Senin, 30 Desember 2013

Konektivitas Ekonomi Dalam Negeri : Dapatkah Mendorong Ekonomi 2014?



PROSPEK EKONOMI 2014

Konektivitas Ekonomi Dalam Negeri :

Dapatkah Mendorong Ekonomi 2014?

Subur Tjahjono  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  25 Oktober 2013
 


PADA periode kedua pemerintahannya, Mei 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.

Sukses pelaksanaan rencana induk itu disebut sangat bergantung baik pada kuatnya derajat konektivitas ekonomi nasional maupun konektivitas ekonomi internasional Indonesia dengan pasar dunia. Dapatkah konektivitas ekonomi dalam negeri mendorong ekonomi tahun 2014?

Dalam buku Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 itu disebut pula bahwa konektivitas nasional merupakan pengintegrasian empat elemen kebijakan nasional. Keempat elemen kebijakan nasional itu adalah sistem logistik nasional, sistem transportasi nasional, pengembangan wilayah, serta teknologi informasi dan komunikasi.

Konektivitas nasional menyangkut kapasitas dan kapabilitas suatu bangsa dalam mengelola mobilitas lima unsur utama. Pertama, personel/penumpang, yang menyangkut pengelolaan lalu lintas manusia di, dari, dan, ke wilayah. Kedua, material/barang abiotik, yang menyangkut mobilitas komoditas industri dan hasil industri. Ketiga, material/unsur biotik/spesies, yang mencakup lalu lintas unsur makhluk hidup di luar manusia, seperti ternak, racun biologi, serum, biji-bijian, bioplasma, biogen, dan senjata biologi. Keempat, jasa dan keuangan, yang menyangkut mobilitas teknologi, sumber daya manusia, dan modal pembangunan bagi wilayah. Kelima, informasi, yang menyangkut mobilitas informasi untuk kepentingan pembangunan wilayah. Hal ini sangat terkait dengan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi.

Dalam konsep pemerintah tersebut, konektivitas melalui jalur laut dilaksanakan dengan memaksimalkan Selat Malaka dan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). ALKI yang dimaksud adalah ALKI 1 yaitu Selat Sunda, ALKI 2 yaitu Selat Lombok dan Selat Makassar, serta ALKI 3 yaitu Selat Ombai Wetar.

Simpul-simpul transportasi diintegrasikan, baik pelabuhan, terminal, stasiun, depo, pusat distribusi, kawasan pergudangan, maupun bandar udara. Selain itu sistem tata kelola arus barang, arus informasi, dan arus keuangan harus dapat dilakukan secara efektif dan efisien, tepat waktu, serta dapat dipantau melalui jaringan informasi dan komunikasi virtual.

Fokus penguatan konektivitas nasional itu dilakukan antara lain dalam penguatan konektivitas intrakoridor ekonomi dan antarkoridor ekonomi. Ada enam koridor ekonomi yang ditetapkan pemerintah, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Kepulauan Maluku. Konsep pemerintah tersebut baru konsep di atas kertas. Implementasi di lapangan masih harus dilihat lagi hasilnya.

Rencana Induk ini telah menarik perhatian dunia karena konektivitas nasional tidak terlepas dari konektivitas internasional. Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) dan juga Bank Dunia menyadari bahwa konektivitas yang buruk, hambatan infrastruktur, dan biaya logistik yang tinggi menyebabkan Indonesia kesulitan mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, pengurangan kemiskinan, dan inflasi yang lebih rendah.

ADB dan juga Bank Dunia memberi gambaran yang lebih jelas bagaimana konektivitas dalam negeri buruk dalam hal biaya pengiriman peti kemas. Biaya pengiriman satu peti kemas 40 kaki atau 12,2 meter dari Jakarta dan Surabaya ke Bitung, Sulawesi Utara, adalah 600 dollar AS atau Rp 6.817.800. Padahal biaya dari Jakarta ke Singapura hanya 300 dollar AS atau setara Rp 3.408.900 per peti kemas 40 kaki. Hal itu terjadi karena kapal peti kemas yang kecil sehingga skala ekonominya tidak bisa menyamai kapal peti kemas besar.

Produktivitas peti kemas bergerak per jam di Indonesia juga rendah. Dengan tipe derek yang sama, produktivitas peti kemas bergerak per jam di pelabuhan Indonesia adalah 40-45 peti kemas. Bandingkan dengan pelabuhan Singapura yang mencapai 100-110 peti kemas. Keterlambatan pembongkaran peti kemas di pelabuhan juga sering kali menyebabkan sejumlah kapal sering meninggalkan Pelabuhan Tanjung Priok ketika pembongkaran peti kemas belum tuntas.

Buruknya logistik dan infrastruktur tersebut terefleksi misalnya dalam hal perbedaan harga beras antarpulau terpencil yang dapat mencapai 70 persen. Hasilnya adalah inflasi tinggi di sejumlah provinsi di Indonesia. Contoh lain, satu zak semen yang di Jakarta atau Surabaya seharga Rp 50.000, semen yang sama bisa seharga Rp 75.000 per zak di Jayapura dan Rp 500.000 per zak di Wamena.

Berdasarkan data Bank Dunia, peringkat kompetensi logistik Indonesia yang pada tahun 2007 berada di urutan ke-43 tahun 2007, melorot ke peringkat 75 tahun 2010. Peringkat kompetensi logistik meningkat lagi ke posisi 59 tahun 2012, tidak lagi sebaik peringkat tahun 2007. Di antara negara-negara Asia Tenggara sekalipun, peringkat kompetensi logistik Indonesia masih berada di bawah Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Di bawah Indonesia adalah Kamboja, Laos, dan Myanmar.

Data Kamar Dagang dan Industri Indonesia tahun 2013 menyebutkan, biaya logistik Indonesia mencapai 27 persen dari produk domestik bruto (PDB). Bandingkan dengan biaya logistik Korea Selatan yang 16,3 persen PDB, Jepang 10,6 persen PDB, dan Amerika Serikat yang 9,9 persen PDB. Jika PDB Indonesia tahun 2012 sebesar Rp 8.241,9 triliun, berarti biaya logistik Indonesia tahun 2012 senilai Rp 2.225,3 triliun. Biaya logistik Indonesia itu lebih besar dari belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2012 yang sebesar Rp 1.548,31 triliun atau 143,7 persen.

Biaya logistik Indonesia lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lain karena sistem distribusi yang tidak efisien sehingga memerlukan ongkos transportasi yang cukup besar. Biaya logistik Indonesia itu jika dirinci terbesar untuk ongkos transportasi yaitu 66,8 persen, kemudian diikuti ongkos penanganan persediaan 27,56 persen, dan ongkos administrasi 5,64 persen.

Meskipun demikian, pemerintah mulai berupaya memperbaiki konektivitas dalam negeri. Salah satunya adalah memperbaiki waktu tunggu bongkar muat sejumlah pelabuhan, terutama Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang menangani lebih dari dua per tiga perdagangan internasional Indonesia. Bank Dunia mencatat, ada kemajuan dalam waktu tunggu kapal bongkar muat di Tanjung Priok yang telah meningkat dua kali lipat jika dibandingkan tahun 2011 menjadi rata-rata lebih dari 10 hari pada Agustus 2013.

Beberapa lembaga donor juga telah menyatakan komitmennya untuk ikut membiayai peningkatan konektivitas tersebut. ADB telah memberikan pinjaman program 300 juta dollar AS atau setara Rp 3,4 triliun pada November 2012. Bank Dunia juga memberi bantuan 100 juta dollar AS atau setara Rp 1,136 triliun. Bantuan Bank Dunia itu ditujukan khusus untuk memperkuat kerangka kebijakan meningkatkan logistik perdagangan, transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, serta fasilitasi perdagangan nasional.

Bank Dunia dalam laporan triwulan III-2013 mengingatkan kembali pentingnya meningkatkan konektivitas di Tanjung Priok. Bank Dunia mengingatkan, perbaikan konektivitas tersebut akan meningkatkan daya saing ekspor Indonesia dan mendorong investasi. Ekspor dan investasi adalah komponen penting pendorong pertumbuhan ekonomi. Jika konektivitas bisa ditingkatkan, prediksi Bank Dunia bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2014 sebesar 5,3 persen, tentu dapat lebih ditingkatkan lagi.

Namun, tantangannya yang akan dihadapi pada tahun 2014 adalah perubahan politik. Konsep Rencana Induk tersebut lekat dengan konsep partai politik koalisi pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wakil Presiden Boediono. Mereka didukung koalisi Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Kontinuitas program sangat bergantung pada konfigurasi politik hasil Pemilihan Umum 2014. Apabila koalisi partai politik pemenang Pemilu 2014 masih sama, kontinuitas Rencana Induk akan terjamin. Jika konfigurasi partai politik berubah, rakyat hanya dapat berharap semoga Rencana Induk tersebut tetap berkesinambungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar