Jumat, 31 Januari 2014

Konspirasi Geng Berdasi

Konspirasi Geng Berdasi

Sunardi  ;   Doktor Ilmu Hukum PPS Unibraw, Lulusan Lemhannas,
Penulis buku ‘Supremasi Mafioso dan Kejahatan Terorisme’
MEDIA INDONESIA,  30 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
FAKTA memprihatinkan bahwa kita sudah demikian sering jadi objek konspirasi para pencoleng (geng) berdasi yang mengumbar keserakahan melalui jaringan kejahatan terorganisasi mereka. Uang negara sudah tak terhitung banyaknya mengalir ke kantong-kantong atau pundi-pundi segelintir atau kelompok (geng) orang yang bernafsu menjadi orang kaya baru (OKB), orang kaya berkelanjutan dan berkeabadian (OKBB), atau orang kaya mendadak (OKM).

Dari pintu Nazaruddin, mulai Angelina, Andi Mallarangeng, hingga Anas Urbaningrum sudah terseret. Dari Akil Mochtar, ada banyak pihak yang harus memenuhi panggilan KPK (seperti Gubernur Jatim), dan dari Tubagus (suami Airin), mungkin banyak anggota dewan yang diperiksa KPK. Meski ada banyak pihak yang berkedudukan sebagai terperiksa, akan tetapi mereka tetaplah geng berdasi yang piawai dalam menjalankan konspirasi. Teoriteori hukum tidak cukup ampuh untuk mendekonstruksinya.

Dalam ranah itu, teori hukum seperti pisau tajam, tapi tumpul saat digunakan mengasah dan membelah. Teori hukum seolah mampu menembus batas kelas sosial, ekonomi, politik, dan edukasi, saat diduga ada di antara pelaku ‘berkelas’ itu yang menjadi pencoleng elite. Sayangnya, elite kriminal itu masih lebih sering menjadi pemenangnya. Komunitas pencoleng elite ini tetap saja lebih lihai dan ‘kreatif’ dalam menumpulkan kesakralan teori hukum.

Teori keadilan Aristoteles dalam bukunya, Nicomachean ethics, dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya, A Theory of Justice , menegaskan bahwa keadilan harus diagungkan, keadilan harus dinomorsatukan, dan keadilan harus di atas segala-galanya untuk selalu diperjuangkan oleh setiap manusia. Keadilan tak boleh dilecehkan dan direndahkan derajatnya oleh para pelanggar moral dan hukum.

Apa yang disampaikan Aristoteles dan John Rawl tersebut menunjukkan bahwa keadilan harus ditegakkan dalam keadaan apa pun dan kepada siapa pun. Keadilan tak mengenal kasta, tidak memihak status sosial, apalagi memenangkan yang berpangkat. Yang benarlah yang wajib dimenangkan atau yang sejalan dengan hukumlah yang harus ditegakkan.

Dalam realitas, memang tidak selalu yang benar yang menjadi pemenang atau dimenangkan oleh kinerja elemen peradilan. Praktik hukum tidak selalu mengabdi kepada kebenaran dan keadilan hukum. Tidak jarang kebenaran dan keadilan hukum dikalahkan oleh kepentingan elitis politik dan ekonomi. Kebenaran hukum, yang idealnya mengantarkan pada terwujudnya wajah cantik keadilan, tidak mudah berlabuh (membumi). Tidak sedikit duri yang menghambat dan ‘menjegal’ kebenaran hukum, dan sebaliknya sangat banyak kekuatan pencoleng elite atau penjahat di ranah kejahatan berdasi yang mampu mencabik-cabik konstruksi sistem hukum dan moral para penegaknya.

Salah satu modus operandi yang dijalankan pencoleng berdasi itu ialah menciptakan atmosfer politik yang mampu menghadirkan terjadinya dan menguatnya amnesia di tengah masyarakat Penyakit amnesia ini bukan hanya menyerang dan mengidap kuat di dalam ingatan kaum selebritas politik dan pejabat negara, serta elemen penegak hukum, tetapi juga menyerang ingatan orang kecil atau golongan akar rumput.

Di suatu saat, kita dibawa pada opini publik tentang kasus yang sedang menimpa seseorang, geng elitis, atau korporasi berpengaruh, tapi kasus-kasus ini tidak terlalu lama mendiami wacana karena adanya kasus baru yang lebih aktual, yang nilai jual publisitasnya lebih tinggi atau komoditas gosip politiknya dapat lebih cepat dan dahsyat dalam memengaruhi dan membelokkan orientasi publik.

Sudah berjumlah-jumlah pendosa atau pelaku kejahatan istimewa berkategori extraordinary crime seperti korupsi dan sadisme global semacam ‘penjagalan nyawa manusia’ Indonesia di negara lain, tapi ingatan kita yang semula terfokus ini serta-merta buyar akibat ‘dilindas’ oleh kehadiran kejahatan-kejahatan penyalahgunaan kekuasaan kontemporer dan konflik-konflik (kriminalisasi) politik baru yang didesain oleh rezim atau para pemain kekuasaan.

Oleh geng pencoleng berdasi itu, masyarakat negeri ini dibuat lebih bergairah dalam menyukai kasus yang bersifat sensasional dan news, meski kondisi ini potensial melemahkan atau mendistorsi daya nalar dan ingatnya. Akibatnya, kasus lama dianggap sekadar sebagai bagian dari ‘ujian’ dan ‘kerikil’ yang mesti ia alami dan tidak harus diingatnya terusmenerus, di samping dalih lainnya, bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya itu dimungkinkan bisa menimpa setiap orang, masyarakat, dan bangsa mana pun di muka bumi.

Masyarakat dikondisikan oleh paradigma politik hukum rekayasa secara sistemis dan eskalatif supaya gampang sekali melupakan suatu peristiwa besar atau tragedi di jagat yuridis. Pikiran kita diaduk-aduk dan dibentuk supaya mengidap amnesia akut terhadap segala bentuk praktik pencolengan berdasi yang sudah berhasil menjarah kekayaan negeri ini dengan modus penyalahalamatan dalam penggunaan dan pengleptokrasian yang ‘diserasikan’ dengan kepentingan serbapalsunya.
Keterjerumusan dalam keterjangkitan amnesia akut itu jelas suatu kekeliruan atau kesalahan besar bagi bangsa ini. Pasalnya, keterjangkitan ini membuat mentalitas masyarakat semakin rapuh.

Masyarakat akhirnya kehilangan sikap kritis dan melawan. Semangat masyarakat tereduksi untuk menjadi pejuang dan termarginalisasi guna mengamini setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan.

Politik penanganan kemiskinan bagi komunitas akar rumput, misalnya, menjadi terganjal atau sering gagal mengempirik akibat digagalkan oleh ‘militansi’ perilaku elitis yang mengidap ‘kemiskinan moral’, yang virus ini ibarat gayung bersambut: yakni bertemu dengan realitas sosial pasif yang sudah terjangkit amnesia.

Kadar amnesia paling akut jelas menimpa kalangan elemen negara, khususnya pilar-pilar penegakan hukum yang sudah menjadi instrumen dari sindikasi pencoleng berdasi. Manusia jenis ini bukan hanya piawai melupakan atau mengamnesiakan tanggung jawabnya terhadap kasus yang ditanganinya, semisal kasus-kasus besar. 

Tetapi juga secara eskalatif menciptakan dan menyuburkan akar kriminogen yang mengulturkan dan menstrukturisasi apa yang disebut AM Rahman (2011) sebagai ‘gempa sindikasi kekuasaan’ atau kolaborasi antarelite pencoleng di negeri ini.

Dalam lingkaran sindikasi pencoleng itu, dikondisikan adu argumen dan indikasi, yang mengklaim dirinya sudah menjalankan tugas sesuai dengan aturan main, tidak melakukan kesalahan, tidak memenuhi unsur tindak pidana, atau terdapat indikasi dan ditemukan bukti yang menunjukkan keterlibatan orang lain. Atau apa yang dikatakan pejuang kebenaran sebagai ketidakbenaran yang direkayasa dan dikomoditaskan untuk memengaruhi publik. Akibatnya, masyarakat tergiring dalam ranah kejenuhan, yang berakhir menikmati virus amnesia yang menjangkitinya.

Ketika sudah sampai pada ranah tersebut, kasus bertipe penyalahgunaan kekuasaan sebesar dan sespektakuler apa pun yang pernah atau sedang terjadi akhirnya hanya tinggal menjadi objek yang dikenang, atau setidaknya sebatas menjadi kasus sumir yang ditangani setengah hati hingga mati dengan sendirinya. Kasus hukum yang tergolong fundamental bisa dengan mudah dilupakan atau dikeluarkan dari ranah penegakan sistem peradilan atau jeratan hukum, bilamana elemen penegak hukumnya sudah dibuat mengidap penyakit gagap normatif dan diseret oleh bertumpuknya kasus lain yang ‘menindas’ dan mengebirinya terus-menerus.

Masyarakat yang idealitasnya diharapkan sebagai palang pintu pengawasan terhadap kinerja buruk peradilan yang sudah tergiring menjadi kelompok sosial yang secara gradualitas dan sistemis mengidap amnesia pun, tak ubahnya menjadi raga tak bernyawa. Mereka memang masih bisa mendengar dan melihat berbagai bentuk aksi geng pencoleng berdasi, tetapi mereka kehilangan gairah untuk menunjukkan sikap kritis dan membangun gerakan moralnya. Kalau masyarakat sudah demikian, jangan berharap banyak terjadi perubahan besar yang memanusiakan dan mencerahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar