Senin, 27 Januari 2014

Fikih Kiai Sahal

                               Fikih Kiai Sahal            

Azis Anwar Fachrudin  ;  Pengajar Pesantren Nurul Ummah, Kotagede
TEMPO.CO,  27 Januari 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Kiai Sahal Mahfudz, Rais Aam PBNU dan Ketua MUI yang baru saja wafat, adalah penganut fikih sosial, dan memang itulah warisan pemikirannya yang terpenting. Kiai Sahal diakui otoritasnya dalam bidang fikih dan ushul fikih (filsafat hukum Islam). Di antara karya monumentalnya, selain tulisan-tulisan berbahasa Indonesia yang mewacanakan paradigma fikih sosial, juga kitab berbahasa Arab dalam kajian ushul fikih: Thariqatul-Hushul. Kitab ini catatan pinggir terhadap kitab babon ushul fikih di pesantren: Ghayatul-Wushul karya Zakariya al-Anshari.

Fikih sosial adalah perspektif yang memandang fikih bukan sebagai hukum an sich, melainkan sebagai etika sosial yang menggerakkan. Fikih sosial mengedepankan nilai hukum dalam terang maqashid as-syari'ah (tujuan syariat yang lima: menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan). Kiai Sahal kerap menekankan dalam tulisan-tulisannya bahwa fikih itu hasil perolehan pergulatan pemikiran yang bisa jadi efektif pada zamannya, tapi tak lagi relevan dengan perkembangan kekinian. Maka fikih sosial menuntut adanya kontekstualisasi produk hukum-khususnya kitab kuning yang kerap jadi pegangan orang NU.

Fikih sosial memberikan interpretasi nilai-nilai hukum agama agar tak kering. Zakat, misalnya, sebenarnya adalah ajaran Islam yang memiliki semangat keadilan sosial-ekonomi. Maka fikih sosial menolak bila zakat semata berorientasi pada ibadah formal tahunan semata. Fikih sosial juga menolak menjadikan hukum agama sebagai hukum positif negara. Sebab, ia memang memaksudkan fikih sebagai etika penggerakan kehidupan masyarakat. Di sini menariknya. Hukum Islam, di tangan Kiai Sahal, lebih hidup nilai filosofisnya ketimbang produk formalnya.

Secara metodologis fikih sosial dapat dilakukan dengan mengintegrasikan hikmah hukum agama ke dalam 'illat (ratio legis) hukum itu sendiri. Fikih sosial menghendaki agar produk-produk parsial fikih tak diperlakukan secara kaku, tapi mesti peka terhadap kondisi sosial. Ia terjadi, antara lain, dengan kembali pada prinsip umum dan semangat syariah itu sendiri.

Bisa kita ajukan satu contoh di sini tentang bagaimana Kiai Sahal mengutarakan pemikiran terkait dengan lokalisasi prostitusi. Menurut Kiai Sahal, prostitusi memang dilarang agama. Tapi, sebagai persoalan sosial yang kompleks, prostitusi tak mudah dihilangkan. Dalam kondisi semacam ini, kita dihadapkan pada dua mafsadah (dua hal yang merusak), yaitu membiarkan prostitusi tak terkontrol. Maka kebijakan lokalisasi bisa dipandang sebagai pilihan terhadap yang paling ringan dari dua risiko yang mengimpit. Kaidah hukum yang dipakai dalam hal ini ialah: irtikab akhaff ad-dhararain (mengambil yang teringan mudaratnya dari dilema dua mudarat).

Masih banyak contoh produk fatwa Kiai Sahal yang menarik. Sayangnya, di tubuh NU, paradigma fikih sosial ini belum banyak menjadi ilham untuk memecahkan persoalan kekinian. Pemecahan Masalah (Bahtsul Masail) NU sampai kini tak sedikit yang masih terperangkap dalam taklid secara tekstual pada kitab yang ditulis berabad lampau. Maka, untuk melanjutkan warisan dari Kiai Sahal, NU perlu meneruskan proyek fikih sosial yang telah digagas beliau itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar