Minggu, 29 Desember 2013

Moral yang Minim : Mempertanyakan Kembali Perjuangan Perempuan

Moral yang Minim :

Mempertanyakan Kembali Perjuangan Perempuan

Rianne Subijanto  ;   Anggota Redaksi IndoPROGRESS
IndoPROGRESS,  16 Desember 2013

  

‘KRISIS kemanusiaan dalam institusi kemanusiaan’ mungkin merupakan kontradiksi paling ironis dalam sejarah manusia. Sitok Srengenge, seorang penyair, pengusung nilai-nilai kemanusiaan dan kebebasan, juga kurator di komunitas Salihara yang berslogan ‘bersama publik merawat kebebasan’ melakukan kekerasan seksual terhadap RW, mahasiswi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Keduanya datang dari institusi-institusi yang mengasuh nilai-nilai kemanusiaan dan kebebasan, dan mungkin paling paham tentang agenda perjuangan hak-hak perempuan.

Kontradiksi ini juga terlihat dalam konteks yang lebih luas lagi. Pasca 1998, perjuangan atas hak-hak perempuan kembali digerakkan di negeri ini. Komisi Nasional Perempuan berdiri. LSM-LSM yang membawa platform perjuangan untuk perempuan pun bermunculan. Begitu pula feminisme (salah satu perspektif dominan yang merupakan landasan perjuangan perempuan) menjadi salah satu studi populer di bidang sosial dan humaniora di berbagai universitas di negeri ini. 

Sebulan yang lalu saya bertemu sekitar 25 mahasiswa FIB-UI yang sedang menulis skripsi. Paling tidak sepertiga dari jumlah tersebut menganalisis isu gender, seksualitas dan feminisme. Kita pun punya berbagai penulis sastra perempuan kenamaan yang mengangkat isu feminisme; banyak diantaranya pun dilahirkan di komunitas Salihara. Namun, ketika kesadaran tentang perempuan sudah beberapa tahun terakhir menjadi perhatian masyarakat dan juga negara, jumlah kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun justru semakin meningkat[i]  (mungkin ini karena usaha pencatatan kasus pun sulit dilakukan). 

Ironis juga, ketika negara menjadikan perjuangan perempuan sebagai agenda nasional[ii], produk-produk hukum pasca 1998 dari Perda Syariah di Aceh dan di Jawa Barat hingga undang-undang anti-pornografi justru melanggengkan sistem patriarki dengan menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek yang dikontrol.

Lalu, bagaimana kita menyikapi kontradiksi ini?
Kita sebenarnya sedang dituntut mempertanyakan kembali agenda teoretik dan praktik perjuangan perempuan. Teori lahir bukanlah dalam sebuah vakum; ia adalah produk sosial yang muncul dalam relasi sosial tertentu. Artinya, pemikiran yang melandasi teori dan praktik perjuangan perempuan perlu dievaluasi. 

Perubahan apa yang sudah kita miliki dan apa yang tidak? Di mana letak kegagalannya? Untuk itu kita butuh kritik, melalui alat debat, bukan untuk melawan orang-orang yang mendukung agenda tersebut tetapi untuk memperbaiki agenda itu sendiri. Karena di mana lagi intelektual akan berpijak kalau bukan melalui kritik?

Dalam bukunya Minima Moralia[iii] (atau Moral yang Minim), filsuf Theodor Adorno,[iv] melalui kritik dan refleksi akan hidup yang sudah rusak (damaged life), coba mencari jawaban mengapa dan bagaimana unsur-unsur kemanusiaan, seperti logika, pengetahuan, seni dan rasionalitas, justru mendukung kebiadaban itu sendiri. Sehingga, dengan bercermin pada kasus Sitok dan RW, marilah kita bertanya mengapa dan bagaimana teori dan gerakan perempuan bisa (berpotensi) menjadi anti-perempuan?

Lima paradigma dominan

Mari kita mulai dari yang ada. Berdasarkan apa yang saya temui di media sosial, paling tidak ada lima paradigma yang mendasari reaksi yang bermunculan seputar kasus Sitok vs. RW:

1. korban vs. pelaku [v]
Paradigma ini paling dominan khususnya dalam berita-berita di media online maupun cetak. Menjelaskan dan membuktikan siapa pelaku, siapa korban dan bagaimana perkaranya terjadi memang sangat penting dalam proses hukum. Namun bila diperhatikan, pemberitaan pun sarat dengan bias gender. Seringkali pemberitaan tentang RW berfokus pada penggambaran karakternya sebagai perempuan yang ‘lugu,’ ‘tertutup,’ ‘datang dari lingkungan relijius’ dan ‘lemah’. Sementara, Sitok adalah ‘budayawan ternama’ yang akrab dengan ‘minuman keras,’ dan ‘kebarat-baratan.’ Apakah tidak mungkin kekerasan seksual dilakukan oleh pria lugu, tertutup dan relijius? Apakah kemudian kita akan meragukan apabila perkosaan terjadi pada perempuan yang cerdas, sekolah di Eropa, mandiri dan jago silat? Paradigma yang berasal dari dikotomi ini, terutama tentang ‘perempuan yang pasif’ vs. ‘laki-laki yang aktif’ bisa merugikan korban itu sendiri. Contohnya, bila RW terlihat sedikit lebih aktif—dia datang ke kontrakan Sitok, dia mahasiswa, dia sudah dewasa—kita dengan mudah menepis dugaan adanya kekerasan seksual dengan dalih ‘ah, pasti suka sama suka’.

2. Jejak hubungan seks dan tubuh perempuan
Ayu Utami, salah seorang penulis feminis dari komunitas Salihara, menjelaskan ‘apa yang salah dengan ‘suka sama suka.’ [vi] Menurutnya bahkan ketika seks dilakukan atas dasar ‘suka sama suka,’ hubungan seks meninggalkan jejak yang secara biologis berbeda antara laki-laki dan perempuan. ‘Tubuh perempuan membawa jejak persetubuhan lebih lama. Bahkan bisa selama-lamanya. Ia bisa menerima benih dan menjadi hamil. Maka alamiah juga jika perempuan lebih tidak cepat lupa.’ Asumsi ini mengandaikan dua hal. Pertama, secara lahiriah laki-laki dan perempuan berbeda, sehingga penyelesaian masalah harus dilakukan dengan menghormati ‘perspektif perempuan.’ Kedua, penyelesaian dilakukan secara personal di ruang privat, yaitu seputar hubungan seks: ‘Hubungan seks harus dimaknai lebih panjang. Di dalamnya termasuk bagaimana kedua pihak menyelesaikan jejak emosional dan psikologis peristiwa dengan cara yang beradab dan manusiawi.’ Kita akan bahas sebentar lagi mengapa kedua asumsi ini bermasalah.

3. Kasus Sitok tidak ada hubungannya dengan Salihara
Paradigma ini juga mengasumsikan bahwa perbuatan Sitok adalah masalah pribadinya sendiri tidak ada hubungannya dengan institusi di mana dia bekerja dan mendapatkan nama besarnya. Paradigma ini berasumsi bahwa institusi dan nilai-nilai yang dibawanya selalu netral.

4. ‘Serahkan pada hukum’; ‘serahkan perkara ini kepada proses yang adil.’
Paradigma ini berasumsi bahwa ‘hukum’ adalah institusi yang ‘adil,’ dengan menyerahkan pada hukum, keadilan akan ditegakkan. Sama dengan poin 3, paradigma ini berasumsi bahwa hukum adalah institusi yang netral.

5. ‘Kekerasan perempuan berakar pada budaya patriarki’
Saras Dewi, pendamping RW, menulis dalam blognya bahwa ketidakadilan yang dialami oleh RW bahkan dalam proses penegakan hukum mencerminkan bahwa ‘Kita masih hidup di dalam masyarakat yang phalogosentrik, logika, argumen dan hukumnya masih dikuasai oleh budaya partriarki [sic!)].’[vii] Argumen ini berangkat dari asumsi bahwa sistem patriarki adalah sumber dari permasalahan kekerasan perempuan. Saya akan jelaskan bagaimana pandangan ini tidak cukup untuk menjelaskan permasalahan.

Perjuangan perempuan dan politik identitas

Perjuangan perempuan seringkali didasarkan pada asumsi ini. Permasalahan penindasan perempuan berasal dari adanya sistem patriarki, yaitu sistem sosial di mana laki-laki merupakan otoritas inti dan utama dalam organisasi masyarakat. Dalam sistem patriarki, laki-laki mendominasi dan mengontrol perempuan dengan menjadikan tubuhnya obyek seksual dan obyek kuasa baik melalui ruang fisik, kerja, budaya maupun representasi. Asumsi ini berdasar pada dua premis, yaitu adanya sistem patriarki dan keberadaan sistem tersebut datang dari dikotomi antara laki-laki vs. perempuan (yang menindas vs. yang ditindas).

Kita mulai dengan dikotomi laki-laki vs. perempuan (dan potensinya untuk menjadi ‘yang menindas vs. yang ditindas’) yang diasumsikan ada berdasar perbedaan lahiriah. Kalau memang secara biologis, laki-laki secara otomatis lahir dengan potensi sebagai agen dominasi dan perempuan sebagai korban, apa kemudian jalan keluarnya? Pandangan lahiriah ini  hanya mengajak kaum laki-laki untuk memperlakukan kaum perempuan dengan lebih baik, ‘be nicer to women!’ atau ‘hargai perspektif perempuan!’ Sementara bagi kaum perempuan jalan keluarnya adalah dengan menjadi ‘perempuan,’ ‘tuntut para lelaki untuk menghormatimu sebagai perempuan!’ Asumsi ini mendasari perjuangan perempuan pada identitasnya sebagai ‘perempuan.’ Perjuangan berdasarkan identitas ini menurut saya berat sebelah karena hanya melandasi perjuangan perempuan pada politik identitas. Padahal, politik identitas dapat berbalik merugikan perempuan itu sendiri.

Contohnya, jalan keluar yang ditawarkan politik identitas bagi perempuan adalah dengan merayakan tubuhnya, merayakan kebebasan berekspresi dan kebebasan untuk diakui di ruang publik sebagai ‘perempuan,’ sementara laki-laki dituntut menghormati identitas perempuan tersebut. Namun, sejauh mana ini menjadi parameter kesuksesan perempuan? Dalam kontes Miss World misalnya, kita sudah biasa mendengar bahwa para kontestan dituntut untuk memiliki 3B–Brain, Beauty and Behavior (plus menjadi solehah dalam konteks Miss World Muslimah). Perempuan dituntut untuk ‘memiliki segalanya.’ Dia harus tampil cantik, memiliki pengetahuan luas dan berperilaku baik. Apakah ada tuntutan yang sama, yaitu ganteng, cerdas dan berprilaku baik, untuk para laki-laki? Tuntutan untuk memiliki segalanya pun terlihat dari berhasilnya kaum perempuan untuk bekerja dan mendapat upah yang biasanya lebih sedikit dari laki-laki. Tapi ini artinya, para perempuan diharuskan juga untuk mengurus anak, bekerja 8 jam sehari dan menjaga moral dan keutuhan keluarga. Sejauh manakah kesuksesan perjuangan atas nama identitas ‘perempuan’ sudah membawa kita?

Kembali ke RW, politik identitas ini termanifestasi dalam bawah sadar kolektif kita (yang terefleksikan di berbagai komentar dan media) yang seakan-akan ‘berharap’ bahwa RW adalah perempuan ‘lugu,’ ‘relijius,’ ‘baik-baik’ dan ‘lemah’ untuk menguatkan statusnya sebagai ‘perempuan korban.’ Apakah kalau RW memiliki karakter sebaliknya kita tidak akan membantu dia? Ini sama sekali bukan untuk meremehkan kebenaran karakter tersebut atau pengalaman pahit yang dialami RW. Kekerasan seksual struktural dirasakan oleh individu korban dalam realitas yang paling personal. Tapi poin saya adalah ini. Penekanan berdasarkan moral dan karakter personal ini tidak membawa kita kemana-mana. 

Alih-alih dengan mudah dijawab dengan penyelesaian moral seperti ‘damai,’ ‘maaf,’ ‘tobat,’ ‘selesaikan dengan jalan kekeluargaan’ dll. Ini bukanlah penyelesaian. Ini merugikan baik bagi RW sendiri maupun korban-korban kekerasan seksual lainnya. Kenapa? Karena seakan-akan penyelesaian penindasan atas perempuan ketika dilihat dari logika politik identitas ‘perempuan’ dapat diatasi dengan menjawab kebutuhan personal ‘keperempuanan’-nya, yang dalam kasus RW adalah kebutuhan sebagai ibu dan janin yang dikandungnya.

Melihat penindasan perempuan dari identitasnya sebagai ‘perempuan’ saja, apalagi yang berangkat dari dikotomi lahiriah laki-laki vs. perempuan jauh dari cukup. Sebab, akan berat sebelah ketika sebenarnya kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa RW adalah perempuan dan juga manusia.

Sistem patriarki dan kapitalisme

Ini membawa kita ke poin kedua, yaitu bahwa sistem patriarki merupakan sumber permasalahan. Penjelasan ini menurut saya kurang lengkap, karena segera muncul pertanyaan: apa yang mengkondisikan lahirnya sistem patriarki? Dengan kata lain, kenapa dan bagaimana patriarki lahir? Pertanyaan ini penting karena suatu landasan pemikiran perlu dievaluasi berdasarkan kenyataan historis dan sosialnya. Kalau landasan teoretis sistem patriarki ahistoris dan asosial bagaimana mungkin kita menjelaskan strategi pembebasan atas penindasan perempuan? Namun, pertanyaan ini perlu penelitian yang mendalam sehingga tidak akan saya jawab di sini—semoga para ahli sejarah perempuan dapat ikut mengklarifikasinya. Proposisi yang saya ingin ajukan adalah bahwa penindasan perempuan dalam sistem patriarki telah berjalan bersamaan dengan eksploitasi manusia dalam kapitalisme.

Secara historis, kita melihat bahwa alienasi manusia dalam relasi sosial yang berpijak pada logika kapital terwujud dalam berbagai bentuk penindasan dan eksploitasi—termasuk penindasan perempuan, rasisme, kolonialisme dan imperialisme. Sistem patriarki di(re)produksi atau diciptakan dalam sistem kapitalisme karena membantu proses akumulasi laba. Namun, bisa juga sistem patriarki ‘dihancurkan’ demi proses akumulasi laba tersebut. Salah satu kesuksesan terbesar feminisme adalah masuknya perempuan ke ruang kerja yang sebelumnya didominasi laki-laki. Tidak bisa kita tutup mata dari fakta: sistem kapitalisme itu sendiri telah menjadi feminis! Di balik kenyataan bahwa masih banyak perempuan bekerja di kantor-kantor, mereka harus mempekerjakan perempuan lain untuk menjadi pembantu atau nanny mengurus tugas-tugas rumah tangga biasanya dengan upah yang rendah. Sekarang, perempuan pun mengeksploitasi perempuan.

Apakah dengan kontradiksi ini penindasan terhadap perempuan menjadi isu nomor dua dari perjuangan kelas? Tidak. Karena perjuangan kelas justru harus menjadikan berbagai bentuk penindasan tersebut sebagai agenda pembebasan kelas itu sendiri. Kelas bercorak dengan pengalaman-pengalaman individunya yang tertentu (particular) tetapi kita semua berhadapan dengan sistem eksplotatif yang satu (universal). Patriarki, kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme saling berkelindan dan membuat satu sistem yang eksploitatif dan menindas manusia.

Dalam kasus Sitok vs. RW, jelas bahwa Sitok menggunakan modal sosial dan budayanya, yaitu sebagai penyair, budayawan kenamaan dan anggota sebuah komunitas terkemuka, dalam hubungan profesionalnya dengan RW. Di sini, meminjam Pierre Bourdieu, modal non-ekonomi seperti budaya, jaringan dan perkenalan menjadi modal tersendiri yang memberikan akses seseorang pada modal ekonomi. Kesenjangan sosial pun dapat diukur dari kesenjangan kepemilikan dan akses pada modal sosial dan budaya.[viii] Bukankah RW datang berdasarkan undangan untuk bertemu di Salihara, walau kemudian bertemu di kontrakan Sitok? Bukankah RW menghadap Sitok untuk membahas ‘tugas penelitian sastra,’ yang memang Sitok seorang sastrawan atau ahli di bidang tersebut?[ix] Korban kedua yang melaporkan pun bertemu Sitok untuk ‘proyek sastra.’[x] Dalam hal ini institusi-institusi di mana Sitok bekerja, yaitu Salihara, sastra Indonesia dll, tidak serta merta netral. Institusi tersebut berperan memberi ‘modal sosial’ dan ‘modal budaya’ bagi Sitok. Terdapat relasi kerja antara Sitok dan RW (serta korban lainnya) dan dalam relasi tersebut sudah ada ketimpangan dalam derajat ‘modal sosial’ yang dimiliki Sitok sebagai sastrawan ternama dan RW yang hanya mahasiswa S1. Apakah ketimpangan derajat ini berperan dalam kekerasan seksual perlu dibuktikan melalui jalur hukum. Namun, ketimpangan derajat ‘modal sosial’ ini cukup untuk menunjukkan pada kita bahwa kasus kekerasan seksual, terutama kasus Sitok vs. RW, bukanlah permasalahan biologis yang sifatnya personal dan privat saja. Permasalahannya struktural dan sosial sehingga membutuhkan penyelesaian publik dan politik.

Maka, ketika pemberitaan mulai surut…

Selain mendampingi proses hukum yang adil bagi RW, kita pun harus mengubah hukum itu sendiri dan elemen-elemen ideologis di dalamnya. Jelas hukum di dalam sistem yang menindas tidak dapat berperan ‘netral’ (lihat wawancara dengan pengacara RW di sini). Sehingga, karena kekerasan seksual berakar pada permasalahan struktural, kita membutuhkan dua hal. Pertama, adalah perubahan yang radikal mengubah sistem sampai ke akar-akarnya. Institusi pendidikan, rumah tangga, agama, negara, hukum, dan moral. ‘Moral yang minim’ bukan hanya berarti minimnya ‘moral kemanusiaan’ yang diproduksi struktur yang menindas, tetapi juga dengan itu kita tidak dapat berpijak pada moralitas sebagai agen perubahan. Kedua, agar perubahan tersebut tercapai, kita tidak bisa hanya berfokus pada tubuh perempuan, simbol dan representasinya. Kita butuh perjuangan kolektif. Permasalahannya bukan hanya keadilan bagi RW saat ini, tetapi bagaimana di masa depan RW, bayi yang dikandungnya, korban kekerasan seksual lain dan kaum perempuan dapat mengekspresikan hidupnya sebagai perempuan dan manusia tanpa terjebak dalam relasi (kekerasan) struktural yang berakar pada logika yang eksploitatif dan menindas. Kalau kita diam, kesalahan sejarah akan terulang. Maka mulai dari sekarang, marilah kita mengorganisir kekuatan.


KEPUSTAKAAN

[i] Lihat: “Kekerasan Seksual Naik 2 Kali Lipat”, Minggu, 21 April 2013 dihttp://www.tempo.co/read/news/2013/04/21/064474839/Kekerasan-Seksual-Naik-2-Kali-Lipat; dan juga http://kekerasanseksual.komnasperempuan.or.id/main.
[ii] Bukankah kita juga punya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak? Coba lihat visi dan tujuan kementerian ini yang mewakili agenda negara dalam hal pemberdayaan perempuan: http://www.menegpp.go.id/v2/index.php/tentangkami/visimisidantujuan.
[iii] Adorno, Theodor W., and E. F. N. Jephcott. 1978. Minima moralia: reflections from damaged life. London: Verso.
[iv] Theodor Adorno adalah seorang filsuf dan sosiolog di Institut für Sozialforschung (atau Institute for Social Research) di Frankfurt, Jerman. Bersama Max Horkheimer, ia mengembangkan pemikiran-pemikiran Marx yang dicoba diintegrasi dengan pemikiran psikoanalisis Freud. Bersama dengan pemikir-pemikir lain di jamannya ia dikenal sebagai anggota “Frankfurt School.” Karena ancaman rezim pemerintah Nazi yang saat itu baru saja terbentuk, institusi di Frankfurt ini ditutup pada tahun 1933 dan seperti beberapa anggota yang lain yang berdarah Yahudi, Adorno beremigrasi ke Amerika. Selain Minima Moralia, bersama Horkheimer ia menulis dialektika pencerahan yang mempertanyakan bagaimana pencerahan dalam sejarahnya berbalik menjadi anti-pencerahan,Dialectic of enlightenment. [New York]: Herder and Herder (1972).
[v] Sebuah analisis tentang pelaku vs. korban dari kacamata framing dilakukan oleh Wisnu Prasetya di blognya berjudul “Ketika media membingkai SS”, 4 Desember 2013 di sini: http://wisnuprasetya.wordpress.com/2013/12/04/ketika-media-membingkai-ss/.
[vi] Ayu Utami, “Mengapa kita tak pantas lagi bilang suka sama suka”, http://ayuutami.com/mengapa-kita-tak-pantas-lagi-bilang-suka-sama-suka/.
[vii] Saras Dewi, “Zombie”, 8 Desember 2013, http://sarasdewi.blog.com/2013/12/08/z-o-m-b-i-e/
[viii] Penjelasan tentang modal sosial dan modal budaya dapat dilihat di: Pierre Bourdieu dan Passeron, “Cultural Reproduction and Social Reproduction.” Dalam Richard K. Brown (Ed.),Knowledge, Education and Cultural Change. London: Tavistock.
[ix] Lihat: http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/11/29/5/198025/RW-Mengaku-Pertama-Kali-Disetubuhi-Sitok-Srengenge-Maret-2013.
[x] Lihat: http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/mahasiswi-bandung-juga-ngaku-dicekoki-miras-sitok-srengenge-919fe4.html.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar