Selasa, 31 Desember 2013

UU Desa dan Kemiskinan

UU Desa dan Kemiskinan

Khudori   ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
REPUBLIKA,  30 Desember 2013



Mengakhiri tahun 2013, pemerintah dan DPR membuat keputusan penting.
Setelah tertunda-tunda dalam beberapa kali masa sidang, pekan lalu RUU Desa disahkan menjadi UU. Lewat produk hukum baru tersebut, desa bisa berdiri otonom, sama dengan provinsi, kabupaten atau kota, dalam menentukan arah pembangunan. Dengan otonomi itu, desa bisa membangun otonomi berbasis "otonomi asli desa" yang berbasis nilai dan identitas lokal.

Harus diakui, derap pembangunan selama beberapa dekade hanya menempatkan desa sebagai subjek. Akibatnya, desa tidak hanya berada di pinggir, tapi juga diletakan jauh di belakang. Selama puluhan tahun pendekatan pembangunan desa dicirikan tiga hal (Sudjito, 2013). 

Pertama, tak ada kejelasan kewenangan desa sebagai pengakuan negara atas desa. Sejak UU No 5/979 tentang Pemerintahan Desa berlaku, tak ada pengakuan kewenangan, baik secara politik maupun sosial-ekonomi. Pengaturan desa diseragamkan bermodel "Jawa" agar negara mudah mengontrol desa. Dampaknya, desa termarjinalisasi dalam arus kebijakan.

Pada era reformasi ada upaya memperkuat desa lewat UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan itu memberi pesan penguatan desa bertumpu pada hak asal-usul. Tapi, hal ini tak berlangsung lama.

Ketidakpastian politik menandai terbitnya UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang bercorak resentralisasi. Desa kembali hanya menjadi objek, tersubordinasi pemerintah kabupaten/kota, bahkan terkooptasi pemerintahan di atasnya. Ini semua cermin kemunduran paling nyata posisi politik desa di era reformasi.

Kedua, dengan pendekatan "Jawanisasi", kemajemukan desa tidak diakui, bahkan dinihilkan. Padahal, format, struktur, dan pola desa di Indonesia be - gitu beragam. Keunikan desa atau nama lainnya mencerminkan sumber daya lokal yang dimaknai sebagai kekayaan khas bangsa. Tak mungkin variasi dimatikan lewat penyeragaman. 

Ketiga, lantaran kooptasi desa tidak berperan dalam perencanaan, penganggaran pembangunan dan redistribusi sumber daya. Pembangunan menempatkan desa sebagai objek lewat model "pembangunan di desa", desa hanya jadi lokasi. Bukan "desa membangun" yang mensyaratkan desa sebagai subjek.

Tiga paradigma pembangunan desa itu tidak lagi ada dalam UU Desa. Tidak hanya keberagaman yang diakui, desa juga diberi kewenangan (politik) besar dalam perencanaan, penganggaran pembangunan, dan redistribusi sumber daya. Secara ekonomi, UU Desa memuat kewajiban penting terkait penganggaran. Pasal 72 menyebut, dana alokasi desa berasal dari APBN diambil sebesar 10 persen dari dana on top (dana dari dan untuk transfer daerah). Dalam APBN 2014 dana transfer daerah mencapai Rp 590,2 triliun. 

Jadi, alokasi anggaran desa Rp 59,02 triliun. Sebanyak 72 ribu desa akan menerima aliran dana Rp 0,7 miliar hingga Rp 1,4 miliar, tergantung jumlah penduduk, angka kemiskinan, kesulitan geografis, dan luas wilayah.

Terlepas dari pro-kontra, adanya alokasi anggaran khusus ke desa membawa angin segar pembangunan di perdesaan. Pembangunan yang bias perkotaan membuat desa kering anggaran, bahkan terjadi pengurasan modal (finansial dan sumber daya) desa oleh kota. Almarhum Mubyarto dalam pelbagai penelitiannya menemukan, tabungan warga desa di perbankan yang mengalir kembali ke desa tak lebih dari 25 persen.

Sisanya mengalir ke kota. Desa identik dengan kemiskinan dan kegureman.
Selama puluhan tahun pembangunan gagal mengatasi kesenjangan kota-desa, menyebarkan penduduk ke wilayah lain di luar Jawa dan luar Jabodetabek, serta meratakan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan. Pembangunan tak berdaya mengatasi urbanisasi masif. Ini terjadi lantaran ketakmampuan kita membangun ekonomi perdesaan, yang telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marjinalisasi ekonomi perdesaan. Konsep yang kita kenal selama ini tentang urban-rural linkages tidak berjalan karena kenyataannya kota makin perkasa, sedangkan desa justru makin merana.

Daerah perkotaan yang didominasi oleh kegiatan ekonomi modern, seperti sektor industri pengolahan, perdagangan, komunikasi, properti, dan jasa keuangan serta perbankan mengalami pertumbuhan yang jauh lebih cepat daripada daerah perdesaan yang didominasi kegiatan ekonomi tradisional, seperti sektor pertanian dan pertambangan-penggalian. Sejak 2008, pertumbuhan sektor pertanian tak lebih dari setengah pertumbuhan nasional. Padahal, sektor ini menampung 43 persen dari total tenaga kerja yang ada. Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional yang terus menurun, tinggal sekitar 14 persen, membuat kemiskinan menumpuk.

Sejak dahulu kala, kemiskinan terkonsentrasi di perdesaan. Pada 1976, jumlah penduduk miskin di perdesaan 44,2 juta orang atau 81,5 persen dari total penduduk miskin. Lebih 35 tahun kemudian, angka ini hanya mengalami sedikit perbaikan. Per September 2012, warga miskin berjumlah 28,594 juta (11,66 persen). 

Secara agregat, kemiskinan menurun. Namun, persentase orang miskin di perdesaan tetap tinggi: 63,4 persen (18,48 juta) dari jumlah warga miskin. Ini fakta getir karena pembangunan justru meminggirkan warga perdesaan. Data ini menunjukkan, puluhan tahun pembangunan ternyata kemiskinan tak beranjak jauh dari desa.

UU Desa memberi harapan baru. Ada harapan besar, transfer anggaran ke desa akan membuat wajah desa berubah: dari miskin menjadi lebih menggairahkan. Ada sejumlah peluang (usaha, pembukaan tenaga kerja baru dan yang lain) yang akan tercipta seiring mengalirnya anggaran ke desa. Ada peluang harapan baru ini akan diiringi mengalirnya lulusan pendidikan tinggi ke desa. Lewat tangan-tangan mereka, kemiskinan, kegureman, dan pelbagai keterbelakangan desa dikikis. Tentu itu semua mensyaratkan kelembagaan yang mumpuni, pengawasan dan kontrol ketat agar dana desa tak dikorupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar