Rabu, 29 Januari 2014

Ubah Fokus Pendidikan

                         Ubah Fokus Pendidikan      

JC Tukiman Taruna  ;   Pemerhati Pendidikan
KOMPAS,  29 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
SEKURANG-kurangnya tiga alasan mengapa fokus pendidikan kita harus ”balik kanan” 180 derajat. Akan tetapi, kita harus menunggu pergantian rezim, mengingat penguasa saat ini ingin zona nyaman dan programnya tidak diganggu gugat.

Analisis ini dapat  dipandang tak etis, tetapi mungkin saja justru sangat etis. Bertens (2000) menegaskan bahwa untuk menentukan sesuatu etis atau tidak etis, orang harus mempertimbangkan tiga tolok ukur moral: hati nurani, kaidah emas, dan audit sosial. Perihal hati nurani, jelas bahwa setiap orang menggunakannya bergantung pada tingkat ketajaman masing-masing.

Dalam tolok ukur kaidah emas disebutlah kata mutiara ini: hendaklah memperlakukan orang lain seperti anda sendiri ingin diperlakukan. Di sini berlaku ungkapan Jawa tepa salira, tenggang rasa: jika Anda tak ingin sakit hati, janganlah menyakiti hati pihak lain.

Sementara itu, tolok ukur audit sosial menyebutkan bahwa di- minta atau tidak, hendaklah siapa pun (terutama penguasa)  menyadari bahwa pihak lain (sebutlah masyarakat) pasti sudah dengan sendirinya memberikan penilaian terhadap program penguasa. Tulisan ini berpijak pada tolok ukur audit sosial itu.

Budget

Semua pihak tahu bahwa budget untuk fungsi pendidikan tertinggi dibandingkan budget fungsi mana pun. Tolok ukur audit sosial serta-merta dan wajar akan mengatakan (bahkan menuntut), ”Dengan alokasi anggaran terbesar di fungsi pendidikan, apa hasil besar yang telah dan dapat dirasakan masyarakat?”

Pada 2013, budget fungsi pendidikan Rp 345,3 triliun. Bahkan, pada 2014 ada kenaikan sekitar 7,5 persen, yaitu Rp 371,2 triliun. Pada 2013, alokasi budget untuk Kemdikbud Rp 51,130 triliun (15 persen dari anggaran seluruh fungsi pendidikan). Untuk 2014, anggaran Kemdikbud Rp 82,7 triliun (22 persen dari budget fungsi pendidikan). Fakta lapangan pada 2013 salah satunya menyebut- kan bahwa ternyata di tingkat pendidikan dasar sekitar 480.000 anak  (dari 42 juta) drop out ketika mereka berada di kelas II dan III SD (Kompas, 31/12/2013).

Fakta lainnya, angka partisipasi murni (APM) SMP/sederajat 16,95 persen lebih rendah daripada APM SD/sederajat di tahun yang sama. Artinya, wajib belajar sembilan tahun tercapai tidak lebih dari 80 persen dan itu menunjukkan betapa masih ada persoalan penting menyangkut penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.

Belum tuntasnya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun ditinjau dari sisi anggaran memang beralasan sekali karena pada 2013 ternyata alokasi anggar- an untuk pendidikan dasar hanya 23 persen, untuk pendidikan menengah 22 persen, dan sisanya (55 persen) dialokasikan untuk pendidikan tinggi. Inilah ”balik kanan” pertama yang harus terjadi di tahun-tahun mendatang, yaitu alokasi anggaran untuk pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah harus jauh lebih besar daripada alokasi untuk pendidikan tinggi.

Balik kanan 180 derajat ini tak cukup hanya pada alokasi anggarannya, tetapi juga para pejabat di Kemdikbud karena dalam lima tahun terakhir ini mereka didominasi unsur perguruan tinggi.

Paradigma ”wong cilik”

Tidak tuntas di wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun (anak usia 7-15 tahun) 
agaknya menjadikan ”ketakutan” tertentu dalam diri Kemdikbud dan akhirnya tidak berani mencanangkan wajib belajar 12 tahun. Lalu dirumuskanlah Pendidikan Menengah Universal (PMU) dan mulai 2014 konon PMU sangat diutamakan agar kelak pada 2020 sebanyak 97 persen anak usia 16-18 tahun mendapat pendidikan menengah (Kompas,19/8/2013).

Konsep PMU tidak sangat tegas, kecuali hanya menekankan bahwa PMU adalah bentuk investasi yang mengantarkan generasi sekarang menjadi generasi masa depan yang kompeten dan produktif. Maka, PMU perlu dilandasi tiga kriteria: nondiskrimi- natif, afirmatif, dan kualitas (Bambang Indriyanto dalam majalah pendidikan Merah Putih, Edisi 58, Desember 2013). Ketidaktegasan ini sebaiknya menjadi momentum ”balik kanan” kedua bagi penguasa ke depan yang konon selalu mengumandangkan jargon demi kesejahteraan wong cilik.

Intinya, setelah balik kanan pertama, maka pada balik kanan kedua ini harus berani ditetapkan dan ditegaskan pentingnya wajib belajar 12 tahun. Pemaknaan tentang wong cilik jangan terbatas pada aspek dan hitungan ekonomi yang mengarah kepada mereka yang miskin, tetapi juga harus fokus kepada wong cilik dalam arti anak usia 0-18 tahun dalam segala aspek kebutuhannya, terutama pendidikan.

Dunia pendidikan dewasa ini sudah sangat kapitalistis. Contoh sangat jelas adalah kegiatan studi banding ke luar negeri yang dilakukan, baik siswa, kepala sekolah, maupun guru (termasuk di perguruan tinggi). Studi banding ke luar negeri sebenarnya hanya pergi pesiar, wisata, dan belanja, tetapi dibungkus studi banding tanpa pernah mempertimbangkan sebanding atau tidak.

Paulo Freire pernah menegaskan dalam Sekolah, Kapitalisme Yang Licik (ed M Escobar, 1998), tindakan pendidikan adalah tindakan politik yang sangat memengaruhi cara pandang setiap orang dalam mengkritik sistem kehidupan dan pendidikan yang sangat diwarnai corak kapitalisme. Sayangnya, sekolah justru menanamkan cara pandang dan sistem kapitalisme itu.

Sekolah selalu gagal menanamkan dan menghadirkan realitas sosial yang harusnya digumuli sekolah (siswa dan guru) karena proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dalam membaca realitas sosial secara kritis dan cerdas. Mengambil contoh yang saat ini sedang terjadi terkait bencana alam, apakah Kemdikbud punya terobosan agar sekolah mengajarkan realitas sehari-hari tentang banjir, tanah longsor, gempa? Tidak.

Karena itu, diperlukan ”balik kanan” ketiga. Penguasa ke depan hendaknya benar-benar menyadari bahwa pendidikan harus berhasil menanamkan bela rasa kepada wong cilik dalam arti golongan miskin menderita, maka sekolah harus dijauhkan dari pola pikir kapitalistis. Alokasi dana fungsi pendidikan 65 persen terserap untuk gaji dan berbagai tunjangan guru (dan dosen). Karena itu, penguasa ke depan harus berhasil menuntut guru benar-benar mencurahkan seluruh perhatiannya kepada tertanamnya bela rasa kepada wong cilik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar