Selasa, 28 Januari 2014

Analisis Pendidikan Wapres

                     Analisis Pendidikan Wapres  

Muchlas Samani  ;   Rektor Universitas Surabaya
KOMPAS,  27 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
AKHIR tahun lalu, di hadapan peserta kuliah umum di Universitas Monash Melbourne, Australia, Wakil Presiden Boediono mengakui, pendidikan di Indonesia tertinggal. Menurut Wapres ada tiga tantangan mendasar untuk mengejar ketertinggalan Indonesia: kekurangan guru bermutu, fasilitas pendidikan, dan materi ajar.
Kalaupun ada guru bermutu, mereka tidak terdistribusi dengan baik. Fasilitas pendidikan di daerah terpencil juga minim dan penyampaian materi ajar tidak sesuai dengan standar.
Menurut Wakil Presiden (Wapres), guru adalah kunci. Isi dan penyampaian materi ajar tidak mencapai standar karena gurunya kurang bagus. Apa pun kebijakan mutu pendidikan, akhirnya guru yang melaksanakan di lapangan.
Analisis Wapres sejalan dengan kesimpulan Thomas Friedman terhadap kemajuan pendidikan di Shanghai, China.
Menurut Friedman, rahasia peningkatan mutu pendidikan di Shanghai terletak pada: a deep commitment to teacher training, peer- to-peer learning and constant professional development, a deep involvement of parents in their children’s learning, an insistence by the school’s leadership on the highest standards and a culture that prizes education and respects teachers (The New York Times, 22 Oktober 2013).
Untuk mendapatkan guru bermutu tentu perlu calon yang pandai dan mendapat pendidikan guru yang bermutu.
Studi Wang dan kawan-kawan (2003) berjudul Preparing Teachers Around the World mengonfirmasi argumen tersebut.
Belanda, Hongkong, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura adalah negara yang bagus dalam menyiapkan calon guru dan juga membinanya setelah bekerja di sekolah. Hasilnya, pendidikan bermutu di negara-negara itu.
Bagaimana menggunakan analisis itu untuk mengejar ketertinggalan pendidikan kita?
Mendidik guru
Data Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dua tahun terakhir memberikan harapan untuk memperoleh calon guru yang bagus. Ada 69,4 persen pendaftar Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2013 yang ingin menjadi guru dan masuk ke Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Pertanyaan berikutnya adalah apakah proses pendidikan di LPTK cukup bagus? Belum ada studi yang menggambarkan kualitas pendidikan di LPTK. Yang pasti mutu LPTK sangat bervariasi. Apalagi ketika minat menjadi guru naik, jumlah LPTK juga naik tajam.
Tahun 2008 jumlah LPTK 270-an, kini mencapai 415 dengan mahasiswa sekitar 1,2 juta orang dan jumlah lulusan sekitar 250.000 orang per tahun. Peningkatan jumlah LPTK ini sangat mengkhawatirkan karena mutu pendidikan menjadi tidak terjaga.
Pendidikan di LPTK sebenarnya semi-kedinasan, karena lulusannya dipersiapkan menjadi guru. Jika kebutuhan guru setiap tahun hanya sekitar 70.000 orang, sudah saatnya ada pengaturan jumlah LPTK ataupun jumlah mahasiswanya. Upaya ini sekaligus memberdayakan LPTK agar mampu menghasilkan guru bermutu.
Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen, yang mewajibkan guru berpendidikan S-1 plus pendidikan profesi guru (PPG) dapat digunakan sebagai instrumen pengendalian jumlah LPTK.
LPTK yang memenuhi syarat tertentu yang boleh membuka PPG dan jumlah mahasiswanya juga ditentukan. Lebih baik kalau mahasiswa PPG diberikan dinas, sebagaimana diamanatkan Pasal 23 Ayat (1) UU Guru dan Dosen.
Pola pendidikan guru di China yang merekrut calon dari beberapa daerah, diasramakan dan diberi beasiswa, merupakan contoh baik bagi Indonesia. Diambil dari daerah dan diberi beasiswa akan memudahkan penempatan mereka setelah lulus.
Dengan diasramakan, proses pendidikan dapat dilakukan 24 jam, sehingga efektif untuk pembinaan karakter.
Pemerataan guru
Distribusi guru merupakan masalah yang pelik. Secara agregat jumlah guru kita sangat cukup.
Rasio guru kita lebih baik dibandingkan dengan Singapura dan Thailand, tetapi banyak sekolah di pedesaan kekurangan guru (Jalal, 2010). Guru baru enggan ke daerah terpencil, sebaliknya guru di daerah ingin pindah ke kota.
Tahun 1999 pernah ada program redistribusi guru dengan batuan Bank Pembangunan Asia.
Namun, program tersebut tidak berhasil karena kepindahan guru ke sekolah di pedesaan dimaknai sebagai hukuman. Oleh karena itu, diperlukan pola karier guru yang mengaitkan perpindahan ke daerah terpencil sebagai bagian dari pembinaan karier.
Ketidaksesuaikan isi dan metode pembelajaran juga terkait dengan pembinaan profesionalisme guru, tetapi kita belum mempunyai pola yang mapan.
Di negara maju, guru wajib mengikuti pelatihan setiap tahun. Mereka juga mempunyai Professional Learning Community (PLC) sebagai wahana diskusi.
Kita punya MGMP (Musyawarah Guru Matapelajaran) dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang mirip dengan PLC. Hanya saja kegiatan MGMP dan KKG biasanya hanya untuk menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Padahal PLC dan MGMP dan KKG merupakan wahana bagus bagi guru untuk berbagi pengalaman dan gagasan.
Kita juga pernah punya sanggar MGMP dan KKG yang dikembangkan melalui proyek Bank Dunia. MGMP dan KKG perlu diaktifkan kembali.
Dengan teknologi modern, kegiatan MGMP/KKG/sanggar dapat dihubungkan dengan Pusat Sumber Belajar (PSB) di universitas agar dapat berbagi pengalaman dan keahlian. Apalagi sekarang guru sudah mendapatkan tunjangan profesi untuk mengembangkan profesionalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar