, atau tenaga untuk menyelesaikan persoalan yang menjadi penghalang kemajuan perdaban bangsa.

Dengan tidak mengesampingkan peranan penting masyarakat di atas, para pemimpin bangsa ini harus pandai menyerap, menyelaraskan, mengaktualisasikan, serta merealisasikan nilai-nilai kepemimpinan sejati untuk mewujudkan kemajuan bangsa Indonesia.

Para pemimpin wajib mengambil keputusan kepemimpinan berdasarkan kepentingan bersama, bukan kelompok (partai).

Hal ini mendesak dilakukan demi terciptanya peradaban luhur manusia Indonesia seutuhnya, baik yang bersifat lahir maupun batin. Inilah yang dimaksud Arnold Toynbee, mati dan hidupnya suatu peradaban tergantung pembangun peradaban itu sendiri. Dalam konteks Indonesia tak lain adalah pemimpin dan rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar