Senin, 30 Desember 2013

Presidensialisme Masih Tetap Setengah Hati…



PROSPEK POLITIK 2014

Presidensialisme Masih Tetap Setengah Hati…

Tri Agung Kristanto  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  25 Oktober 2013
 


DALAM sebuah perbincangan dengan ”Kompas”, Kamis (17/10), di Jakarta, mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat BRAy Moeryati Soedibyo mempertanyakan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat dalam penentuan Kepala Polri. ”Penentuan Kepala Polri adalah hak prerogatif Presiden,” katanya.
Moeryati, yang juga pengusaha jamu dan kosmetik di negeri ini, tak mempersoalkan sosok Komisaris Jenderal Sutarman yang menjadi calon tunggal Kepala Polri untuk menggantikan Jenderal (Pol) Timur Pradopo yang segera purnatugas. Namun, ia kembali mempertanyakan ”campur tangan” parlemen yang terlalu jauh dalam kewenangan eksekutif yang dijalankan presiden. Jabatan Kepala Polri yang tidak lebih tinggi dibandingkan dengan jabatan seorang menteri semestinya menjadi kewenangan presiden secara mutlak.

Sikap parlemen yang mencampuri pemilihan Kepala Polri, juga Panglima TNI, secara legalistik tidak ada yang salah. Wakil rakyat itu memiliki dasar hukum, yaitu sesuai Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri dilakukan Presiden atas persetujuan DPR. Pasal 13 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyebutkan, Presiden memberhentikan dan mengangkat Panglima TNI setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.

Padahal, UUD 1945 termasuk perubahannya tidak mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri dan Panglima TNI. Bahkan, jika direnungkan, kebijakan pemberhentian dan pengangkatan Kepala Polri dan Panglima TNI itu harus sepertujuan DPR, bukan hanya menggerogoti makna presidensialisme yang digunakan dalam sistem pemerintahan di negeri ini, melainkan tidak sejalan dengan konstitusi. Pasal 10 UUD 1945 menyatakan, Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

Pasal 4 Ayat (1) menyatakan, Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan UUD. Presiden juga bertanggung jawab atas keamanan, ketertiban, dan pertahanan negara, yang dijalankan TNI dan Polri. Jabatan Panglima TNI dan Kepala Polri selama ini tidak lebih tinggi dibandingkan menteri atau pemimpin lembaga negara lainnya. Dalam Pasal 17 UUD 1945 ditegaskan, pengangkatan atau pemberhentian seorang menteri merupakan hak penuh presiden.

Kerancuan pelaksanaan sistem presidensial dalam pemerintahan di negeri ini, jika mengacu pada UUD 1945 setelah perubahan pertama hingga keempat, kian nyata dengan memperhatikan Pasal 13. Konstitusi hasil perubahan itu menyatakan, presiden berhak mengangkat duta dan konsul. Untuk mengangkat duta, presiden diminta memperhatikan pertimbangan dari parlemen. Bahkan, untuk menerima penempatan duta dari negara lain, presiden juga harus memperhatikan pertimbangan Dewan.

Selama ini untuk menetapkan seseorang menjadi duta, presiden selalu meminta pertimbangan DPR. Nama calon kepala perwakilan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di luar negeri ini diserahkan kepada parlemen, dan digelar fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan). Presiden terkesan menerima saja pertimbangan, bahkan penolakan yang diajukan parlemen.

Sebaliknya, ketika menerima penempatan duta dari negara sahabat, presiden tak pernah meminta pertimbangan dari DPR. Parlemen pun selama ini terkesan tak memedulikan hak yang diberikan konstitusi itu meskipun tidak berjalan semestinya. Kondisi ini berlangsung hingga saat ini, dan mungkin juga di masa mendatang, karena DPR dan presiden seperti tidak memedulikan ketentuan dalam Pasal 13 Ayat (3) UUD 1945, yang perubahan pada bagian ini disetujui pada tahun 2001.

Padahal, jelas jika mengacu pada Pasal 20A UUD 1945, hasil perubahan tahun 2002, fungsi DPR menyangkut tiga hal, yaitu bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan. Parlemen memiliki pula hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Setiap anggota Dewan mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.

Pertanyaannya, memberikan pertimbangan saat presiden akan menetapkan Kepala Polri, Panglima TNI, duta, dan menerima duta dari negara sahabat itu termasuk fungsi DPR yang mana? Kerancuan presidensialisme ini tampaknya masih akan berlanjut sebab sampai hari ini tak muncul usulan untuk mengubah konstitusi atau merevisinya. Usulan yang sering kali didengungkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lebih mengacu pada perubahan konstitusi untuk memperkuat keberadaan DPD dan bukan untuk mengkaji kembali konstitusi hasil perubahan.

Multipartai, presiden terjepit

Pelaksanaan presidensialisme yang kokoh, bahkan terasa kebablasan, karena presiden menjadi pusat segala kekuasaan, seperti yang diperlihatkan Orde Baru, kini makin tergerus. Sikap pembuat UU (Dasar) pun tidak jelas sebab tetap mempertahankan sistem presidensial, tetapi sekaligus melemahkannya. Presiden yang semestinya lebih kuat kedudukannya, sebab dipilih langsung oleh rakyat dan bukan lagi mandataris MPR, kian terbelenggu dalam sistem multipartai yang disepakati pengelola negara ini.

Hanta Yuda AR dalam bukunya Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi (Gramedia Pustaka Utama, 2007), menyebutkan, kondisi sistem pemerintahan di Indonesia saat ini adalah presidensialisme reduktif (setengah hati). Prinsip sistem presidensial direduksi dalam konstitusi. Presidensialisme reduktif juga disebutnya sebagai soft presidentialism atau weak president.

Struktur politik kepartaian tidak kondusif bagi sistem presidensial multipartai ekstrem dan terfragmentasi. Dalam sembilan tahun terakhir, presidensialisme yang setengah hati itu kian menunjukkan wajahnya yang lemah sebab presiden lebih sering memosisikan dirinya atau diposisikan terjepit dalam pertarungan partai politik di parlemen ataupun di masyarakat.

Misalnya, dalam menyusun kabinet pun Susilo Bambang Yudhoyono yang dipilih mayoritas rakyat negeri ini terlihat tidak mandiri. Parpol menjepitnya dalam pusaran kepentingannya masing-masing, baik pada periode pertama maupun kedua. Padahal, parpol yang berkoalisi mendukung pemerintahannya tidak selalu solid.

Kebijakan yang diambil Presiden, seperti menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, bukan hanya dikritisi sejumlah partai pendukungnya, tetapi juga secara terbuka ditolak di DPR. Kegaduhan antarpartai pendukung pemerintah sering kali terjadi dan membingungkan rakyat. Presiden seperti tak mampu berbuat apa-apa, termasuk menghukum partai anggota koalisi yang tegas melawan kebijakan yang dibuatnya.

Dalam presidensialisme setengah hati, presiden memang lemah bukan hanya di parlemen, melainkan juga di tingkat pertarungan wacana di masyarakat. Kondisi itulah yang setidak-tidaknya tergambar dalam sembilan tahun terakhir.
Padahal, panggung politik masih bisa direbut. Sekalipun sudah memerintah dalam sistem presidensial yang setengah hati, KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri yang berbagi masa pemerintahan tidaklah mencerminkan lemahnya presidensialisme di negeri ini. Kritik terhadap sistem pemerintahan yang timpang masih sering dilontarkan. Pendulum kekuasaan di negeri ini semenjak masa reformasi memang lebih mengarah ke parlemen sekalipun Indonesia tidak menganut sistem parlementer.

Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, Anies Baswedan dalam pengantar buku karya Hanta Yuda AR, menuliskan, sistem berdemokrasi kita belum sempurna. Optimisme untuk membangun dan memperbaiki kondisi itu tetap harus terus dihidupkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar