Selasa, 28 Januari 2014

Gempa Bumi di Jakarta

                         Gempa Bumi di Jakarta      

Admiral Musa Julius Sipahutar  ;   Pengamat Meteorologi
dan Geofisika Stasiun Geofisika Jakarta
KORAN JAKARTA,  28 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Secara geografis, Indonesia merupakan lokasi pertemuan tiga lempeng tektonik besar yang sangat berpengaruh pada aktivitas seismik di wilayah Indonesia.

Lempeng tektonik tersebut ialah Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik serta satu lempeng mikro, yakni lempeng Filipina. DKI Jakarta tidak luput dari imbas interaksi antarlempeng tektonik tersebut karena terletak di sebelah utara Jawa bagian barat yang relatif dekat dengan zona subduksi selatan Jawa.

Meskipun dampak yang dirasakan saat ini belum signifikan, tidak menutup kemungkinan akan timbul gempa merusak yang sewaktu-waktu dapat melanda DKI Jakarta. Pengamatan terhadap gempa bumi di wilayah DKI Jakarta perlu dilakukan agar penanggulangan terhadap bencana alam tersebut dapat meminimalkan jumlah korban.

Pengamatan visual gempa bumi di Jakarta telah dilakukan sejak era kolonialisme Belanda, ketika masih bernama Batavia. Encyclopedia of World Geography meninggalkan catatan bahwa Batavia pernah luluh lantak diguncang gempa bumi tahun 1699.

Gempa bumi tersebut menyebabkan banyak longsoran di sekitar Sungai Liwung (Ciliwung). Selain itu, disebutkan bahwa lumpur dalam jumlah besar dan pepohonan yang tumbang berjatuhan ke sungai memicu banjir dan memampetkan kanal-kanal Batavia.

Makalah Historical Evidence for Major Tsunamis in the Java Subduction Zone dari Asia Research Institute juga mengungkap kejadian gempa bumi hebat itu. Dituliskan bahwa pada 5 Januari 1699, Batavia mengalami gempa bumi yang tak pernah terjadi sebelumnya dan tak pernah dibayangkan.

Kala itu, sejumlah guncangan terjadi selama tiga perempat hingga satu jam. Dilaporkan, 28 orang tewas, 49 bangunan tembok kokoh hancur, serta hampir semua rumah rusak. Hingga kini, sumber gempa tidak diketahui pasti.

Diduga pusat gempa saat itu di selatan Batavia, namun penyebab pasti gempa kala itu masih misteri. Pengamatan instrumental gempa bumi di Jakarta sudah dimulai sejak 1908.

Seismograf konvensional yang digunakan sebagai instrumentasi operasional cukup efektif dalam menganalisis gempa di wilayah Indonesia, khususnya Jakarta. Saat z, pengamatan gempa bumi dapat dilakukan dengan peralatan modern sehingga bisa diamati gempa bumi secara real time.

Indonesia melalui BMKG mengamati gempa bumi di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan lembaga luar negeri yang mengamati real time gempa dengan jaringan hampir di seluruh dunia antara lain United States Geological Survey (USGS) dan GFZ Postdam.

Dengan peralatan modern, pengamatan gempa bumi dapat dilakukan dengan efektif dan data sangat mudah didapat. Stasiun Geofisika Jakarta yang bertugas mengamati gempa bumi menjadikan seismisitas dan percepatan tanah wilayah Jakarta sebagai objek pengamatan.

Data gempa diperoleh dari hasil pengamatan peralatan observasi di stasiun, yakni Short Period Seismograph (SPS) 1 Analog, Broadband PC Digital, Etna Accelerograph, dan Titan Strong Motion Accelerograph.

Adapun data yang tidak terekam pada seismograf bisa didapat dari USGS dan Geofon Postdam yang masih menyediakan data gempa bumi tahun 2013. Tidak hanya informasi gempa bumi, pengamatan percepatan tanah Stasiun Geofisika Jakarta dapat memberi kontribusi kepada masyarakat sebagai pendukung dalam konstruksi bangunan tahan gempa di Jakarta.

Mengingat lokasi yang relatif dekat dengan zona subduksi dan diapit empat sesar aktif (Baribis, Sunda, Walat, dan Cimandiri), perlu ada tindakan antisipatif untuk meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan gempa.

"Geohazard" Jakarta 

Jakarta memunyai luas wilayah sekitar 650 km persegi, termasuk daratan Kepulauan Seribu yang tersebar di Teluk Jakarta. Secara geografis, wilayah DKI Jakarta terletak antara 106.22’42" BT sampai 106.58’18" BT dan -5.19’12" LS sampai -6.23’54" LS.

Dilihat dari keadaan topografinya, Jakarta dikategorikan sebagai daerah datar dan landai. Ketinggian tanah dari pantai sampai ke banjir kanal berkisar antara 0 m sampai 10 m di atas permukaan laut diukur dari titik nol Tanjung Priok.

Sedangkan jarak dari kanal banjir sampai batas paling selatan wilayah Jakarta ada di antara 5 m sampai 50 m di atas permukaan laut. Daerah pantai merupakan rawa atau selalu tergenang air pada musim hujan dan air laut pasang.

Dilihat dari segi geologis, hampir seluruh wilayah Jakarta dikelilingi kerentanan geologis yang sangat tinggi. Zona sumber ancaman gempa datang dari berbagai arah, baik dari arah gempa lautan yang berasal dari zona kehancuran gempa di palung Laut Jawa maupun aktivitas gempa tinggi di Pantai Barat Sumatra dengan lebih dari lima zona subduksi yang dapat memicu zona gempa terdekat.

Sejak lama diketahui, permukaan daratan di pantai wilayah utara Jakarta mengalami penurunan tanah, kehancuran ekologi, serta reklamasi pantai utara dan barat. Analisis itu didukung penelitian BMKG yang menyatakan adanya anomali gravitasi tinggi sehingga mengindikasikan subsidiensi, perubahan kondisi bawah tanah, dan dinamika fluida.

Anomali itu terdapat di kawasan Cilincing, Pulogadung, dan Kelapa Gading yang merupakan daerah banjir terbesar Jakarta. Kawasan itu juga memiliki tingkat kepayauan air yang cukup tinggi, melebihi standar baku mutu air bersih.

Anomali tinggi lainnya terdapat pada daerah Setiabudi, dan sebagian besar Jakarta Pusat serta memanjang ke arah barat yang memiliki gedung tinggi paling banyak yang mengindikasikan subsidiensi. Diperkirakan, jika proses itu terjadi terus, intrusi air laut akan semakin meluas dalam waktu singkat.

Tidak hanya di situ. Sepanjang tahun 2010 hingga 2012, terdapat 37 kali badai magnet terekam di Observatorium Geofisika Pelabuhan Ratu, lokasi pengamatan magnet bumi terdekat dari Jakarta. Perinciannya 17 badai magnet dengan klasifikasi magnet lemah, 16 badai magnet sedang, dan 4 badai magnet kuat.

Badai Magnet akan menjadi bencana serius bila telah mengganggu sistem komunikasi, navigasi, satelit, pembangkit listrik, iklim, dan lain-lain. Menyangkut data petir Jabodetabek yang bersumber dari BMKG, kerapatan sambaran petir bervariasi di setiap wilayah Jakarta. Setiap bulan berubah, bergantung pada musim.

Aktivitas sambaran petir tertinggi terjadi pada masa peralihan musim. Puncaknya pada bulan November, sedang terendah pada puncak musim kemarau, bulan Agustus. Daerah yang memiliki kerapatan petir tertinggi berada di wilayah antara Bekasi dan Karawang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar