Selasa, 28 Januari 2014

Kiai Sahal : Penjaga Nurani NU

                  Kiai Sahal : Penjaga Nurani NU                 

Rumadi Ahmad  ;   Peneliti Senior the WAHID Institute,  Dosen FSH UIN Jakarta
KORAN SINDO,  27 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Kabar duka datang Jumat dini  hari (24/1/14). “Innalillahi  wainnailaihi raji’un, KH  Sahal Mahfudh kapundut”. Membaca  SMS itu, aliran darah saya  seperti terhenti. Saya hanya bisa  membaca surat fatihah untuk  beliau. 

Kepergian Kiai Sahal––  demikian beliau biasa dipanggil—  adalah kehilangan besar, bukan  saja bagi warga NU, melainkan  juga bangsa. Hingga mengembuskan  nafas terakhir, Kiai Sahal  adalah pemimpin tertinggi NU,  rais aam, dan ketua umum Majelis  Ulama Indonesia (MUI).  

Kiai Sahal adalah kiai par  excellent. Kekiaiannya benar-benar  otentik, tidak dibentuk  media, tapi oleh ilmu dan amalnya.  Kesetiaannya pada pesantren  dengan seluruh tradisinya tidak  menjadikan dirinya teralienasi  dari pergaulan sosial. Keahliannya  dalam bidang fikih juga tidak  menjadikan dirinya terkungkung  pada persoalan halal dan haram,  tapi justru menjadikan fikih sebagai  etika sosial dan jendela  untuk melihat realitas kehidupan. 

 Inilah yang mengantarkannya  mendapat gelar Doktor  Honoris Causa dari UIN Jakarta  pada 2003.  Hampir sepanjang hidupnya  diabdikan dan berkhidmat untuk  NU. Dia menghidupi dan menjaga  NU, bukan hidup dari NU. Sejak  muda Kiai Sahal sudah menjadi  rais syuriah PC NU Pati, PW NU  Jawa Tengah sampai kemudian  menjadi rais aam PB NU sejak  1999. 

Keterpilihan Kiai Sahal  sebagai rais am dalam tiga kali  Muktamar NU, sejak Muktamar  di Lirboyo Kediri (1999), Muktamar  di Solo (2004), dan Muktamar  di Makassar (2010), menunjukkan  bahwa keulamaannya  di lingkungan NU sudah paripurna.  Meskipun harus bolak-balik  Pati-Jakarta hingga usia  senja, sepanjang bulan Ramadan,  Kiai Sahal selalu bersama santri-santrinya  di pesantren membaca  sejumlah kitab kuning.  

Kiai Sahal merupakan sedikit  dari kiai NU yang rajin menulis.  Hampir seluruh karyanya terkait  hukum Islam, baik fikih maupun  usul fikih. Kalau toh ada tema-tema  lain, perspektif yang dia  gunakan tetap fikih. 

Tidak sedikit  juga makalah-makalah yang ditulis  dalam berbagai pertemuan  yang sebagian besar bertema  fikih sosial. Beberapa karya  antara lain Thariqatal-Hushul ila  Ghayahal-Ushul (2000), Al-Bayan  al-Mulamma’ ‘an Alfdz al-Lumd  (1999), Al-Faraid al-Ajibah (1959),  Nuansa Fiqih Sosial (1994),  Pesantren Mencari Makna (1999),  dan sebagainya.  

Menahan Arus  Politisasi NU  

Salah satu tugas terpenting  Kiai Sahal selama menjadi rais  aam PBNU adalah menjaga  khitah 1926 NU pada saat di mana  terjadi euforia politik luar biasa di  Indonesia, termasuk warga NU.  Arus politik itu sangat potensial  merusak prinsip khitah NU. Di  sinilah Kiai Sahal harus memberi  bingkai bagaimana agar NU tidak  tergerus arus politik, namun  pada saat yang sama aspirasi NU  dapat disalurkan.  

Dari sinilah Kiai Sahal kemudian  merumuskan tiga peran  politik yaitu politik praktis yang  berorientasi pada perebutan  kekuasaan, politik kerakyatan  yang lebih berorientasi untuk  pembelaan nasib rakyat dari  ketertindasan dan ketidakadilan,  serta politik kenegaraan yang  lebih berorientasi pada upaya  menjaga keutuhan dan kedaulatan  negara. 

Peran NU adalah pada  level politik kerakyatan dan kenegaraan,  bukan politik praktis.  Dengan mengambil peran itu,  politik NU akan lebih strategis  dan tidak disibukkan dengan  gesekan-gesekan antara merebut  dan mempertahankan kekuasaan.  Politik praktis biarlah dilakukan  partai politik. Ini tidak berarti  NU harus mengasingkan diri dari  persoalan kekuasaan. 

Tugas NU  terkait kekuasaan politik adalah  memastikan terpeliharanya  prinsip-prinsip moral yang diperjuangkan  NU.  Dengan meletakkan politik NU  pada level kerakyatan dan  kenegaraan, khitah NU sebagai  organisasi sosial keagamaan akan  terjaga. Namun, menjaga NU dari  politik praktis bukan perkara  mudah. 

Dalam wawancara dengan  Majalah Tempo pada September 2008, dengan nada putus asa, Kiai  Sahal mengatakan: “Praktik  khitah di NU sekarang sedang  macet”. Ungkapan tersebut tentu  saja beralasan karena kala itu  banyak pengurus-pengurus NU  dalam berbagai tingkatan menggunakan  NU untuk alat untuk  merebut kekuasaan, mulai dari  presiden, gubernur, sampai  bupati/wali kota.  

Kiai Sahal tidak setuju dengan  perilaku politik itu. Baginya,  pengurus NU yang hendak  merebut kekuasaan politik harus  mundur dari kepengurusan NU. Namun, khitah yang digariskan  Kiai Sahal ini tidak ditaati pengurus-pengurus NU sendiri. Kiai  Sahal tidak berdaya menghadapi  syahwat politik pengurus NU.  

Kiai Sahal hanya bisa merintih  dan diam, sikap yang biasa  dilakukan bila marah atau tidak  setuju.  Sikapnya itu akhirnya dituangkan  dalam “kontrak jam’iyah” (semacam kontrak politik) pada  Muktamar Ke-31 NU di Asrama  Haji Donohudan Boyolali.  

Kontrak yang harus ditandatangani  calon ketua umum  tanfidziyah berisi 5 hal: 1) Ketua  umum PB NU akan taat sepenuhnya  kepada AD/ART NU, khitah  NU, rais aam syuriah, dan keputusan  syuriah; 2) Melaksanakan  hasil-hasil Muktamar Ke-31  NU; 3) Tidak akan secara langsung  mengatasnamakan NU, kecuali  bersama rais aam dan berdasarkan  rapat PB NU; 4) Tidak  akan terlibat dalam kegiatan  politik praktis apa pun; 5) Tidak  akan mencalonkan diri untuk  jabatan politik praktis, baik  legislatif maupun eksekutif.  

Meski tidak berjalan efektif,  Kiai Sahal sudah berusaha sekuat  tenaga untuk menahan arus politisasi  NU. Menjaga arus politisasi  NU ini akan selalu menjadi  agenda penting NU dari waktu ke  waktu.  

Melawan Arus  Formalisasi Islam  

Hal penting lain yang digariskan  Kiai Sahal adalah upaya  melawan arus formalisasi Islam.  Dalam pidato pembukaan Munas  dan Mubes NU pada 27-30 Juli  2006 di Surabaya, Kiai Sahal  mengemukakan, salah satu corak  keagamaan yang khas bagi NU  yaitu kemampuannya menerapkan  ajaran teks keagamaan yang  bersifat sakral dalam konteks  budaya yang bersifat profan. 

NU,  menurut Kiai Sahal, dapat membuktikan  bahwa universalitas  Islam dapat diterapkan tanpa harus  menyingkirkan budaya lokal.  NU juga sejak awal mengusung  ajaran Islam tanpa melalui jalan  formalistik, lebih-lebih dengan  cara membenturkannya dengan  realitas secara formal. NU berpegang  teguh pada tujuan (ghayah),  tapi lentur dalam hal cara (wasilah).  Inilah yang memungkinkan NU  menjadi organisasi yang lentur.  

Dalam pidato itu, Kiai Sahal  juga mengemukakan, NU berkeyakinan  bahwa syariat Islam  dapat diimplementasikan tanpa  harus menunggu atau melalui  institusi formal. NU lebih mengidealkan  substansi nilai-nilai  syariah terimplementasi di  dalam masyarakat ketimbang  mengidealisasikan institusi.  Kehadiran institusi formal bukan  suatu jaminan untuk terwujudnya  nilai-nilai syariah di  dalam masyarakat. 

Apalagi NU  sudah berkesimpulan bahwa  NKRI dengan dasar Pancasila  sudah merupakan bentuk final  bagi bangsa Indonesia.  Pidato Kiai Sahal tersebut  penegasan soal kesetiaan menjaga  keutuhan bangsa di satu sisi  dan penegasan bahwa keislaman  yang dikembangkan NU bukanlah  Islam egois yang hanya  mementingkan dirinya sendiri.  

Pada level ini Kiai Sahal berdiri  bersama-sama dengan tokoh NU  lain seperti KH Abdurrahman  Wahid, KH Mustofa Bisri, dan  sebagainya dalam memastikan  tegaknya Islam melalui jalur  kultural yaitu Islam yang lebih  mementingkan substansi daripada  simbol. 

Cara pandang seperti  inilah yang menjadikan NU  dipercaya sebagai teman baik dan  melindungi aneka keragaman  bangsa ini.  Karena itu, tidak berlebihan  kalau sepanjang hayat Kiai Sahal  mengabdikan dirinya sebagai  penjaga nurani NU agar NU  bermanfaat bagi bangsa. 

Sebagai  penjaga nurani, Kiai Sahal  memang bukan tipe kiai yang suka  teriak-teriak agar pendapatnya  diikuti atau berkonfrontasi dengan  orang yang berseberangan  dengannya. Dia punya cara sendiri  untuk menyampaikan kesetujuan  atau ketidaksetujuan. Wafatnya  Kiai Sahal semoga tidak  mengubur nurani yang selama ini  dia jaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar