Senin, 30 Desember 2013

Pentingnya Mengamankan Pasokan



PROSPEK EKONOMI 2014

Pentingnya Mengamankan Pasokan

Hermas E Prabowo  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  25 Oktober 2013
 


PEMERINTAH berkomitmen untuk terus mengamankan pasokan barang-barang kebutuhan pokok, termasuk pangan, dengan memastikan ketersediaan barang dan harga pada tingkat yang terjangkau. Jaminan keamanan pasokan dan harga penting untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan ekonomi nasional.

Tanpa pasokan yang cukup, harga barang kebutuhan pokok rentan berfluktuasi dan berpotensi menggerus daya beli masyarakat, mendorong inflasi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Apabila terus dibiarkan, hal tersebut dapat memicu tuntutan kenaikan upah buruh, mengakibatkan penurunan daya saing produk, sehingga kinerja ekspor terganggu dan makin banyak produk impor yang masuk ke pasar domestik.

Menimbang pentingnya stabilitas harga kebutuhan pokok, Wakil Presiden Boediono dalam Trade Expo Indonesia Ke-28 di Kemayoran, Jakarta, menekankan pentingnya mengamankan pasokan pangan dan stabilitas harga.

Dalam keterangan pers di Nusa Dua, Bali, di sela pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa juga mengungkapkan pentingnya menjaga pasokan, termasuk di dalamnya pasokan kebutuhan pangan.

Saat ini, pertumbuhan ekonomi nasional di topang oleh konsumsi, investasi, perdagangan, dan belanja negara (APBN). Dari keempat itu, yang memberikan kontribusi terbesar bagi pertumbuhan ekonomi nasional adalah sektor konsumsi.

Konsumsi yang terus meningkat, kata Hatta, tanpa diimbangi dengan pasokan yang memadai berbahaya karena akan menggantungkan dari impor dan menguras cadangan devisa, yang akhirnya mengakibatkan defisit transaksi berjalan.

Pemerintah sangat memahami pentingnya menjaga pasokan, dan mencegah terlalu banyak impor dalam memenuhi kebutuhan konsumsi, termasuk di dalamnya pangan, sebagai penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun, hingga saat ini pasokan kebutuhan pangan tidak pernah mendapat perhatian serius. Pemerintah masih terus mengambil jalan pintas dalam memenuhi kebutuhan pangan negaranya dengan cara mengimpor.

Peningkatan konsumsi sebagai dampak positif pertumbuhan ekonomi dan kelas menengah tidak diimbangi dengan dukungan produksi pangan yang cukup. Upaya peningkatan produksi pangan juga masih sebatas wacana, jauh dari langkah-langkah konkret.

Menteri Pertanian Suswono bahkan terus mengeluhkan keterbatasan lahan pertanian yang kian akut. Konversi lahan pertanian ke nonpertanian terus terjadi tanpa ada gerakan serius untuk menghentikannya.

Reformasi agraria, atau dalam konsep lain bisa diwujudkan dalam bentuk pengelolaan lahan negara oleh para petani kecil, tidak kunjung direalisasikan. Padahal, lebih dari 7 juta hektar lahan yang cocok untuk pertanian dibiarkan telantar.

Di sisi lain, petani hanya menggarap lahan pertanian rata-rata kurang dari 0,5 hektar per rumah tangga petani. Padahal, idealnya mereka mengelola 2 hektar agar bisa mencukupi kebutuhan mereka dan keluarganya. Di Amerika Serikat, petani mengelola lahan minimal 10 hektar, begitu pula di Australia. Di Jepang, lahan garapan petani juga luas. Begitu pula Thailand dan Vietnam.

Produktivitas tinggi

Saat ini, komoditas pangan yang bisa dihasilkan pertanian dalam negeri sesungguhnya sangat beragam. Mulai dari beras, jagung, kedelai, kacang hijau, ubi, singkong, daging sapi, daging ayam, telor, hingga komoditas lainnya seperti gula.

Dari berbagai komoditas itu, produktivitas tanaman padi sebagai penghasil beras sudah tinggi, lebih baik dibandingkan dengan produktivitas di negara-negara lain di kawasan. Tantangan utamanya hanyalah soal konsumsi beras per kapita yang terlalu tinggi, serta luas lahan pertanian padi yang kian sempit akibat alih fungsi lahan yang salah satunya dipicu fragmentasi lahan.

Dalam beberapa hal, terjadi kompetisi pemanfaatan lahan padi dengan tanaman jagung dan kedelai. Namun, karena harga beras lebih baik dari kedua komoditas di atas, petani masih memprioritaskan menanam padi. Namun, masalah alih fungsi lahan dan keterbatasan lahan merupakan PR mendesak yang tak pernah dikerjakan.

Bagaimana dengan jagung dan kedelai? Produktivitas jagung masih rendah karena kurang dari 50 persen petani menanam jagung hibrida. Selebihnya menggunakan benih jagung lokal atau komposit yang produktivitasnya rendah. Akibatnya, produksi jagung nasional belum optimal.

Kebijakan subsidi benih yang bias ke Jawa tidak banyak membantu penambahan penggunaan benih hibrida. Selain subsidi diberikan secara tidak maksimal dan tidak dalam kualitas terbaik akibat berbagai penyimpangan, khusus untuk jagung, masalah keterbatasan lahan juga menjadi persoalan.

Kedelai juga sama. Produktivitas kedelai nasional rata-rata hanya 1,3 ton per hektar. Padahal, potensi yang ada dari benih hasil persilangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bisa mencapai 3 ton per hektar.

Masalah transfer teknologi, pengelolaan struktur perbenihan kedelai, juga menjadi masalah serius yang tak pernah dituntaskan. Acap kali petani kesulitan mendapatkan benih kedelai dengan kualitas unggul. Kalaupun ada, harganya sangat tinggi.

Di luar semua itu, lahan kedelai juga sangat terbatas. Kedelai masih menjadi tanaman sela bagi petani. Dari aspek tata niaga, sudah tidak ada kendala. Apalagi, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah memberikan jaminan harga beli kedelai petani sebesar Rp 7.000 per kilogram. Jaminan pasar juga siap karena Bulog sanggup membeli kedelai petani dengan jumlah berapa pun.

Daging sapi juga sama. Populasi sapi potong di Indonesia cukup tinggi, mencapai 13,2 juta ekor. Cukup untuk modal peningkatan produksi daging sapi lokal. Tantangannya sekarang, ternak sapi belum menjadi komoditas bisnis bagi masyarakat. Sapi masih menjadi hewan peliharaan, sekadar sebagai tabungan. Padahal, jika dikembangkan menjadi komoditas bisnis, ternak sapi memberi kue ekonomi besar bagi rakyat, terutama masyarakat pedesaan.

Persoalannya sekarang, orang enggan memelihara sapi karena kesulitan mencari pakan hijauan. Kalau dijadikan sebagai bisnis komoditas, sangat tidak menguntungkan. Di sisi lain, pengembangan peternakan sapi skala luas di luar Jawa tak kunjung direalisasikan.

Meski banyak pengusaha yang tertarik untuk berinvestasi, tidak ada fasilitas khusus yang diberikan pemerintah untuk menarik minat para pengusaha itu, baik dalam bentuk keringanan subsidi bunga, pembebasan lahan peternakan, transportasi dari sumber produksi ke sumber konsumsi, hingga keringanan pajak.

Susu sapi juga kondisinya tidak jauh berbeda. Produksi susu sapi dan keengganan masyarakat memelihara sapi perah akibat keterbatasan mendapatkan pakan hijauan. Harusnya pemerintah mendorong pengembangan produksi ”pakan hijauan siap saji” bagi sapi-sapi tersebut dengan harga yang terjangkau dan menguntungkan untuk berproduksi.

Contoh buruk pemerintah

Bagaimana dengan gula? Gula masih berkutat pada persoalan lama, yaitu rendahnya rendemen gula di pabrik tebu sebagai akibat mesin produksi yang sudah tua dan tidak adanya transparansi dalam manajemen produksi gula.

Petani tebu dibiarkan terus menikmati rendemen gula yang rendah tanpa mereka bisa memiliki pilihan lain. Revitalisasi pabrik gula macet meskipun ujung tombaknya ada di perusahaan gula Badan Usaha Milik Negara. Yang membuat ironis, rendemen gula di pabrik gula milik pemerintah kalah jauh dengan swasta. Dan ironisnya, pemerintah terus mempertahankan ”kebijakan” rendemen gula rendah itu.

Di luar persoalan itu, produktivitas tanaman tebu juga masih bisa ditingkatkan. Sayangnya, program bongkar ratoon, penggantian bibit tebu agar lebih berkualitas, sempat macet. Kementerian Pertanian sempat berhenti menganggarkannya.

Keterbatasan lahan tebu juga menjadi kendala peningkatan produksi. Dengan konsumsi gula nasional 5,7 juta ton per tahun, dan produksi gula kristal putih hanya 2,5 juta ton, masih perlu tambahan lahan 500.000 hektar untuk tanaman tebu. Sesuatu yang tidak pernah diupayakan secara sungguh-sungguh.

Produksi singkong, kacang hijau, dan ubi juga mengalami kendala sama: keterbatasan lahan dan rendahnya produktivitas. Berbagai persoalan di atas tampaknya belum akan bisa diselesaikan dalam waktu singkat.

Itu artinya, situasi pangan 2014 tidak akan berbeda dengan tahun 2013 atau tahun-tahun sebelumnya, dan bisa jadi akan lebih mengkhawatirkan karena konsumsi terus tumbuh. Pasokan pangan masih akan mengandalkan impor. Ketergantungan ini akan menjadi masalah serius.

Jika pasokan pangan dunia terus menyusut, sesuai tren saat ini, dan harga terus berfluktuasi, stabilitas ekonomi nasional akan menjadi taruhannya. Selain itu, potensi meningkatkan daya beli masyarakat dan pembangunan ekonomi desa terpencil hilang.

Pertumbuhan ekonomi akan melambat, devisa kian terkuras, dan transaksi berjalan makin defisit. Sebenarnya bangsa Indonesia sudah jago mengidentifikasi masalah dan mencari solusinya. Petani juga tahan banting dan bersemangat tinggi.

Namun, solusi berbagai masalah pangan tidak pernah dikerjakan secara serius. Dalam lingkup lebih kecil, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, sudah terlalu banyak studi terkait berbagai persoalan di Jakarta. Yang lemah pelaksanaannya.

Pada konteks nasional, hal sama terjadi, juga dalam produksi pangan. Berbagai gagasan dan studi yang brilian tidak mampu dijalankan pemerintah sekarang. Semua mimpi peningkatan produksi loyo apabila dihadapkan pada kepentingan para pemburu rente.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar