Selasa, 28 Januari 2014

Konsistensi Sidarto Danusubroto

                 Konsistensi Sidarto Danusubroto

Adnan Malay  ;   Staf Ahli di MPR
SINAR HARAPAN,  27 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
“Presiden SBY respek betul terhadap mantan ajudan terakhir Bung Karno ini.”
Sidarto Danusubroto adalah Ketua MPR, pengganti Taufiq Kiemas (TK) yang berpulang beberapa hari setelah peringatan Hari Pancasila di Kota Ende, Nusa Tenggara Timur, 1 Juni 2013.

Semula santer terdengar nama Sekjen PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo dan Wakil Ketua DPR (Pramono Anung Wibowo) yang bakal menempati posisi tersebut. Ternyata, pilihan menempatkan Sidarto (Komisi I DPR) yang diputuskan Megawati Soekarnoputri sangat tepat. Terbukti, Sidarto sama sekali tanpa kendala meneruskan kepemimpinan yang telah digariskan Taufik Kiemas, terutama menyangkut kelanjutan gerakan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan (Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika).
Begitu juga relasi yang terbangun dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang dipertemukan secara berkala melalui forum konsultasi lembaga tinggi negara.

Presiden SBY respek betul terhadap mantan ajudan terakhir Bung Karno ini. Rasa hormat itu terbentuk karena rekam jejaknya sebagai aparatur negara (kepolisian) dan politikus nasionalis. Sebaliknya, Sidarto sebagai Ketua MPR tidak mudah tergerak disulut upaya-upaya kelompok kritis, yang mendorongnya melakukan evaluasi komprehensif atas kinerja pemerintah hingga isu pemakzulan.

Ia enggan diajak mendiskusikan kemungkinan itu dalam perspektif konstitusi kita saat ini. Itu karena kewenangan MPR bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara. Terutama, bukan karena menyangkut proses pemakzulan menjadi sulit, tetapi dari segi realitas politik dan preseden ketatanegaraan dinilainya pemakzulan sama sekali tidak ada positifnya.

Sidarto lebih mengedepankan rasa kebangsaan dengan mempertimbangkan keutuhan soliditas anak bangsa, daripada terjebak kalkulasi politik temporer berskala jangka pendek. Sikapnya yang dipayungi ideologi kebangsaan yang kental, tertangkap jelas saat beraudiensi dengan berbagai kelompok masyarakat yang menemuinya sebagai pemimpin MPR, juga saat menjadi narasumber dalam berbagai forum di penjuru Tanah Air.

Bahkan, ketika banyak pihak cenderung menilai negatif pemerintah saat SBY menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi terkait kasus korupsi yang melibatkan Akil Mochtar (Ketua MK), Sidarto justru memberikan apresiasi.

Menurutnya, tindakan yang diambil SBY harus dilihat dari perspektif upaya penyelamatan institusi MK, sedangkan polemik yang berkembang semata-mata lebih menyoal urusan otoritas-teknis, bukan substansi kenapa Perppu dikeluarkan.

Kesetaraan

Ideologi kebangsaan yang dipedomaninya menuntun Sidarto peduli dengan tiga hal yang butuh perhatian semua secara saksama dan bersungguh-sungguh; kemajemukan, kesetaraan, dan keadilan. Konsistensinya itulah yang membuat Ketua Umum PDI Perjuangan tidak memperkenankannya mengundurkan diri dari parlemen, dengan tidak lagi menjadi calon legislatif pada periode ketiga (2009).

Untuk pemilu legislatif (Pileg 2014), solusi yang dipilih Sidarto adalah maju untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) mewakili daerah pemilihan DI Yogyakarta (meski dilahirkan di Pandeglang, ia putra asli Yogyakarta). Ia menempuh pendidikan di SDN Pujokusuman, SMPN 1, dan SMAN 6, sebelum meneruskan pendidikan kepolisian di Jakarta.

Ketua Umum PDI Perjuangan mempertahankan kiprah Sidarto untuk diteladani bagi kader yang lebih muda. Selain karena ideologi kebangsaan beliau, juga karena kinerjanya yang baik dan penuh antusiasme.

Sebelum menjadi Ketua MPR, ketika bertugas di Komisi I DPR, Sidarto mendapat tugas signifikan sebagai Ketua Panja RUU Pengadilan HAM dan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). RUU Pengadilan akhirnya diundangkan menjadi UU Nomor 26 pada 2000. RUU KKR diundangkan menjadi UU Nomor 27 pada 2004.

UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR melalui Putusan Nomor 006/PUU/IV 2006 dicabut oleh MK. Tentu saja Pak Darto terperangah atas keputusan tersebut. Upaya konstitusional bangsa ini secara dewasa dan bermartabat untuk berdamai dengan masa lalu, seketika pupus.

Karena konsistensinya itu, sejak menggantikan TK, ruang kerjanya di lantai 9 gedung MPR Senayan, Jakarta, tidak pernah sepi didatangi rakyat yang terpinggirkan, menyoal realitas yang dihadapi dan menagih tanggung jawab negara. Bila disimpulkan, nyaris semuanya menyangkut isu kemajemukan, kesetaraan, dan keadilan.

Bagi Sidarto, tidak satu jiwa warga negara pun boleh kita halang-halangi pemenuhan hak-haknya, sekaligus menjaga agar nilai-nilai kemanusiaan tidak direduksi untuk dijadikan negosiasi politik. Ia selalu mengingatkan pesan Bung Karno, negara ini didirikan sebagai negara (oleh) semua untuk semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar