Selasa, 31 Desember 2013

RI dalam Sistem Hukum Internasional

RI dalam Sistem Hukum Internasional

Abdul Hakim G Nusantara  ;   Advokat; Arbiter; Ketua Komnas HAM Periode 2002-2007
KOMPAS,  30 Desember 2013
  


SISTEM hukum internasional hak asasi manusia sebagai fondasi hubungan antarnegara disepakati negara-negara pendiri PBB pada 26 Juni 1945 di San Francisco, AS.

Piagam PBB menegaskan tujuan organisasi internasional antara lain  untuk memajukan serta mendorong penghormatan HAM dan kebebasan dasar seluruh umat manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama. Meletakkan HAM sebagai tujuan hubungan antarnegara adalah lompatan besar dalam peradaban manusia. Ia mengubah secara mendasar tujuan, ruang lingkup, dan sifat hubungan internasional yang selama berabad-abad didasarkan semata pada kepentingan politik, ekonomi, dan militer.

HAM yang semula isu domestik negara-negara industri maju, sejak berakhirnya Perang Dunia II, mengalami internasionalisasi ketika ditempatkan sebagai salah satu tujuan pencapaian PBB. Pada 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengesahkan Deklarasi Umum HAM (DUHAM). Ini semakin menguatkan posisi HAM sebagai tujuan hubungan internasional di mana pribadi manusia diakui eksistensinya dan jadi obyek pemajuan dan perlindungan HAM.

DUHAM PBB memang bukan produk hukum mengikat. Namun, substansi yang terkandung di dalamnya diakui dan dijalankan secara konsisten oleh banyak negara sehingga norma-norma DUHAM setara dengan hukum kebiasaan internasional.

Secara gradual masyarakat internasional melalui PBB membangun sistem hukum internasional HAM dengan menuangkan nilai dan norma yang terkandung dalam DUHAM ke dalam sejumlah kovenan internasional, yang secara hukum mengikat semua negara pihak. Pada tahun 1966, Majelis Umum PBB mengesahkan kovenan internasional hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya serta kovenan internasional hak-hak sipil dan politik. Pada periode selanjutnya, Majelis Umum PBB mengesahkan beberapa kovenan yang bersifat khusus, seperti kovenan penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial, kovenan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), kovenan hak anak, kovenan menentang penyiksaan dan perilaku kejam lain atau perlakuan atau hukuman merendahkan, kovenan perlindungan buruh migran, serta kovenan perlindungan orang-orang dari penghilangan paksa.

Empat tujuan

Indonesia secara resmi terintegrasi ke dalam sistem internasional HAM pada 28 September 1950,  saat resmi menjadi anggota ke-60 PBB. Walaupun  sudah terintegrasi ke dalam sistem hukum internasional HAM sejak 1950, Indonesia termasuk negara yang tersendat untuk menjadi pihak dalam sejumlah kovenan internasional.

Sistem politik otoriter yang menguasai Indonesia sangat menghambat 
keikutsertaan Indonesia sebagai pihak dalam beberapa kovenan internasional HAM. Rezim Orde Baru lebih mengedepankan hak-hak ekonomi, sosial dan hak atas pembangunan serta mengesampingkan hak-hak sipil dan politik.

Dalam semangat hak atas pembangunan itulah, Indonesia meratifikasi CEDAW dan kovenan hak anak. Untuk memoles citra HAM-nya yang sangat buruk di dunia internasional, rezim Orde Baru pada 1985 menandatangani kovenan PBB menentang penyiksaan, tanpa pernah meratifikasinya sampai 1998. Jatuhnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi  membuka jalan lebar bagi Indonesia untuk masuk lebih dalam ke sistem hukum internasional HAM, dengan meratifikasi lebih banyak lagi kovenan HAM PBB.

Ada sejumlah alasan di balik peratifikasian sejumlah kovenan HAM itu. Pertama, memenuhi kebutuhan hukum rakyat dan orang asing yang tinggal di Indonesia atas pemajuan dan perlindungan HAM. Kedua, memudahkan kerja sama internasional di beragam bidang, khususnya guna memajukan dan melindungi HAM WNI, termasuk antara lain TKI yang tinggal di beberapa negara. Ketiga, sebagai dasar dan acuan reformasi hukum guna memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia dan internasional. Keempat, nilai dan norma keadilan sosial ekonomi yang terkandung dalam kovenan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan perangkat hukum internasional HAM yang dipandang mampu mengimbangi dan mengendalikan globalisasi ekonomi yang didominasi paham neoliberalisme.

Apabila empat tujuan itu bisa dicapai, dengan sendirinya akan memperkuat legitimasi dan citra Indonesia di publik domestik dan internasional. Saat ini, Indonesia masih jauh dari empat tujuan ratifikasi kovenan HAM tersebut. Indonesia tampak masih sibuk memoles citranya sebagai negara yang seolah-olah menghormati sepenuhnya hukum dan HAM. Padahal, di mana-mana dilaporkan masih banyak pelanggaran HAM yang fundamental, seperti penindasan dan kekerasan yang dihadapi kalangan minoritas agama, etnis, dan politik, serta para mahasiswa pengunjuk rasa.

Selain itu, masih begitu banyak produk legislasi dan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan hukum internasional HAM, di antaranya KUHP, KUHAP, UU Antipornografi, UU Keormasan, serta sejumlah peraturan pemerintah dan perda. Pemerintah dan DPR dengan sengaja mengabaikan lemahnya mekanisme pemantauan kepatuhan HAM.

Empat kebijakan

Guna mencapai empat tujuan peratifikasian sejumlah kovenan HAM, beberapa kebijakan harus segera dilakukan. Pertama, pemerintah dan DPR harus segera mereformasi beragam produk hukum yang tidak sesuai hukum internasional HAM. Kedua, hakim, polisi, jaksa, dan pejabat pemerintah menjalankan secara taat asas hukum internasional HAM dalam melayani kepentingan masyarakat. 

Ketiga, memperbaiki mekanisme pemantauan kepatuhan HAM dengan memperkuat kompetensi dan efektivitas Komnas HAM. Keempat, pendidikan HAM yang terus-menerus di kalangan pejabat publik dan masyarakat luas.
Empat kebijakan itu merupakan kewajiban internasional Indonesia sebagai negara pihak dari sejumlah kovenan internasional yang sudah diratifikasi. Kewajiban internasional tersebut, atas alasan darurat yang luar biasa, bisa saja tertunda. Namun, penundaan itu bersifat temporer.

Saat ini pemerintah tidak sedang menghadapi keadaan darurat. Jadi, Indonesia tidak bisa  menunda atau tidak melaksanakan kewajiban internasional HAM-nya atas alasan hukum internalnya menghalanginya. Alasan seperti itu jelas ditolak Konvensi Vienna tentang Hukum Perjanjian.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar