Sabtu, 28 Desember 2013

Potret Hitam Kekerasan Terhadap Anak

Potret Hitam Kekerasan Terhadap Anak

Sutrisno  ;   Mahasiswa S2 UMS
HALUAN,  27 Desember 2013

  

Potret hitam situasi dan ra­gam kekerasan serta pelang­garan hak anak-anak di Indonesia semakin mem­prihatinkan. Di pengujung tahun 2013 ini, Komisi Nasional Perlin­dungan Anak Indonesia (Komnas Anak) membeberkan laporan kasus pelang­garan yang meli­batkan anak.

Menurut data Komnas Anak, ada 1.620 kasus dengan perincian kekerasan fisik 490 kasus (30 persen), psikis 313 kasus (19 persen), dan paling banyak keke­rasan seksual 817 kasus (51 persen).

Ironisnya, kasus-kasus kekerasan terhadap anak tersebut terjadi di lingkungan terdekat anak, yakni rumah tangga, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak. Sedangkan pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya melindungi anak seperti orang tua, paman, guru, orang tua angkat ataupun tiri.

Peristiwa teraktual ada­lah di Batam. Rizky, 3 tahun, tewas di tangan orang tuanya sendiri. Di Riau, Adit, 6 tahun, dite­mukan penjual sayur di kebun sawit. Bocah itu mengaku dibuang ibu dan pamannya. Sekujur tubuh­nya penuh bekas luka. Alat kelaminnya juga ada bekas luka yang menurutnya digunting oleh sang ibu.

Fakta tersebut mengung­kap gagalnya negara, peme­rin­tah, masyarakat, dan orang tua melindungi serta menghormati hak anak di Indonesia. Kita sebagai masyarakat terlalu sibuk dengan urusan sendiri.

Negara yang seharusnya melindungi dan memelihara mereka terlalu sibuk me­ngurusi hal-hal besar, seperti urusan politik, skandal korupsi, dan ekonomi bang­sa. Negara belum maksimal melindungi anak dari berba­gai bentuk kekerasan. 

Fakta ini juga bertentangan de­ngan program Kabupaten/Kota Layak Anak yang sering didengungkan peme­rintah. Pemerintah dianggap tidak terbuka dan tidak merespons secara proporsional kasus-kasus pe­langgaran hak anak.

Sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan produk hukum untuk melindungi anak. UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bah­wa pemerintah dan lembaga lain berkewajiban dan bertanggung jawab mem­berikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berha­dapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas yang terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, serta anak yang diperdagangkan.

Perlindungan juga wajib diberikan kepada anak yang menjadi korban penyalah­gunaan narkotik, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan, anak yang menyandang cacat, serta anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Masa depan anak erat kaitannya dengan perlin­dungan anak. Artinya perlindungan anak menjamin anak berkembang secara optimal sehingga secara otomatis masa depan anak menjadi terjamin.

Perlindungan anak ada­lah segala kegiatan untuk menjamin, melindungi, dan memenuhi hak anak agar hidup dan tumbuh berkem­bang secara optimal, berpar­tisipasi, serta menda­patkan perlindungan dari bermacam bentuk kekerasan dan penelantaran.

Saat ini terdapat sekitar 84 juta anak-anak Indonesia, dan setiap tahunnya lahir sekitar 4 juta–5 juta anak. Mengingat jumlahnya yang sangat besar dan merupakan generasi penerus bangsa, perhatian dan perlindungan terhadap anak Indonesia mutlak harus dilakukan. Perlindungan anak tentu menjadi tanggung jawab orang tua, masyarakat, dan negara.

Potret hitam kasus keke­rasan anak tentu mengusik kita semua. Perlindungan anak tentu menjadi tang­gung jawab orang tua, masyarakat, dan negara. Adapun tanggung jawab pemerintah dapat diwu­judkan dalam bentuk perlin­dungan hukum dan peme­ nuhan hak-hak anak seba­gai bagian dari warga negara. Sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk melindungi anak, pemerintah memang sudah membentuk UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Pemerintah, dalam hal ini Departemen (Kemen­terian) Sosial serta Kementerian Pemberdayaan Perem­puan dan Perlin­dungan Anak mestinya berada di barisan terdepan dalam menyelamatkan mereka. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan Nasional harus dilibatkan.

Pemerintah perlu menge­luarkan kebijakan negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak dari segala bentuk tindak pelanggaran hak anak seperti tindak kekerasan (child abuse), diskriminasi, trafficking, dan perlakuan salah lainnya. Karena pembiaran dan impunity atas pelanggaran hak-hak anak adalah refleksi rendahnya derajat kebe­ra­daan dan lemahnya em­pati kemanusiaan oleh negara.
Terpenting, hak-hak dasar anak sebagaimana amanat konstitusi harus dipernuhi negara. Ada empat jenis hak dasar anak, meliputi hak hidup, hak untuk tumbuh dan kembang secara optimal, hak untuk berpartisipasi, dan hak untuk mendapatkan perlin­dungan dari bermacam bentuk kekerasan dan penelantaran.

Bentuk tanggung jawab orang tua terhadap anak dapat diwujudkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar, pemberian pendidikan, pengenalan etika dan sopan santun, pemberian bekal agama yang baik, dan perlindungan jiwa raganya. Tanggung jawab masya­rakat adalah menciptakan lingkungan interaksi sosial yang positif sehingga anak bisa bersosialisasi dengan baik bersama dengan teman-temannya maupun ling­kungan sekitarnya.

Selanjutnya, menge­luarkan kebijakan negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak dari segala bentuk tindak pelanggaran hak anak, seperti bunuh diri, penyiksaan anak beru­jung maut, tindak kekerasan (child abuse), kekerasan seksual, diskriminasi, traf­fick­ing, dan perlakuan salah lainnya. Pembiaran dan impunity atas pelanggaran hak-hak anak adalah refleksi rendahnya derajat kebe­ra­daan dan lemahnya em­pa­ti kemanusiaan oleh negara.

Sinergi antara orang tua, masyarakat, LSM, dan peme­rintah harus terus dilakukan dalam melindungi anak. Pemerintah bersama masya­rakat luas harus kerja ekstra dalam upaya penye­diaan dana, kepedulian, masalah kea­manan, perbai­kan nasib (perekonomian, pendi­dikan, kesehatan rak­yat) merupakan faktor penting mengatasi persoalan potret hitam keke­rasan anak di atas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar