Minggu, 29 Desember 2013

Lagi, Tentang NU dan ‘Buku Putih’ 1965

Lagi, Tentang NU dan ‘Buku Putih’ 1965

M Najib Yuliantoro  ;   Aktivis PCI NU Belgia
INDOPROGRESS,  17 Desember 2013
  


SEBAGAI warga Nahdliyyin, kita perlu segera mempertanyakan: apa tujuan sesungguhnya diterbitkannya ‘Buku Putih’ Benturan NU-PKI 1948-1965 itu? Apakah untuk mengklarifikasi bahwa, katakanlah, PKI masih berbahaya, musuh ideologi negara, sehingga NU—bersama militer—mesti melawan setiap gejala kebangkitan PKI beserta ajaran-ajarannya? Atau, sebaliknya, untuk menerangkan bahwa NU mulai terbuka terhadap berbagai rekonstruksi fakta sejarah pembunuhan massal pasca G30S, di mana NU dengan penuh sadar mengaku sebagai pelaku—sekaligus korban—dan dengan itu diharapkan dapat menghapus sisa-sisa stigma miring akibat peristiwa G30S, yang hingga kini masih amat terasa baik di antara keturunan PKI maupun NU, sehingga keduanya mampu memasuki suatu fase baru dengan cara membangun proyek rekonsiliasi dan konsolidasi?

Di tengah harapan publik yang semakin besar terhadap kejelasan arah pengusutan tragedi 1965, inisiatif NU untuk menerbitkan buku yang menempatkannya bersama PKI dalam satu tarikan nafas adalah suatu kemajuan penting yang patut diapresiasi. Hadirnya buku tersebut menandai bahwa kita, warga NU, kini tak lagi perlu merasa tabu dan rikuh membicarakan hubungan antara NU dan PKI dalam peristiwa pasca G30S. Akan tetapi, seperti sudah diduga sebelumnya dan kemudian dinyatakan dengan baik oleh Fayyadl, buku tersebut berjalan di atas logika setengah hati: NU enggan mengakui perannya sebagai pelaku, sebab memang pelakunya tidak tunggal. Lebih-lebih, NU merasa setali tiga uang dengan PKI, sama-sama sebagai korban. PKI adalah korban ‘proyek politik’ militer. Sementara NU adalah korban penghasutan militer untuk menghabisi PKI sekaligus juga, dalam konteks tertentu, korban dari PKI.

Tak masuk akal apabila NU, di mana sebagian besar warganya dididik dalam tradisi pesantren yang menjunjung tinggi persaudaraan dapat seberingas itu, tega menghabisi nyawa tetangga sendiri, jika tidak memperoleh bisikan sekaligus bekingan yang kuat dari militer—atas nama negara. Seperti yang pernah penulis dengar dari seorang kiai di Jawa Timur: saat itu, desas-desus yang terdengar di telinga santri dan warga NU, ‘setelah jenderal dibunuh, PKI akan bergerak membunuh kiai-kiai NU.’ Ditambah oleh situasi politik yang sudah keruh dan sekian peristiwa sebelum-sebelumnya yang selalu mengandaikan adanya ‘benturan’ antara orang NU dan orang PKI, lengkaplah sudah suatu kondisi yang dilematis sekaligus mencekam: memukul atau dipukul. John Roosa menganalogikan: pukulan yang menentukan, sebagaimana Anwar Congo dalam The Act of Killing menyebut: membunuh atau dibunuh.

Maka sudah tepat apa yang pernah dilontarkan oleh Franz Magnis-Suseno: ‘pembunuhan-pembunuhan itu—di mana militer memang sangat terlibat—merupakan akibat dari segala ketegangan yang terakumulasi selama tahun-tahun sebelumnya.’ Ada sebuah konteks ketegangan yang juga perlu dimengerti kenapa warga NU saat itu begitu mudah, dan relatif sangat cepat, termakan oleh desas-desus ‘rencana pembunuhan kiai oleh PKI.’ Kita masih ingat, bagaimana konteks ketegangan itu sebelumnya muncul, misalnya, melalui pertunjukkan seni ludruk yang sarat pesan-pesan politik PKI, seperti Malaikat Kimpoi, Gusti Allah Ngunduh Mantu, Matine Gusti Allah, dst.. Pertunjukan-pertunjukan itu, betapapun maksud awalnya adalah untuk mengritik pemerintah, cukup melukai keyakinan teologis kaum santri NU. Hingga tak terlalu mengherankan apabila kemudian muncul riak-riak kecil yang menandai adanya ‘benturan’ antara kaum abangan dan kaum santri.

Luka-luka itu terus mengendap dan menggumpal, melahirkan suatu kekesalan sekaligus dendam. Tragedi pasca G30S adalah konfirmasi atas luka tersebut. NU dengan mudah  dimanfaatkan militer sebagai ‘alat’ untuk menghabisi PKI, selain tentu saja dikompori oleh pembunuhan Dewan Jenderal sebagai dalih gerakan penggayangan.  Di titik ini, NU dan PKI lagi-lagi memiliki persamaan nasib: sebagai pelaku sekaligus korban. Keduanya bertarung dengan penuh patriotik, menganggap apa yang dilakukannya adalah perjuangan mulia berdasarkan atas ukuran kepercayaannya masing-masing.

Dalam konteks struktural yang lebih luas, NU dan PKI adalah tumbal politik untuk melapangkan jalan militer dalam mengusai panggung politik, sekaligus, menambahi catatan Fayyadl, menggeser persepsi umum publik dari ‘konsolidasi Nasakom’ ke ‘benturan Nasakom,’ dari ‘pro-kerakyatan’ ke ‘pro-liberalisasi-kapitalis,’ dari ‘anti-kolonialisme-imperialisme’ ke ‘anti-komunisme-marxisme.’ Bolehlah lalu dikatakan bahwa watak rezim Orde Baru adalah menggunakan dalih tertentu untuk meneror, mengintimidasi, dan menghabisi bangsa sendiri.

Hingga kini, ketegangan antara kaum abangan dan santri sesungguhnya masih tersisa. Di sebagian daerah di Jawa Timur, misalnya, setiap pemilihan Lurah selalu muncul dikotomi calon yang menjadi representasi kaum abangan dan kaum santri (atau, kaum masjidan). Dan memang di antara keduanya terdapat sekian perbedaan mendasar mengenai cara dan pandangan dalam melakoni hidup. Untuk menyebut beberapa contoh: kaum abangan tidak sholat jumat, kaum santri sholat jumat; kaum abangan senang nonton wayang dan mabuk di pinggir jalan, kaum santri senang sholawatan dan tahlilan. Namun, perbedaan-perbedaan itu kini tidak terlalu penting, sebab perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya sudah eksis jauh sebelum dan pasca G30S, serta merupakan keniscayaan pluralitas dalam masyarakat kita. Bahkan, saat ini, tak sedikit dari anak cucu kaum abangan yang sudah mulai kenal dan terlibat dalam kehidupan dan ajaran kaum santri, sementara tak sendikit pula anak cucu kaum santri yang terlibat dalam kehidupan dan ajaran kaum abangan. Sekat-sekat kultural yang dahulu sangat kuat itu kini perlahan luntur dan karena itu, tak lagi relevan diperkuat kembali, termasuk soal-soal menyangkut peristiwa pembunuhan pasca G30S di antara mereka.

Semakin tipisnya sekat-sekat tersebut membantu kita untuk memuluskan proyek ‘tabayyunsejarah’ (klarifikasi kebenaran sejarah), baik kepada mantan pelaku maupun korban dari NU, PKI, bahkan milter. Zaman sudah berubah. Peta sosial-politik-ekonomi sudah terpolarisasi ke arah yang berbeda-beda. Tak perlu lagi kita, warga NU, merasa perlu khawatir bahwa PKI akan lahir kembali. Secara politik, PKI sudah hancur. Masyarakat kita juga bukan lagi masyarakat seperti tahun 65-66 yang sangat mudah tersulut oleh kabar burung. Justru suasana demokratis seperti sekarang ini idealnya membuka jalan baru bagi kita untuk mempelajari berbagai versi sejarah buram itu dengan sikap terbuka, jujur, dan empati.

Kembali ke masa-masa itu tidak sama artinya dengan mengorek-ngorek luka lama yang memang belum sepenuhnya sembuh. Ia dibutuhkan untuk menemukan anatomi luka tersebut sehingga memudahkan kita untuk mencari obatnya. Kita harus kembali ke masa-masa itu bukan untuk memperkeruh suasana kebatinan kita, melainkan untuk membebaskan diri kita dari beban sejarah yang (di)lenyap(kan) karena kesuramannya, sejarah yang gelap karena resiko yang telah diakibatkannya. Harapannya, kembali ke era tersebut akan mempermudah langkah-langkah kita ke depan sebagai satu-kesatuan sesama anak bangsa.

Sudah saatnya komunisme kita pelajari bukan karena keangkerannya—karena memang tidak angker—akan tetapi semata-mata untuk memahami apa dan bagaimana ajaran tersebut terbentuk dan dipraktikkan. Apa pandangan komunisme secara sosial, politik, ekonomi; apa pandangan komunisme secara teologis; apa relasi yang pernah dan mungkin  terjalin antara komunisme dan NU, dst. Mempelajari komunisme tak lebih seperti mempelajari kitab tasawuf Ihya’ Ulumuddin atau risalah pernikahan Qurratul Uyun: mendebarkan, tetapi perlu. 

Komunisme tidak sesederhana jargon-jargon remeh-temeh seperti selama ini dipopulerkan Orde Baru: ‘ateis,’ ‘agama adalah candu,’ ‘Tuhan tak ada lagi,’ ‘komunisme adalah agama buruh,’ dst. Ada sekian proposisi, konteks, praktik, yang perlu kita pahami untuk mempelajari ‘apa itu komunisme?’ secara detail dan komprehensif. Dan ketidaktahuan—atau kecurigaan—yang selama ini bergelayut di pikiran orang-orang NU itu hanya dapat diatasi dengan cara mempelajarinya, sebagai ikhtiar untuk ‘tabayyun epistemologis’ seperti yang telah dilakukan Gus Dur,  tanpa  perlu menjadi komunis maupun ateis.

Pada akhirnya, proses rekonsiliasi dan konsolidasi tidak cukup apabila hanya dijalani secara kultural, akan tetapi juga mesti melibatkan aspek struktural yang lebih luas, termasuk di antaranya adalah aspek epistemologis. Konkretnya, saya membayangkan ada semacam Bahtsul Masail[1] di pesantren-pesantren NU untuk, misalnya, kembali mengkaji aliran-aliran dalam disiplin sosial-ekonomi-politik dunia, termasuk di antaranya adalah komunisme, dengan pembanding yang memang mempelajari ajaran-ajaran tersebut secara disiplin. Dengan mempelajari aliran-aliran itu, kita, warga NU, akan lebih cepat membebaskan diri dari tradisi panjang bangsa ini: menaruh prasangka dan curiga kepada sesuatu yang sesungguhnya belum  benar-benar kita mengerti.

Termasuk di antaranya adalah penulisan ‘Buku Putih’ Benturan NU-PKI 1948-1965 itu. Apabila buku tersebut diniatkan untuk mengawali proyek konsolidasi struktural sebagaimana dikemukakan di atas, maka buku tersebut patut dihargai. Konsekuensinya, tidak cukup apabila NU hanya menjadikan militer sebagai ‘partner epistemik,’ namun perlu juga melibatkan mantan anggota PKI, supaya proses ‘tabayyun sejarah’ yang diupayakan NU berlangsung lebih fair dan konklusif. Jika hendak demikian, semua elemen yang terlibat dalam benturan berdarah tersebut perlu memiliki jiwa yang besar, saling menghargai, dan sikap empati: militer tidak perlu merasa menang sendiri, NU tak perlu merasa rendah diri, begitupun PKI tidak perlu merasa kemaki. Namun, apabila tujuan penerbitan ‘Buku Putih’ itu semata-mata untuk ‘membela diri’ dan mengglorifikasi perjuangan, serta mengabaikan berbagai rekonstruksi fakta sejarah yang telah berhasil dilakukan, serta mengerdilkan proses rekonsiliasi yang adil dan konklusif seperti selama ini sudah digagas, maka buku tersebut tak lebih seperti buku-buku propaganda pseudo-ilmiah seperti karangan Harun Yahya. Andaikata maksud penerbitan buku tersebut adalah yang terakhir, maka ‘Buku Putih’ itu idealnya perlu direvisi oleh buku-buku yang lain.

Kebenaran sejarah, bagaimanapun juga, tidaklah tunggal. Apapun alasannya, pembantaian tetaplah pembantaian. Hanya orang gila yang menyebut bahwa membantai manusia, lebih-lebih karena alasan beda ideologi, adalah konstitusional. Dan usaha-usaha ini membutuhkan waktu yang relatif panjang dan tidak akan mungkin tuntas dalam satu atau dua generasi saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar