Sabtu, 28 Desember 2013

Otonomi Desa Untuk Siapa?

Otonomi Desa  Untuk Siapa?

Arif Novianto  ;   Asisten Peneliti di Manajemen dan Kebijakan Publik,
Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM)
HALUAN,  28 Desember 2013
  


Pada 18 De­sem­ber 2013 secara resmi Undang-Un­dang Desa disah­­kan oleh DPR RI. Didalam UU Desa ini me­ngatur berbagai arahan untuk dijalankannya oto­nomi desa, yang men­cakup ten­tang pem­berian 10% APBN untuk desa, sistem gaji tetap yang diterima oleh perangkat desa termasuk BPD (Badan Permusya­warahan Desa), amanat dibentuknya BUMDes dan jabatan 6 tahun kepada Kepala Desa serta dapat diteruskan selama 2 periode, atau maksimal selama 18 tahun kepemimpinan di Desa.

Latar Belakang Otonomi Desa

Bila dicermati, proses terbentuknya otonomi desa ini seperti apa yang terjadi pada peristiwa reformasi 1998. Sistem sentralistik terpusat yang diterapkan oleh pemerintah Orba, membuat gerak pusat ke daerah hanya berwujud gerak eksploitatif. Sedangkan gerak dari daerah ke pusat hanya menjadi gerak mem­budak. Artinya daerah-daerah hanya diperas oleh pemerintah pusat, sedang­kan hubungan timbal balik­nya sangat timpang atau daerah hanya menerima sisa-sisa kue dari pusat. Dan proses tersebut juga memunculkan kecende­rungan korupsi sistemik yang terjadi di pemerintah pusat, hingga terbentuknya oligarki politik.

Kenyataan tersebut ke­mu­dian menjadi landasan ter­bentuknya otonomi dae­rah, yang mana berusa membalikan kosmo­polita­nisme imperial menjadi micro-politic yang berbentuk otonomi daerah. Atau trans­fer kekuasaan dari pusat ke daerah. Akan tetapi agenda otonomi daerah yang sudah berjalan sekitar satu dasawarsa ini tak lebih sebagai transfer tindakan koruptif dan penyelewengan dari pusat ke daerah. Sehingga, yang dapat kita lihat sekarang ini adalah bagaimana munculnya raja-raja  di berbagai daerah.

Akibatnya, ‘kue-kue’ pembangunan tidak pernah sampai ke ranah terkecil di dalam pemerintahan yaitu desa  dan hanya berhenti di tataran elit-elit lokal. Sedangkan rakyat hanya bisa mengigit jari, karena kehidupan mereka tak sedikitpun tersentuh oleh tangan gaib mekanisme pasar yang diusung oleh pemerintah pusat dan daerah melalui idiologi neoliberalisme.

Seperti sebuah roda yang berputar atau terulang, kenyataan ketidakmampuan pemerintah daerah di dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kemudian me­mun­culkan wacana oto­nomi desa yang baru saja disah­kan oleh DPR RI sekarang. Dengan otonomi desa ini, pemerintah desa yang sebe­lum­nya hanya memiliki anggaran yang sangat kecil, menjadi ber­gelimang ang­garan.

Dari 10% APBN, maka anggaran di setiap desa diperkirakan mencapai 600-750 juta setiap tahunnya. Maka tidak mengherankan ketika banyak pihak yang meragukan keberhasilan dari proses otonomi desa. Bahkan banyak yang menganggap bahwa otonomi desa ini merupakan pengulangan dialektika otonomi daerah, atau lebih tepatnya me­rupakan transfer tindakan koruptif di tingkat terbawah dari pemerintahan. Hingga akhirnya akan menciptakan raja-raja kecil di tingkat lokal.

Kemana Kue Otonomi Desa?

Pelaksanakan otonomi desa memang belum benar-benar dilaksanakan. Akan tetapi kita tak dapat meng­hindar dari analisa struk­turalis untuk melihat masa depan pelaksanakan otonomi desa ini secara lebih men­dalam. Kerangka basis super-struktur adalah bagian terpenting dari arah gerak implementasi UU Desa ini nantinya.

Artinya, proses dari implementasi otonomi desa ini tidak berada di ruang hampa, akan tetapi pasti dipengaruhi oleh keadaan yang diatasnya, yaitu di level pemerintah pusat dan rezim global (kekuatan bisnis). Idiologi neoli­be­ralisme yang diemban oleh pemerintah pusat selama ini dengan piranti pasar bebas yang dibangun me­lalui proses privatisasi, deregulasi dan liberalisasi sebagaimana yang di­ama­natkan oleh Konsesus Washington, membuat pro­ses kanibalisme pasar menjadi hukum rimba. Dan rakyat kecil sudah pasti akan menjadi korbannya.

Belajar dari pelaksanaan otonomi daerah, maka proses otonomi desa ini juga pasti akan terjerat di dalam kerangkeng neoliberal. Hal tersebut membuat desa, tak lebih sebagai ruang-ruang baru bagi proses akumulasi kapital yang menjadi rebutan kekuatan bisnis. Proses evolusi politik dari neoliberal sangat sejalan dengan otonomi desa ini, dengan mengakrabkan masyarakat di level bawah dengan idiologi pasar-liberal sebagai mana analisis dari pasca-konsesus Washington.

Pembangunan yang dijalankan di desa ini pun pasti lebih mengutamakan pembangunan berbentuk fisik, seperti jembatan, gapura, jalan raya, dan gedung-gedung. Disanalah nantinya kekuatan bisnis bermain. Sedangkan pemba­ngunan basis sosial-ekonomi masyarakat diabaikan, yang kemudian hanya men­ciptakan kelembagaan sosial yang anti-politik.

Akibatnya terjadi proses hukum rimba ditataran politik desa, yang kemudian menciptakan oligarki di tingkat desa atau raja-raja kecil di desa. Sehingga kecenderungannya kue-kue pembangunan pun sekali lagi berhenti di tataran elit-elit desa. Sedangkan rakyat kecil hanya menjadi penonton. Maka, hal tersebut memiliki tendensi terciptanya berbagai konflik komunal di ma­syarakat.

Melihat otonomi desa di dalam analisa strukturalis, yang dimana kekuatan neoliberalisme telah meng­hegemoni sekarang ini, membuat kue-kue dari otonomi desa ini hanya menjadi bancakan elit-elit lokal dan kekuatan bisnis di dalamnya. Artinya oto­nomi desa ini tak lebih hanya milik segelintir orang saja. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar