Rabu, 26 Februari 2014

Duhai, Raksasa Gemulai

Duhai, Raksasa Gemulai

Bisma Yadhi Putra  ;   Fasilitator Sekolah Demokrasi Aceh Utara;
Koordinator Butuh Irigasi
OKEZONENEWS,  25 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
SEDIKIT hal yang mungkin tidak bersedia kita terima adalah kenyataan bahwa rakyat seperti kerumunan pin tanpa daya ketika menghadapi hantaman bola boling (negara dan pasar). Menariknya rakyat masih mengaku “perkasa”, meski hanya dengan ungkapan hiperbolis: rakyat berdaulat. Kasihan.

Maka berhubung enggan menerima asumsi di atas telah menjadi pandangan bersama, tentu kita, sebagai rakyat, merasa nyaman untuk mengabaikan kelemahan dan kekalahan diri dalam pertarungan “aktor segitiga” (pasar-rakyat-negara). Terkadang orang-orang malas memikirkan kepelikan dirinya, sehingga tak mau ambil pusing. Biarlah nasib berjalan sebagaimana adanya. Dan jujur saja, kita seperti itu.

Akhir-akhir ini, rakyat kehilangan kekagetannya ketika dibeberkan bukti-bukti korupsi elite. Dari seorang koruptor disita 40 mobil mewah. Hebat. Tetapi rakyat enteng saja menyikapinya. Rakyat sudah terbiasa, sebagaimana mereka terbiasa ditundukkan oleh pasar dan negara sambil tetap meyakini dirinya berdaulat. Di sini negara merujuk pada elite. Rakyat mulai pesimis dengan masa depan. Kesukaran menyerbu ingin diabaikan saja. Inilah yang seharusnya kita akui saja.

Omong kosong kedaulatan rakyat

Berhadapan dengan pasar, ketidakberdayaan rakyat begitu gamblang. Pasarlah yang paling berdaulat. Kita terlena sebagai “masyarakat pemakan”. Jika negara memerlukan aparatusnya (militer, pegawai negeri) sebagai alat paksa untuk mempertahankan statusnya sebagai penguasa ketaatan warganya (misalnya keharusan bayar pajak, wajib militer, atau memerintahkan anak-anak lugu untuk menyambut presiden tercela di pinggir jalan), pasar sama sekali tak membutuhkan itu.

Pasar bisa membuat kita membuka pakaian tanpa memaksa, lalu menggantinya dengan yang terbaru. Kitalah yang memaksa diri sendiri. Rakyat adalah aparatus pasar. Apa saja yang menarik mata, kita merasa bersalah kalau tak memilikinya. Kalaupun masih ada kedaulatan yang tersisa, bukanlah kedaulatan menghadang penetrasi pasar, melainkan kedaulatan memilih apa saja yang ditawarkan. Sejujurnya, karena menjadi mesin pemakan, maka kita adalah pasar. Rakyat adalah pasar itu sendiri.

Omong kosong selanjutnya adalah posisi kita di hadapan elite sebagai pengendali negara. Di sini benar-benar lucu: kurcaci bisa mengempaskan raksasa dengan gampang. Raksasa bukan pihak yang berdaulat. Pada tingkat bahasa saja, kita diperlakukan sebagai bukan apa-apa. Rakyat adalah entitas “yang secara akademik kita jorokkan dalam istilah akar rumput” (Dahana, 2014). Rakyat bukan hanya rumput, tetapi akarnya: bagian terbawah dari yang terbawah.

Elite-elite parpol menggunakan “akar rumput” untuk menyebut konstituennya, pihak yang jumlah dan pengaruhnya vital bagi mereka. Cukup melecehkan. Namun kita tak menyadarinya atau mungkin malas ambil pusing. Kan sekadar istilah, hanya merendahkan lewat bahasa. Istilah tidak sampai membunuh atau bikin lapar. Hem!

Pada contoh lain adalah soal kekeliruan raksasa yang ternyata mengemis pada kurcaci. “Kami berharap ada bantuan pemerintah,” kata seorang petani tebu yang jadi korban erupsi Gunung Kelud (Tempo.com, 17/2). Ini cuma satu contoh untuk mewakili begitu banyak contoh lain. Bagi saya, ungkapan “bantuan pemerintah kepada rakyat” itu keliru. Yang sebenarnya membantu adalah rakyat: menyumbang uang kepada negara untuk kemudian diberikan kepada elite dalam bentuk tunjangan; membantu pemerintah membeli perlengkapan kantor; membantu pejabat supaya  punya biaya perjalanan dinas. Celakanya, tidak ada garansi bahwa rakyat akan mendapat layanan atau perlindungan yang memadai setelah mereka membayar kepada negara.

Bersangkutan dengan politik, dapat dilihat bagaimana rakyat tak kuasa pula menghadapi tarikan para elite. Jika elite bilang “bunuh”, rakyat pun membunuh sesamanya. Jika diperintahkan “mampuskan”, maka seorang sipil memampuskan sipil lainnya. Jika diimbau agar mendukung mantan—yang berpotensi juga akan kembali menjadi—pembunuh, sipil mendukung sepenuh hati. Raksasa itu digiring.

Padahal elite berjumlah lebih sedikit. Tidak perlu malu mengakui bahwa rakyat yang postur kuantitatifnya ratusan kali lebih besar ternyata, mohon maaf, sejujurnya lembek. Bukan lawan seimbang elite. Lalu di manakah kedaulatan itu? Di mulut. Terutama Anda akan banyak mendengar celotehan tentang kedaulatan rakyat dari mulut para (calon) elite sebelum pemilu.

Dalam hal ini rakyat tak sepenuhnya salah. Namun sistem, demokrasi namanya, patut pula disalahkan. Dia terbukti lebih banyak memuaskan elite. Rakyat mungkin tidak antisistem, tetapi sistemlah yang bisa dibuat antirakyat. Demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang longgar: seperti celana dalam yang sebenarnya tak muat, tetapi dipakai secara paksa dengan ikatan akar tanaman (kultur lokal).

Ada yang lebih menyedihkan. Ternyata kaum intelektual kebanyakan, yang katanya “rakyat pemikir”, terutama ilmuwan politik, tidak berdaya mencari sistem lain di luar demokrasi. Katakanlah bukan untuk menggantikannya, tetapi sekadar melakukan riset dan eksperimen politik untuk mencari sistem ideal yang benar-benar mendaulatkan intelektual itu sendiri. Kita butuh sistem politik lain, sebuah sistem yang walaupun secara terang-terangan tidak hendak menempatkan rakyat sebagai raksasa penuh kedaulatan, tetapi punya potensi menutup celah terpilihnya elite-elite busuk dan lemah seperti di Indonesia saat ini.

Menghadapi diri

Mungkin negara dan pasar adalah lawan yang terlampau tangguh. Baiklah. Mari kita tinggalkan dan cari lawan lain. Bagaimana kalau kita melawan diri sendiri saja? Mungkin bisa menang.

Sayangnya tidak juga. Rakyat juga kalah telak ketika menghadapi perilaku destruktif dirinya sendiri. Ambillah contoh terdekat, yakni menumpah-numpahkan sampah sembarangan sebagai kebiasaan purba orang-orang kota dan desa di negara ini.

Di sini, elite yang jumlahnya jauh lebih kecil itu tak bisa disalahkan sebagai penyumbang sampah terbesar. Kalaupun elite harus disalahkan, itu lebih kepada kegagalan mereka dalam menggunakan politik untuk menghadirkan kebijakan penanganan sampah yang efektif. Rakyatlah “penderma sampah” yang konsisten, hingga membukit dan memampatkan aliran air got. Got yang kecil saja tidak mampu ditangani oleh raksasa.

Ada begitu banyak ekspresi hidup manusia. Semua ekspresi menghasilkan limbah. Tetapi saluran ideal untuk menyalurkan dan membuang aneka wujud limbah ekspresi kerja manusia itu hanya satu, yakni got. Karena ketidakmampuan itu, maka raksasa kemudian dibuat menderita oleh got, meski bukan dalam jangka waktu seketika (Dahana, 2007).

Bahkan limbah sendiri pun tak mampu ditangani. Rakyat harusnya berdaulat atas lingkungan hidupnya yang bersih sebagai haknya sendiri. Kegagalan mengendalikan diri dan got tersebut pun membawa bermacam dampak: makan tak selera, pernapasan terganggu, banjir, dan ditambah implikasi-implikasi lanjutannya. Yang merusak manusia adalah manusia sendiri, dengan bermacam ulahnya. Got yang macet adalah pertanda macetnya otak rakyat dan elite. Tidak perlu malu mengakuinya.

Saya bukan hanya pesimis pada elite, tetapi juga pada rakyat. Dan bukan racauan-racauan para motivator yang dibutuhkan, tetapi—selain sistem politik baru yang dikhayalkan tadi— perilaku dan kesadaran diri yang baru. Percuma punya sistem politik baru jika perilaku negatif masih dipertahankan.

Sekarang coba renungkan sendiri contoh lain untuk membuktikan bahwa kita memang kalah telak saat menghadapi diri sendiri. Kenali diri sendiri dulu, baru kemudian bersitegang dengan pasar dan elite. Sudah cukup kita menjadi raksasa gemulai. Mari sudahi ini semua. Duhai, raksasa, tegaplah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar