Kamis, 30 Januari 2014

Menjadi “Magister Segala Ilmu”

                                Guru di Daerah Terdepan

Menjadi “Magister Segala Ilmu”

Tri Marhaeni PA  ;   Guru Besar Antropologi,
Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Inovasi Pendidikan
Lembaga Pengembangan Pendidikan & Profesi LP3) Universitas Negeri Semarang
SUARA MERDEKA,  29 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
"Perjuangan peserta SM3T mestinya menginspirasi pendidik lain untuk menjadi pengabdi sesungguhnya"

”KAMI bangga mengikuti SM3T. Terima kasih SM3T...” Kalimat itu diucapkan oleh peserta program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) sambil tersenyum cerah. Ini adalah program pengabdian sarjana pendidikan untuk berpartisipasi dalam percepatan pembangunan pendidikan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal selama satu tahun sebagai penyiapan pendidik profesional yang akan dilanjutkan dengan program Pendidikan Profesi Guru (PPG).

Luar biasa, para sarjana pendidikan muda usia ini mengucapkan terima kasih dengan tulus dan berbinar, karena mereka bisa mengikuti program SM3T. Apa jawaban mereka ketika ditanya mengapa berterima kasih? Bukankah itu tugas berat: di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal? Tak jarang bertambah dengan ”terdampar, telantar, dan tak terdengar”? Dengan wajah sumringah mereka menjawab, ”Andai tidak ikut SM3T, saya tidak akan pernah melihat betapa kaya dan suburnya wilayah Indonesia ini, juga begitu indah pulau-pulau yang ada di negeri ini”

Universitas Negeri Semarang sebagai lembaga yang menghasilkan pendidik, menyelenggarakan program pemerintah ini sejak 2011. Animo pesertanya cukup besar. Penyelenggaraan, pengawasan, monitoring, dan evaluasi di bawah Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Profesi (LP3). Lembaga inilah yang secara operasional bertanggung jawab atas terselenggaranya program SM3T.

Peserta SM3T bertugas melaksanakan pembelajaran pada satuan pendidikan sesuai dengan bidang keahlian atau tuntutan kondisi setempat. Mendorong kegiatan inovasi pembelajaran di sekolah,melakukan kegiatan ekstrakurikuler, membantu tugas-tugas yang terkait dengan manajemen pendidikan di sekolah, serta tugas sosial dan pemberdayaan masyarakat untuk mendukung program pembangunan pendidikan dan kebudayaan di daerah 3T.

Betapa berat beban para ”pejuang sunyi” itu. Dengan kondisi yang jauh dari nyaman, mereka harus melaksanakan tugas yang sedemikian banyak dan berat. Tak jarang mereka juga harus jadi ”dokter” untuk masyarakat setempat. Mereka ”harus bisa segalanya”: menjadi tempat bertanya karena dianggap mengetahui segalanya. Maka saya menjuluki mereka itu ”MSi” alias ”Magister Segala Ilmu”.

Antusiasme Pengabdian

Program SM3T sangat terasa manfaatnya. Dan, yang paling membanggakan, banyak sarjana pendidikan yang masih muda dengan antusias mengikuti. Jangan bertanya tentang bagaimana implementasi Kurikulum 2013. Listrik saja tidak ada di wilayah kerja mereka. Jangan ditanya kedisiplinan jam belajar siswa. Mereka masih menyusuri sungai menembus hutan di keremangan pagi ketika matahari masih malu-malu menyemburatkan merahnya.

Geliat sekolah baru dimulai pukul 08.00. Jangan bertanya tentang kegiatan ekstrakurikuler. Sebagian mereka yang kesekolah masih tak bersepatu, terkadang hanya memakai sandal. Jangan berpikir tentang drum band, baris berbaris, dan sejenisnya. Upacara bendera saja tidak terpikirkan.

Pemerintah setempat yang ditempati para sarjana pengabdi ini merasa bangga dan berterima kasih. Di tengah kebingungan dan keputusasaan tentang kekurangan guru di daerah terpencil, kedatangan guru-guru muda di program SM3T itu menjadi energi luar biasa bagi masyarakat setempat.

Tak jarang peserta SM3T harus berjibaku ”menaklukkan hati” agar kerasan di tempat yang berbeda adat, budaya, kebiasaan, bahkan keyakinan dan kepercayaannya. Belum lagi kondisi yang tidak berlistrik dan bersinyal telepon. Segala peralatan canggih yang dibawa dari Semarang seolah-olah tak berguna.

Bagaimana mau men-charge laptop? Listrik tidak ada. Bagaimana mau berkomunikasi? Sinyal pun tak ada. ”Dulu saya lari-lari ke atas bukit atau ke tanah lapang untuk mendapatkan sinyal HP, tetapi sia-sia. Dua minggu pertama itu selalu saya lakukan, dengan perasaan sedih dan jengkel, tetapi akhirnya sekarang tidak lagi. Saya bisa menerima kondisi itu,” tutur Eva yang bertugas di SDN 20 Perbuak, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

Maka saya sangat senang ketika Unnes juga mencanangkan program Professor Goes to School. Idealnya program ini bisa terus berlangsung, meskipun tak bisa serentak semua sekolah kami kunjungi, karena jumlah guru besar di Unnes tak berimbang dengan jumlah sekolah. Akan tetapi kami berjanji akan terus berbagai pengalaman ke sekolah-sekolah, meskipun nantinya tak ada lagi program ini. Secara pribadi sudah saya lakukan jauh sebelum ada program Professor Goes to School, meskipun baru untuk SD tempat saya belajar dulu.

Perjuangan peserta SM3T mestinya menginspirasi pendidik-pendidik lain untuk menjadi pengabdi yang sesungguhnya di lingkungan mana pun mereka berada. Selamat bertugas, para pengabdi. Terima dengan biasa, tetapi sikapilah dengan luar biasa...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar