Selasa, 31 Desember 2013

Ketegasan (tidak) Melantik Tersangka Korupsi

Ketegasan (tidak) Melantik Tersangka Korupsi

Zainal Arifin Mochtar   ;   Pengajar Ilmu Hukum di FH UGM Yogyakarta,
Ketua Pukat Korupsi FH UGM Yogyakarta
MEDIA INDONESIA,  30 Desember 2013



“Pasal 29 hingga Pasal 35 dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sering dirujuk sesungguhnya bukanlah aturan yang dapat dinisbahkan untuk menjadi alasan hukum guna melantik Hambit.”

KITA semua paham bahwa Hambit Bintih ialah pemenang dalam kontestasi kepala daerah di daerah yang diikutinya. Ia dikukuhkan sebagai Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, bukan hanya oleh komisi khusus untuk mengawal proses pemilihan umum, melainkan juga melalui proses peradilan sengketa hasil pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengukuhkannya sebagai pemenang meski Ketua MK kala itu, Akil Mochtar, harus menjalani proses pidana karena menerima suap dari Hambit.

Proses di MK tentu saja tidaklah sama dengan proses di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). MK berbicara perihal jumlah suara, sedangkan KPK berbicara soal suap yang ia lakukan dalam rangka menjaga kemenangan pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada)-nya di MK. Meski jumlah suaranya cukup untuk memenangi pemilu kada, bukan berarti suap yang ia lakukan tidak memiliki makna dalam hal kualitas kepemimpinan daerah.

Bayangkan, ia akan menjadi kepala daerah yang dapat dikatakan`menghalalkan' 
segala cara untuk memegang jabatan tersebut. Ia akan mengucapkan sumpah dan janji sebagai kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, serta menjalankan segala hukum dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan, bangsa. Hal yang anakronistis karena ia bertanding memperoleh jabatan tersebut dengan cara yang melanggar hukum lewat suap, tindakan koruptif yang merupakan musuh masyarakat, nusa, dan bangsa.

Akan tetapi, pada saat yang sama, ada prosesi mekanisme pemerintahan daerah yang juga harus dijaga. Pemenang kontestasi pemilihan umum kepala daerah juga sebaiknya dilantik demi mendapatkan kepemimpinan baru yang dipilih publik, menjadi salah satu ciri utama dari model demokrasi langsung. Haruskah dilantik? Haruskah membiarkan sebuah daerah dipegang kepemimpinan yang koruptif? Berbagai pertanyaan lain akan hadir dari kondisi yang dihadapi Hambit.

Haruskah dilantik?

Pertanyaan yang menarik ialah, salahkah KPK dengan tidak memberikan kesempatan bagi Hambit untuk dilantik di penjara ataupun dibawa keluar sementara untuk pelantikan? Sulit untuk dikatakan demikian. Setidaknya dengan dua alasan. Pertama, sesungguhnya tidak ada aturan mendetail dan jelas perihal kewajiban untuk melantik kepala daerah yang sudah terpilih, tetapi dia tengah mengalami proses hukum.

Pasal 29 hingga Pasal 35 dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sering dirujuk sesungguhnya bukanlah aturan yang dapat dinisbahkan untuk menjadi alasan hukum guna melantik Hambit. Sila dibaca dengan detail, pasal-pasal tersebut sesungguhnya terkena pada kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah dilantik menjadi pasangan kepala dan wakil kepala daerah, bukan untuk Hambit yang berposisi sebagai pemenang pemilu kada dan berarti belumlah dapat dipandang sebagai kepala daerah. Artinya, pasal-pasal itu dapat digunakan ketika Hambit sudah dilantik, bukan ketika masih menjadi pemenang pemilu kada. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menggunakan pasal tersebut sebagai rujukan kewajiban melantik Hambit.

Kedua, tindakan KPK sesungguhnya dapat dianggap sebagai penjagaan atas moral publik secara kolektif. Etika kolektif yang dalam teori apa pun memberikan makna dan pesan yang sederhana perihal pentingnya kepemimpinan itu punya integritas. Suap ialah tindakan yang menjadi bagian negasi dari integritas tersebut. Karena itu, tindakan KPK tentu saja menjadi penting untuk dikedepankan. Dapat dibayangkan, jika kepala daerah dilantik dan dibiarkan memimpin daerah hanya karena aturan secara tidak lengkap mengatur kondisi tersebut. Padahal, kepala daerah tersebut ialah pemimpin yang tidak tepat karena melanggar etika dasar kepemimpinan perihal integritas.

Belum lagi perihal negara akan melakukan pengeluaran-pengeluaran oleh karena status jabatan publik yang ia miliki. Padahal, jamak diketahui bahwa ia telah melakukan tindakan koruptif. Tentu saja, dana publik akan kembali digunakan kepada orang yang telah menghina kesadaran publik dengan tindakan koruptif.
Satu-satunya alasan yang bisa dibenarkan untuk melantik Hambit ialah agar tidak tercipta hambatan dan gangguan bagi pelaksanaan pemerintahan di daerah. 

Rasanya, dalam konteks tersebut, tidak ada kewajiban untuk melantiknya. Model-model pelaksana tugas sementara dapat menjadi tindakan yang sangat mungkin diambil jika dibandingkan dengan melantiknya, tetapi ia tetap saja tidak mampu memimpin secara langsung karena sedang terpenjara dalam proses pidana.

Kemungkinan solutif

Tentu saja, sulit untuk memetakan solusi hukum yang dimungkinkan ketika model antinomi hukum telah dihadapi. Antinomi ialah pertentangan yang mendera hukum oleh karena adanya dua hal yang bertentangan, tetapi harus dijaga hukum secara bersamaan. Moral publik yang dalam konsepsi hukum Grotius dikatakan sebagai sesuatu yang harus dijaga, sedangkan pada saat yang sama kepastian hukum pelantikan untuk menjalankan pemerintahan daerah sebagai pemenang kontestasi juga harus dilaksanakan.

Posisi itu tentu tidak sederhana. Wolfgang Friedmann mengatakan pertentangan-pertentangan antinomi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terjadi sebagai akibat dari posisi alamiah hukum itu sendiri, yang berdiri di antara nalar filosofis dan kebutuhan praktis politik yang penat kepentingan. 

Secara sederhana, kategori-kategori intelektual hukum dibangun dari pena laran filsafat yang panjang dan holistis, sedangkan cita-cita keadilan di dalam hukum dikonstruksikan melalui sebuah mekanisme politik yang cenderung transaksional.

Akibatnya, menurut Friedmann, hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan merupakan resultan dari beraneka ragam proses internal isasi, intrusi, dan negosiasi berbagai kepentingan di antara l 29 faksi-faksi dan aktor-aktor dalam masyarakat. Moral menghendaki keidealan, sedangkan hukum dengan berbagai kepentingan dalam prosesi pembuatannya seringkali gagal menghadirkan hal tersebut.

Karena itu, makna pasti yang dibutuh kan dalam kondisi tarik menarik di antara dua atau lebih kepentingan hukum memaksa pengambil kebijakan untuk melakukan langkah berani berupa terobosan. Terobosan yang harus didorong untuk menjaga moral publik agar tidak terganggu, sedangkan pada saat yang sama menciptakan kepastian yang tidak mengganggu berjalannya pemerintahan di daerah.

Pemerintah harus mampu dan mau untuk mengambil salah satu di antara sekian banyak kemungkinan terobosan. Pertama, pemerintah dapat menunjuk saja model pelaksana tugas atas kepala daerah di Kabupaten Gunung Mas, tanpa harus melantik siapa pun. Sampai ketika jatuhnya hukuman atas Hambit yang kemudian dapat dipakai pemerintah untuk melantik berdasarkan perluasan, tafsir atas Pasal 108 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah membolehkan pelantikan wakil kepala daerah oleh karena kepala daerah berhalangan tetap. Berhalangan tetap dapat diterjemahkan bukan saja karena meninggal atau sakit permanen, melainkan juga keadaan ketika ia sudah tidak mungkin dapat memimpin daerah.

Kedua, pemerintah dapat mengisi kekosongan aturan hukum pelantikan kandidat pejabat yang bermasalah oleh karena proses korupsi serupa Hambit. Aturan hukum cepat itu tentu saja bisa dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Syarat kondisional perppu yang tentunya harus dipenuhi ialah adanya hal ihwal kepentingan yang memaksa dan mendesak untuk diambil agar tidak menyebabkan kekosongan dan ketidakjelasan pemerintahan daerah di Kabupaten Gunung Mas. Lagi pula, itu menjadi penting agar dapat mencegah kejadian serupa terjadi lagi.

Yang paling ideal tentu dengan melakukan perubahan terbatas atas UU Pemerintahan Daerah. Akan tetapi, itu tentu masih akan memakan waktu panjang mengingat UU Pemerintahan Daerah dan UU Pemilu Kada masih tengah digodok. Pun ketika itu hadir, masih akan ada perdebatan soal pemberlakuan surut ke kasus Hambit. Pilihan dengan bentuk perppu tentu menjadi paling rasional.

Ketiga, tentu saja kembali ke kondisi yang ada sekarang, melantik Hambit dan pasangannya meski tidak harus dihadiri Hambit. Ketentuan Pasal 110 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah hanya mewajibkan pengucapan sumpah dan janji yang dipandu pejabat yang melantik. Artinya, dalam konteks dipandu, kehadiran fisik tidak menjadi hal yang wajib. Bisa saja ia mengucapkan sumpahnya dengan dipandu dari jarak jauh. Hal-hal yang masih dimungkinkan tanpa membutuhkan kehadiran. Begitu ia dilantik, jabatan diserahkan kepada wakil untuk menjadi pelaksana tugas.

Ketiga pilihan itu punya konsekuensi dan pertanyaan teknis masing-masing yang tentu saja masih dapat diperdebatkan. Namun yang terpenting ialah keberanian untuk mengambil sikap. Tidak untuk membiarkan, mengambangkan, atau malah memaksa KPK agar menyerahkan Hambit untuk dilantik. Lagi-lagi, ada kepentingan lain yang dijaga bahwa publik punya hak untuk melihat pemimpin dan kepemimpinan yang bersih dan berintegritas.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar