Kamis, 30 Januari 2014

KTP dan Marginalisasi Hak WNI

KTP dan Marginalisasi Hak WNI

Ratu Selvi Agnesia  ;   Penulis lepas Seni dan Budaya,
Mahasiswa Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN,  29 Januari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
“Diskriminiasi di KTP nyata: kolom agama hanya untuk agama yang diakui negara.”

Tengoklah KTP kita dan tanyakan seberapa penting kartu tanda penduduk (KTP) untuk identitas warga negara Indonesia (WNI). Ternyata, di negara Indonesia tercinta, segala macam yang berurusan dengan kebutuhan surat-surat formal dan aktivitas informal di lingkungan tempat tinggal dan bermasyarakat, mewajibkan kehadiran KTP. Dari mulai membuat kartu keluarga, surat nikah, akta kelahiran, melamar kerja, perjalanan naik pesawat dan kereta, hingga upacara kematian dan identitas jenazah. Intinya, fungsi KTP sebagai formalitas justru sangat krusial dari lahir hingga wafatnya seorang WNI.

Di sinilah penting untuk kita selidiki ulang, makna secarik kertas berukuran 53,98 mm x 85,60 mm untuk KTP elektronik (e-KTP) sebagai KTP bentuk terbaru dengan masa berlaku lima tahun adalah bentuk kuasa hegemonisasi negara. Alih-alih sebagai sebagai formalitas syarat warga negara Indonesia, dalam praktiknya justru mendiskriminasi hak-hak kita sebagai “manusia Indonesia”.

Diskriminasi
Tidak dapat dimungkiri, pada realita di masyarakat KTP telah menjadi simbol yang memarginalkan bahkan menghilangkan sebagian hak-hak kita dalam persoalan “identitas” sebagai manusia Indonesia. Contohnya, ketika kunjungan saya ke Kalimantan Selatan pada 2013, saya berbincang dengan Ibu EYS dari suku Dayak Meratus tentang ritual agama Kaharingan. Di akhir perbincangan, justru dia mempertegas jati dirinya lewat KTP yang memperlihatkan tanda (-) pada kolom agama. Hal ini karena ia menganut agama leluhur Kaharingan. Kaharingan disebut sebagai aliran kepercayaan dan tidak termasuk enam agama besar yang diakui di Indonesia.

Tidak ingin bernasib seperti sang ibu, usai menikah, ketiga anaknya berpindah mengikuti agama pasangannya masing-masing. “Tinggal saya sendiri di keluarga saya, tetapi saya tidak mau mengikuti anak-anak. Kaharingan lebih penting dibanding KTP,” ujar ibu EYS. Saya ikut mengamini pendapatnya. Urusan agama seharusnya tidak lazim menjadi urusan kuasa negara, tetapi urusan diri pribadi dengan Tuhan dan kepercayaannya.

Peristiwa serupa juga dialami masyarakat Sunda Kanekes atau yang kita kenal dengan suku Badui yang menganut agama Sunda Wiwitan. Ketika setiap tahun diselenggarakan ritual Seba Badui, masyarakat Badui turun gunung untuk bersilaturahmi dengan masyarakat dan Pemerintah Provinsi Banten, menyerahkan hasil bumi. Dalam peristiwa ini, imbauan tentang ingin dicantumkan Sunda Wiwitan di KTP, selalu dilontarkan tetua adat, seperti Seba Badui pada 2012.

Bagaimana tanggapan pemerintah mengenai persoalan WNI yang menganut agama leluhur? Setelah rapat paripurna DPR (26/11/13), usulan WNI dibebaskan mencantumkan agama leluhur pada Pasal 64 Ayat (1) UU Administrasi Kependudukan, belum bisa terlaksana dan masih harus digodok di Kementerian Agama. Jadi, WNI masih harus memilih agama yang diakui negara. Di berbagai media, respons Menteri Agama Suryadharma Ali tidak mampu menjawab dengan tegas. Ungkapan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang menyatakan tidak akan adanya diskriminasi masih belum bisa dipercaya jika keputusan undang-undang ini belum terlaksana.

Efek domino KTP menyoal hak-hak warga negara yang dibatasi juga menyentuh politik dan profesi, tidak hanya persoalan agama. Selama masa Orde Baru, seperti pada cerpen “Ode untuk Sebuah KTP” Martin Aleida (2002), dikisahkan sebuah tanda “ET” atau eks tahanan politik tercantum di KTP bagi tahanan politik yang telah mengakhiri masa tahanan. Hal itu menjadi stigma bagi mereka yang sebagian besar hanya menjadi korban.

Mereka juga kehilangan hak-hak politik dalam pemilihan umum dan organisasi massa. Beruntung, sejak masa pemerintahan Abdurahman Wahid (Gusdur) yang mengusung pluralisme tanda ET lalu dihilangkan, tetapi stigma mungkin masih berlangsung hingga era Reformasi saat ini. Saya sangat setuju dengan ungkapan Wakil Gubernur Jakarta, Basuki Cahaya Purnama (Ahok), bila seharusnya koruptor yang jelas-jelas mengisap uang rakyat juga layak diberi tanda “EK” atau eks koruptor.

Demikian juga dalam pengakuan profesi WNI harus disesuaikan dengan yang tercantum di data lembaga. Jadi, profesi seniman, penyair, peneliti, dan “profesi khusus” sulit atau bahkan tidak bisa dicantumkan. Selain itu, hak memiliki KTP seumur hidup bagi yang berusia di atas 60 tahun ternyata sulit diberlakukan dan masih harus mengulang lima tahun sekali.

Aneka persoalan hak-hak warga negara dalam KTP berefek domino di berbagai bidang. Kesalahan yang baru saja ditemukan dan ramai di media sosial sehingga mengejutkan siapa pun yang baru menyadari yaitu bila terdapat kesalahan peta di bagian muka kartu e-KTP. Kesalahn tersebut adalah Pulau Jawa menyatu dengan Madura, Bali, Lombok, hingga Nusa Tenggara Timur.

Sungguh hal sepele, tetapi tentu mengecewakan bagi ongkos Rp 5,6 triliun digelontorkan untuk pembuatannya, mulai dari wacana, sosialisasi, dan fungsi e-KTP yang tidak jelas selain hanya tertib administrasi. Tidak seperti negara-negara maju di Amerika Serikat dan Eropa, e-KTP merangkap untuk transaksi alat pembayaran. Lalu apa yang harus kita lakukan?

Selalu menjadi lagu lama, kita sebagai WNI hanya bisa menunggu tindak lanjut dari pemerintah dengan berbagai polemik KTP yang menggunung, mulai dari kesalahan peta hingga catatan khusus bila KTP sebagai identitas justru memarginalisasi hak-hak warga negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar