Jumat, 31 Januari 2014

Pembelajaran Politik ala Forum Rektor

            Pembelajaran Politik ala Forum Rektor

Nurkholis Mistari  ;   Sekretaris Badan Public Relations & Creativity
Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
SUARA MERDEKA,  30 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
KEPEMIMPINAN Prof Laode M Kamaluddin sebagai Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) 2013 resmi berakhir pada 30 Januari 2014. Rektor Unissula itu selanjutnya menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Ketua FRI 2014 Prof Ravik Karsidi, yang juga Rektor UNS Surakarta.

Merunut apa yang telah dilakukan Prof Laode selama setahun masa bakti pada forum itu, publik patut memberikan perhatian, khususnya upaya meningkatkan kesadaran berdemokrasi menjelang Pemilu 2014. Dia bahkan menggandeng Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Dalam periode kepemimpinannya, ia juga aktif membawa anggota FRI bersafari dengan menggelar pertemuan regional rektor di berbagai wilayah di Indonesia.
Pertemuan regional Jawa digelar di UNS (10/5/13), Maluku dan Papua di Unipa (1/6/13), Sulawesi dan Gorontalo di Unhas (8/6/13), Bali, NTT dan NTB di Unud (22/6/13), Kalimantan di Unmul (1/7/13), Sumatera di UMSU Medan (6/7/13), Jateng di Undip (28/9/13), Jatim di Unibraw (23/11/13), DKI Jakarta di Usakti (30/11/13), Jabar dan Banten di Unpad (21/12/13), dan Sumsel di Unsri (7/1/14).

Forum rektor juga menghadirkan pimpinan parpol/capres dalam temu regional tersebut, supaya menyampaikan konsep, program kerja, serta visi dan misi andai kelak terpilih menjadi presiden 2014.

Mereka adalah Endriartono Sutarto, Anies Baswedan, Marzuki Ali, Irman Gusman, Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, Mahfud MD, Jenderal (Purn) Djoko Santoso, Anis Matta, Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo, Surya Paloh,Yusril Ihza Mahendra, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, dan Dahlan Iskan.

Pemikiran untuk mengundang pimpinan parpol/calon presiden ke kampus pada awalnya dianggap ''tabu'', bahkan ''menggelisahkan'' anggota forum rektor. Pasalnya, mendasarkan pada logika kritis, ikhitiar itu sama artinya dengan membuka kesempatan bagi politik untuk memasuki kampus, atau lebih jauh lagi menjadikan kampus sebagai arena gratis kampanye mereka.

Anggapan miring itu bisa dimaklumi mengingat persepsi publik terhadap partai politik saat ini berada di titik nadir setelah keterungkapan berbagai skandal korupsi dan moral yang melibatkan sejumlah tokoh penting partai, baik di pusat maupun di daerah.
Karena itu, pada awalnya pemikiran untuk mengundang para capres ke kampus untuk menyampaikan gagasannya dianggap mencederai netralitas kampus dari agenda politik. Bahkan ada kekhawatiran apa yang dilakukan FRI akan menuai protes dan boikot dari aktivis kampus. Realitasnya, yang terjadi di lapangan sangat berbeda.

Capres dari berbagai partai menyampaikan gagasannya di depan mahasiswa, dosen, dan para pakar di kampus tanpa ada penolakan. Visi, misi, dan konsep kepemimpinan para capres kemudian diuji dan dikritisi oleh para akademisi pada pertemuan anggota forum itu.

Tentu tidak mudah bagi seorang capres meyakinkan konsep kepemimpinannya dianggap berkualitas dan ia layak memimpin Indonesia ke depan jika ia diuji di hadapan akademisi kampus. Bahkan tidak jarang capres dinilai tidak menguasai program ketika diajak beradu argumen dengan para pakar dan guru besar.

Tidak sedikit pula capres mendapat apresiasi dari kampus karena memiliki konsep jelas dan progresif untuk memimpin bangsa ke depan. Inilah pelajaran penting mengingat publik kerap lupa bahwa dalam pemilihan capres, kita perlu melihat konsep dan program para kandidat. Apakah konsep mereka teruji, realistis, dan apakah program mereka bisa menjelaskan akan membawa ke mana Indonesia, minimal selama lima tahun ke depan.

Antisipasi Golput

Dalam praktik, popularitas dan elektabilitas seorang capres kadang bisa mengalahkan segalanya sehingga masyarakat yang telah mempunyai hak pilih seperti terjebak dalam situasi ìmembeli kucing dalam karungî. Kekhawatiran semacam itu yang kemudian menjadi salah satu pembelajaran politik yang ingin ditekankan oleh FRI dalam proses pendewasaan berdemokrasi, khususnya menjelang Pemilu 2014.

Politik masuk kampus yang diinisiasi FRI juga dapat dinilai tepat, terutama untuk mengantisipasi makin rendahnya partisipasi dalam pemilu. Bukan rahasia lagi bahwa kaum intelektual kampus merupakan salah satu penyumbang angka golput dalam berbagai pelaksanaan pemilu.

Mengundang tokoh partai dan capres ke kampus untuk menguji konsep dan program mereka justru dapat menyadarkan pemilih muda, terutama mahasiswa, untuk tidak menggeneralisasi bahwa semuanya buruk. Pasalnya, mereka bisa melihat dan mendengar sendiri ternyata masih ada alternatif pemimpin yang memiliki konsep jelas yang layak mendapat kepercayaan dipilih dalam pemilu.

Kebertumbuhan kesadaran dari kalangan kampus dapat mengurangi risiko tinggi angka golput dalam Pemilu 2014. Bukankah sangat berisiko bagi masa depan bangsa ini andai kaum muda, terlebih yang memiliki cukup basis intelektual, tidak lagi mau mengambil bagian dalam penentuan nasib bangsa ini, termasuk melalui pemilu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar