Selasa, 28 Januari 2014

Jalan Panjang Menuju Pemilu Serentak

            Jalan Panjang Menuju Pemilu Serentak          

Saldi Isra ;   Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
MEDIA INDONESIA,  27 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
“Terlepas dari soal substansi yang akan diatur, penyatuan juga dimaksudkan untuk membuat desain undang undang pemilu agar diberlakukan dalam waktu panjang.”

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) No 14/ PUU-XI/2013 menga bulkan sebagian permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU No 42/2008) yang diajukan Effendi Gazali. Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU No 42/2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional). Dari rangkaian ketentuan yang dinyatakan kehilangan validitas konstitusional tersebut, MK menegaskan pemilihan umum presiden dan wakil presiden harus dilaksanakan serentak dengan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Dengan putusan ini, keten tuan bahwa pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pemilu presiden) dilaksanakan setelah pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (pemilu legislatif) adalah inkonstitusional. Konsekuensinya, ketentuan masa pendaftaran pasangan calon presiden paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil pemilu anggota DPR, dan pemungutan suara pemilu presiden dilaksanakan paling lama tiga bulan setelah pengumuman hasil pemilu legislatif juga kehilangan dasar konstitusional. Karena itu, setelah meraih status sebagai peserta pemilu, partai politik (parpol) dapat mengumumkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Secara substansial, tidak ada alasan untuk tidak memberikan apresiasi atas keberanian MK mengabulkan permohonan Effendi Gazali. Alasannya sederhana, ketentuan pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan sekali dalam lima tahun yang telah disimpangi sejak Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 dikembalikan kepada makna normatif Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Namun, pemulihan konstitusionalitas Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) tersebut belum akan terjadi pada Pemilu 2014. Penundaan itu dapat dibaca dalam Poin 2 Amar Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan pemberlakuan pemilu presiden dan pemilu legislatif secara serentak baru dimulai sejak Pemilu 2019.

Mengikuti perdebatan setelah pembacaan putusan No 14/PUU-XI/2019, pembahasan lebih banyak terfokus pada pilihan MK menunda penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu legislatif secara serentak terhitung sejak Pemilu 2019. Salah satu kritik mendasar yang muncul ke permukaan yaitu lamanya waktu yang diperlukan MK dari putusan yang diambil di dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) sampai dengan pembacaan putusan. Dari putusan tersebut bisa dilacak, RPH dilakukan pada 23 Maret 2013 dan pembacaan putusan baru dilakukan 23 Januari 2014. Jarak sekitar 10 bulan antara RPH 23 Maret 2013 dengan pembacaan putusan menimbulkan pertanyaan besar dan sekaligus menjadi misteri di balik putusan No 14/ PUU-XI-2013 ini.

Karena penundaan itu, muncul gugatan lain yang tidak kalah peliknya, yaitu terkait dengan konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu 2014 yang masih memisahkan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Persoalan ini muncul karena di salah satu sisi, MK menyatakan bahwa pemisahan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden inkonstitusional, sedangkan di sisi lain MK menyatakan bahwa pemi sahan penyelenggaraan pada Pemilu 2014 dengan segala akibat hukumnya tetap dinyatakan sah dan konstitusional.

Dalam batas-batas tertentu, sikap mendua Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 tentunya akan memicu perdebatan keabsahan konstitusionalitas Pemilu 2014. Bahkan, bukan tidak mungkin, perdebatan masalah ini akan hadir terus sampai tahap akhir penyelenggaraan pemilu.

Terlepas dari gugatan soal keterlambatan dan perdebatan konstitusionalitas Pemilu 2014 yang muncul, sebagai sebuah putusan yang bersifat final, langkah-langkah strategis menyambut penyelenggaraan pemilu serentak harus dimulai dari jauh-jauh hari. Dalam hal ini, sekalipun waktu menuju 2019 masih terbilang cukup jauh di depan mata, banyak masalah yang mestinya mulai didiskusikan. Selain aturan hukum pemilu serentak, dorongan perubahan perilaku partai politik sebagai pintu pengajuan pasangan calon harus pula dimulai lebih awal.

Tidak hanya itu, `pesan' di balik putusan No 14/PUU-XI/2013 mestinya diterjemahkan pula secara tepat dalam mendesain pemilu kepala daerah secara serentak.

Menyatukan UU Pemilu

Sejak Pemilu 2004, undang-undang pemilu legislatif dan undang-undang pemilu presiden dibuat terpisah. Dengan Putusan MK No 14/ PUU-XI/2013, sudah waktunya untuk memikirkan penyatuan kedua undang-undang tersebut. Bahkan, sekiranya pemilihan kepala daerah tetap ditempatkan sebagai rezim pemilu, sebaiknya ketentuannya juga menjadi bagian penyatuan tersebut. Dengan pemikiran ini, ke depan, DPR dan Presiden akan membentuk Kitab Undang-Undang tentang Pemilihan Umum dalam satu proses legislasi. Artinya, semua aturan strategis pemilu bisa dibuat lebih sinkron.

Dalam kerangka pikir yang lebih besar dan strategis, penyatuan ini diperlukan untuk melakukan sinkronisasi ketentuan-ketentuan strategis yang berpengaruh signifikan terhadap kualitas pemilihan umum. Misalnya, mengatur secara seragam persoalan yang terkait dengan sumber dan penggunaan dana partai politik (parpol) peserta pemilu. Sebagai institusi yang memiliki otoritas untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, pengaturan secara bersamaan ini sekaligus dapat digunakan untuk melacak dana parpol yang digunakan calon presiden. Dengan penyatuan pengaturan ini, penyelenggara pemilu akan menjadi lebih mudah melacak pergerakan dana parpol dengan dana pasangan calon presiden.

Selain persoalan dana, penyatuan pengaturan ini juga diperlukan untuk membangun keseragaman soal-soal yang terkait dengan penegakan hukum kepemiluan. Misalnya, materi pelanggaran (baik pidana maupun administrasi) bisa dibangun dalam perspektif yang sama. Sekiranya ini dilakukan, misalnya, penegakan hukum pidana dan hukum administrasi dapat menjadi bagian yang bermuara pada peningkatan kualitas pemilu. Selama ini, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi seperti menguap tidak tentu ujungnya. Akibatnya, pelaku pemilu tidak pernah takut untuk melakukan segala macam bentuk pelanggaran.

Terlepas dari soal substansi yang akan diatur, penyatuan juga dimaksudkan untuk membuat desain undang-undang pemilu untuk diberlakukan dalam waktu panjang. Selama ini, sadar atau tidak, karena bertahan untuk sekali pemilu, undang-undang pemilu seperti menjadi proyek lima tahunan. Sekiranya diletakkan dalam desain kepentingan yang lebih luas, legislasi undang-undang pemilu sangat menyita banyak energi DPR dan Presiden. Tidak hanya itu, dengan perubahan setiap lima tahun, pengaturan pemilu sulit keluar dari jebakan dan kalkulasi politik jangka pendek pembentuk undang-undang.

Ujungnya, penyelenggaraan pemilu seperti berada dalam ketidakpastian permanen.

Demokratisasi parpol

Meski Putusan MK No 14/ PUU-XI/2013 tidak membatalkan ambang batas pengajuan pasangan calon presiden (presidential threshold), pada batas penalaran yang wajar, dengan dipulihkan kembali makna pemilu serentak dalam Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, ambang batas minimal tersebut menjadi kehilangan relevansi. Artinya, semua parpol yang dinyatakan lolos menjadi peserta pemilu dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Dalam kaitan dengan itu, dengan menggunakan asumsi maksimal, bila semua parpol peserta pemilu mengajukan calon sendiri-sendiri, jumlah pasangan calon akan menjadi lebih banyak. Agar jumlah calon tidak berada di luar akal sehat, persyaratan parpol peserta pemilu mestinya tidak lebih ringan dan longgar dari ketentuan yang ada saat ini. Artinya, dengan memakai jumlah parpol dalam Pemilu 2014, paling banyak hanya akan muncul 12 pasangan calon pada putaran pertama pemilihan presiden. Jumlah demikian dapat dikatakan lebih dari cukup untuk menyediakan alternatif calon bagi pemilih.

Namun yang jauh lebih mendasar dibahas, bagaimana mendorong parpol hadir dengan proses yang jauh lebih demokratis. Sebagai saluran utama pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden, demokratisasi internal parpol menjadi sebuah keniscayaan. Artinya, pasangan calon yang diajukan harus berasal dari hasil sebuah proses yang terbuka dan partisipatif. Dengan cara seperti itu, posisi sentral (seperti ketua umum, ketua dewan pembina, dan lain-lain) di parpol tidak otomatis menjadi jalan tol menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden.

Dengan melihat bentangan empirik selama ini, mengharapkan semua parpol untuk lebih demokratis hampir pasti jauh dari mudah. Karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali Undang-undang tentang Partai Politik memberikan paksaan yang tidak mungkin dihindari. Dalam hal ini, undang-undang tersebut harus menentukan kerangka dasar keterbukaan proses pengajuan pasangan calon. Jika perlu, sekiranya tidak melakukan proses terbuka dan partisipatif, parpol bersangkutan kehilangan haknya mengajukan pasangan calon.

Bahkan, untuk mendorong proses yang lebih terbuka di internal parpol, undang-undang dapat saja membuka ruang bagi calon yang berasal jalur perseorangan. Selain bermaksud memberikan kesempatan bagi warga negara untuk ikut serta dalam pemerintahan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, parpol pun dipaksa untuk menghasilkan calon presiden dan/atau wakil presiden yang lebih baik dan lebih aspiratif. Tentu saja, sekiranya kesempatan ini benar-benar tersedia, calon yang memilih jalur perseorangan harus memenuhi syarat dan dukungan yang tidak ringan.

Dalam hitungan waktu, Pemilu 2019 masih terbilang jauh. Artinya, jalan menuju pemilu serentak masih panjang membentang di depan. Agar waktu yang tersedia tidak menjadi jalan panjang nan sia-sia, segala pemikiran demi menghasilkan penyelenggaraan pemilu serentak yang berkualitas harus dimunculkan ke permukaan. Jika tidak, pemilu serentak tetap saja sulit menghadirkan presiden dan wakil presiden yang mampu membawa negeri ini keluar dari impitan persoalan yang kian menggunung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar