Kamis, 30 Januari 2014

Pengesahan RAPBD DKI Terlambat

              Pengesahan RAPBD DKI Terlambat

Abraham Fanggidae  ;   Widyaiswara Utama Pusdiklat Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Jakarta
KORAN JAKARTA,  29 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Akhirnya, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi DKI dengan nilai total 72 triliun rupiah disahkan pada 22 Januari. APBD naik 21, 9 triliun dari 50, 1 triliun rupiah, menurut APBD Perubahan Tahun Anggaran 2013. 

Sebelum pengesahan, Gubernur Jokowi sempat ditegur Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, yang mengingatkan keterlambatan pengesahan anggaran melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58/2005. APBD harusnya disahkan sebulan sebelum tahun anggaran baru berjalan. 

Pembahasan sebagai pekerjaan rutin setiap tahun sehingga keterlambatan RAPBD Tahun Anggaran 2013 dan 2014 menjadi pertanyaan besar. Harusnya pembahasan RAPBD selesai tepat waktu. Muncul berbagai interpretasi tentang keterlambatan pengesahan, di antaranya DPRD sengaja memosisikan menjadi "batu sandungan" pemprov.

Ada kecenderungan lembaga tidak mau tunduk pada pimpinan lain, walau melawan peraturan formal, bahkan mengganggu kepentingan masyarakat luas. 
Wakil rakyat sadar, dana APBD untuk membangun Jakarta. Dasar pemikiran ini harusnya memberi motivasi besar untuk bekerja keras mengejar tenggat. 

Semestinya anggota DPRD DKI tidak berleha-leha sehingga tenggat terlewati. 
Wakil rakyat tahu, pengesahan APBD lewat Januari disanksi pembayaran dana alokasi umum (DAU) Februari ditunda. Jika molor dan dikenakan sanksi seperti itu, yang rugi juga warga yang harus menikmati DAU.

Bagi Pemprov DKI, APBD untuk membenahi banyak bidang krusial yang urgen seperti penanggulangan banjir, pendidikan, kesehatan. Pemprov tidak bisa berbelanja pembangunan infrastruktur, membeli obat-obatan, memajukan pendidikan secara cepat, tanpa dana APBD. 

Sikap wakil rakyat DKI ini aneh. Jika SKPD Provinsi DKI berkinerja rendah, wakil rakyat mengeluh. Jalan-jalan di Jakarta macet dan lubang di mana, mereka protes. Banjir melanda dan menderitakan warga, mereka menuduh bahkan memojokkan pemprov. Seharusnya, wakil rakyat introspeksi, mulai dari berkinerja baik dan tepat waktu ketika membahas RAPBD. 

Eksekutif dan legislatif harus memiliki semangat sama karena eksistensi kedua lembaga juga sama: melayani warga dan membangun daerah. 

Hanya, kadang rekayasa politis irasional dewan berakibat buruk bagi semua pihak. Dewan jangan menjegal gubernur/bupati/wali kota. Mereka harus mendukung. Wakil rakyat memperjuangkan kepentingan konstituen serta rakyat pada umumnya melalui kewenangan mereka, antara lain pembahasan RAPBD. 
Dewan sering menggunakan akrobatik "politicking" yang murahan. Kemandekan kinerja hanya menambah citra buruk dan kehilangan simpati. Bahkan, mereka dicap sebagai "politisi busuk". Mereka tak akan dipilih lagi.

Korupsi Anggaran

Dewan harus menjauhkan diri dari upaya menjegal kebijakan Pemprov DKI yang dipimpin Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama, juga kalau partai politiknya "berseberangan". Jangan sampai ada kesan berupaya memisahkan diri dari eksekutif. Ini kesalahan prinsipial karena pemerintah daerah adalah gubernur dan DPRD.

Dari matematik politis, keterwakilan dewan di DPRD DKI dari Fraksi PDI-P dan Gerinda sebagai pendukung Joko Widodo-Basuk Tjahaja Purnama lebih sedikit dibanding koalisi. Kondisi demikian bisa saja dimanfaatkan koalisi untuk menekan dan bahkan menjegal eksekutif. 

Ketika gubernur dan wakil gubernur (Jokowi-Ahok) dilantik sebagai pejabat negara, mereka bukan lagi mewakili parpol. Mereka juga bekerja tidak bagi warga parpolnya. Gubernur dan wagub DKI yang bekerja untuk seluruh warga Jakarta. Keduanya telah legitim memenangkan suara dalam pilkada.

Jika DPRD berinisiatif menjegal eksekutif, yang kolaps bukan dewan, tapi warga DKI. Seluruh rakyat Indonesia akan terimbas akibat bahasan atau proses RAPBD Provinsi DKI alot. Ini konsekuensi Jakarta sebagai Ibu Kota negara. 
Banjir di Jakarta bisa membuat konstelasi sosial politis dan ekonomi secara nasional terganggu. Contoh, pendatang enggan ke Jakarta. Sebaliknya, warga Jakarta pun malas bepergian ke luar daerah untuk berbagai bisnis. 

Menurut data operator penerbangan, selama Jakarta banjir, penumpang pesawat melalui bandara Halim Perdanakusuma menurun 10 persen. Infrastruktur di Jakarta terkait pencegahan banjir perlu memperoleh perhatian pemprov DKI. Ini tidak bisa jalan bila belum ada anggaran. 

Dalam Permendagri nomor 27/2013, terdapat butir penting sebagai esensi penyusunan APBD Tahun Anggaran 2014. Isinya, APBD harus disinkronkan dengan kebijakan pemerintah pusat. Wawasan birokrat (eksekutif), wakil rakyat (legislatif) harus luas. Mereka harus berwawasan kepentingan nasional. Pengesahan APBD tidak semata merespons kepentingan daerah, tapi mendukung kepentingan nasional. 

Konkretnya, APBD Provinsi DKI disetel agar sinkron dengan kebijakan pemerintah. APBD Kabupaten Raja Ampat juga disinkronkan dengan kebijakan pemerintah Provinsi Papua Barat, dan Pemerintah Pusat. 

APBD tiap daerah harus mencerminkan dukungan pencapaian target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,8 persen–7,2 persen tahun 2014. Maka, keterlambatan pengesahan APBD DKI jelas memengaruhi kebijakan pemerintah. Contoh, target pertumbuhan ekonomi nasional terganggu.

Hal krusial lain, APBD DKI yang disahkan jangan jadi bancakan. Jangan diselewengkan untuk kepentingan parpol, golongan, kantong pribadi eksekutif maupun legislatif. Stigma korupsi anggaran dalam jajaran Provinsi DKI harus dieliminasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar