Selasa, 28 Januari 2014

Elastisitas Fatwa Ulama

                         Elastisitas Fatwa Ulama      

Mohammad Bisri  ;   Mantan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah GPAnsor Jawa Tengah
SUARA MERDEKA,  27 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
BANGSA Indonesia baru saja kehilangan salah satu putra terbaik, KH MA Sahal Mahfudh. Ia prototipe ulama NU yang tegas dalam bersikap dan berpendapat, tetapi pada saat yang lain sangat lunak memberi fatwa hukum.

Dia mengkritik forum bahsul masaíil (forum diskuisi para kiai NU) yang menurutnya kurang ilmiah dan kurang memenuhi kebutuhan masyarakat. Katanya, salah satu penyebab pokok adalah keterikatan yang berlebihan terhadap mazhab Syafiíi, selain terlalu tekstual (Nuansa Fiqih Sosial, 1994).

Meskipun begitu, pada saat yang berbeda Mbah Sahal menghadirkan kesan sebagai penganjur, bahkan pembela gigih tradisi Syafi’i. Ini dapat dilihat dari fatwa-fatwa hukum yang ditulisnya pada harian ini, yang selanjutnya dibukukan oleh Yayasan Karyawan Suara Merdeka (1997) di bawah tajuk Dialog dengan KH MASahal Mahfudh: Telaah Fiqih Sosial.

Hampir seluruh fatwa Kiai Sahal yang dimuat oleh koran ini, baik berkait ibadah, muamalah, munakahat, maupun thaharah dan sebagainya, selalu diambil dari kitab-kitab Syafi’iyyah, tetapi dari generasi yang jauh dari Syafiíi, bukan dari ulama besar Syafi’i.

Kitab yang tergolong klasik dalam mazhab Syafi’i, seperti al- Muhazzab karya Abu Ishaq al-Syirazi (w.476/1083) dan sarahnya, al-Majmuí fi Syarkh al-Muhazzab karya al-Nawami (w.676/1277), Muhtashar karya al-Muzani (w. 264/878) dan lain-lain jarang dijadikan rujukan. Dari titik ini, ada kesan Mbah Sahal kurang konsekuen dengan gagasan pembaruannya.

Hal ini berbeda dari fuqaha Indonesia lain, semisal Ibrahim Hosen LMLdan TM Hasbi Ash Shidiqieqy. Hasbi bukan saja konsisten melainkan juga keras dalam memberikan fatwa hukum.

Bahkan berkesan kurang memperhatikan aspek sosiologis, seperti halnya haramnya shalat zuhur bagi orang yang tak melaksanakan shalat Jumat. Selain itu, soal fatwa hukum tidak diperbolehkannya memusabaqahkan Alquran (MTQ). Kendati, sejatinya fatwa itu berseberangan dengan keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, tempat dia berorganisasi (Nouruzzaman Shiddieqy, 1994).

Lantas, apakah Kiai Sahal berarti tidak konsisten dalam pemikirannya? Jawabnya, tidak. Bagi kiai karismatis itu, dalam meng-istimbath-kan hukum, kita harus melihat objek dakwah (mad’u).

Mengingat pertanyaan yang diajukan merupakan hal-hal praktis, selain kebanyakan pembaca Suara Merdeka adalah masyarakat awam dalam konteks pemahaman agama maka produk hukumnya pun bersifat praktis dan meminimalkan kajian metodologis. Bukankah fatwa Imam Syafi’i juga berbeda ketika di Irak dan di Mesir karena perbedaan waktu, tempat, dan adat?

Berpikir Modern

Elastisitas fatwa ulama neomodernis semacam Mbah Sahal inilah yang menjadikan fikih bisa berdialog dengan pluralitas realitas, dengan tidak mengesampingkan otoritas teks. Mbah Sahal menggali fikih dari pergulatan nyata, antara kebenaran agama dan realitas sosial, antara doktrin dan tradisi yang masih timpang.

Gagasannya itu kemudian terkenal dengan istilah fikih sosial. Sebuah ujian bagi relevansi agama bagi kehidupan. Inilah di antara yang menarik dari pemikiran Mbah Sahal, tokoh NU yang semestinya setia pada fikih Syafi’i sebagaimana tradisi warga nahdliyin, tetapi dengan ringannya ia bisa mengadopsi usul Syathibi yang jelas-jelas berasal dari fraksi Maliki.

Ikhtiarnya itu demi mewujudkan kemaslahatan bagi muslim, terutama di Indonesia. Hal menarik lain dari Kiai Sahal adalah, meskipun tak pernah mengenyam pendidikan akademik, ia mampu berkiprah layaknya akademisi. Sebagai bukti adalah banyaknya karya, baik yang ditulis dalam Bahasa Indonesia maupun Arab.

Ia juga aktif mengikuti seminar, diskusi, dan lokakarya serta aktif menulis pada media massa. Padahal ia juga aktif pada berbagai institusi seperti sejak 1999 hingga saat ini menjadi Rais Aam PBNU, sejak 2000 sampai saat ini sebagai Ketua Umum MUI Pusat, dan pengasuh Ponpes Maslakul Huda, Kajen Pati. Karena berbagai pemikiran dan aktivitasnya itulah tahun 2003 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memberikan gelar doktor kehormatan.

Dalam komunitas NU khususnya, sosok seperti Mbah Sahal jarang ditemui. Artinya sosok kiai yang berpikiran modern bahkan mungkin liberal, meskipun tak terlepas dari teks-teks Islam klasik. Kehadirannya minimal bisa menepis anggapan Imaduddien Abdurrahman (1997) yang menganggap kiai dan sejenisnya hanya bisa menghafal dan memproduksi teks yang sudah baku, tanpa mengelaborasi dan mengkritiknya. Sisi plus lain Kiai Sahal adalah penguasaannya yang luas dalam ilmu sosial kemasyarakatan.

Baginya, kitab fikih harus disikapi secara manhaji (metodologis) dan proporsional supaya tidak kehilangan elan vital. Selain itu, penyikapan fikih secara tekstual justru paradoks dengan historisitas fikih yang lahir dari pergulatan antara teks dan konteks. Berangkat dari alur pemikiran demikian, tidak mengherankan bila Kiai Sahal tampil begitu gigih membela komunitas muslim yang terpuruk secara sosial dan ekonomi.
Tapi ia juga bisa dengan santainya menjalin hubungan dengan orang-orang sekuler, budaya yang selama ini dianggap tabu dalam komunitas NU. Selamat jalan Kiai Sahal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar