Jumat, 28 Februari 2014

Gelombang Kelima dan Bandara Kita

Gelombang Kelima dan Bandara Kita

Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan
KORAN SINDO,  27 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Setiap kali pulang bepergian dari luar negeri, seperti ke Eropa atau Amerika Serikat, saya—dan mungkin juga Anda—kerap mengalami jetlag.

Maaf, jetlag yang saya maksud kali ini bukan sekadar gangguan tidur akibat harus beradaptasi dengan perbedaan zona waktu, tetapi lebih dari itu. Ini semacam gegar kondisi atau satu-dua level di bawah gegar budaya. Misalnya, saat berada di luar negeri mungkin kita terbawa pada kebiasaan setempat untuk antre dengan tertib, tetapi begitu tiba di Tanah Air tibatiba kita mesti salip-salipan atau serobot-serobotan dengan rasa waswas.

Atau, kalau kita terbiasa dengan layanan bus kota yang tepat waktu, di sini tiba-tiba semuanya menjadi serba-tak pasti. Salah satu hal yang juga saya rasakan sebagai jetlag adalah kondisi bandara. Di luar negeri, bandaranya begitu bersih, lapang, teratur, dan nyaman. Itu sebabnya begitu masuk ke bandara, stres yang kita rasakan selama perjalanan menuju bandara langsung menguap. Suasana di bandara-bandara luar negeri terasa begitu teduh. Makan minum selama di bandara juga terasa enak dan menyenangkan. Lalu, toiletnya kering, bersih, dan harum.

Kondisi yang sebaliknya kita rasakan ketika berada di Tanah Air. Bandara-bandara kita begitu padat, koridornya sempit, dan maaf, masih banyak bandara kita yang terkesan kumuh dan kurang terawat. Semakin ke timur Indonesia, kita bisa dengan mudah menemukan puntung-puntung rokok (dan bahkan kantong sampah pinang) di berbagai sudut bandara. Kalau tidak sangat terpaksa, saya juga enggan pergi ke toiletnya. Lalu, kalau tidak sangat lapar, saya juga enggan makan minum di bandara.

Bukan hanya ragu akan kebersihan dan kualitas rasanya, tetapi juga karena harganya membuat saya merasa diperas. Kalau hanya 10–20% lebih mahal ketimbang harga di luar bandara, saya masih bisa mengerti. Tak jarang selisih harganya bisa 100–200% lebih tinggi dengan rasa seadanya. Potret-potret kecil tadi sekadar ilustrasi betapa dalam hal pengelolaan bandara, kita masih tertinggal dibandingkan dengan bandara-bandara lain di dunia.

Mungkin itu pula sebabnya pada tahun 2013, bandarabandara internasional milik kita, termasuk Bandara Soekarno-Hatta sekalipun, belum ada yang berhasil masuk dalam peringkat 100 besar bandara terbaik di dunia versi Skytrax. Oya, Skytrax adalah lembaga independen asal London yang setiap tahun melakukan survei dan memeringkat maskapai-maskapai penerbangan dan bandara-bandara di dunia.

Gelombang Kelima

Sebagian Anda, saya yakin, masih ingat dengan istilah World 1.0, 2.0, atau 3.0 yang pernah saya ulas dari buku Pankaj Ghemamat. Di dunia transportasi pun kita mengenal gelombang perkembangan peradaban. Pakar transportasi dan bandar udara John D Kasarda membaginya dalam lima gelombang peradaban. Gelombang pertamaterjadi pada abad ke-17 seiring dengan adanya pelabuhan- pelabuhan laut. Lalu, gelombang kedua terjadi ketika masyarakat mulai memanfaatkan sungai dan kanal-kanal sebagai jalur transportasi.

Ini terjadi pada abad ke-18. Gelombang ketiga, perkembangan transportasi terjadi pada abad ke-19 seiring dengan mulai dibangunnya rel-rel kereta api. Kemudian, gelombang keempat terjadi dengan adanya pembangunan jalan-jalan tol pada abad ke-20. Bagaimana dengan gelombang kelima? Ini adalah era transportasi udara. Era ini dipicu oleh semakin banyaknya pergerakan manusia maupun barang yang menggunakan layanan angkutan udara. Saya akan kutip saja beberapa proyeksi dari International Air Transport Association (IATA).

Selama tahun 2012 hingga 2032, jumlah penumpang angkutan udara komersial dunia diperkirakan tumbuh dari 5,4 miliar menjadi hampir 14 miliar atau setara dengan 40 juta penumpang per hari. Masih menurut IATA, pertumbuhan jumlah penumpang terbesar akan terjadi di Asia. Hal serupa terjadi pada layanan angkutan barang yang volumenya diperkirakan bertumbuh hingga tiga kali lipat. Menurut perkiraan Kasarda, akan lebih banyak lagi barang-barang seperti ikan tuna, bunga, obat-obatan, komponen penerbangan, serta gadget dan produk-produk berteknologi tinggi yang diangkut dengan menggunakan pesawat.

Bahkan kelak sepertiga dari nilai total perdagangan dunia bakal memanfaatkan jasa angkutan udara. Lagi-lagi IATA memperkirakan, pertumbuhan tertinggi angkutan barang tersebut bakal terjadi di kawasan Asia. Nah, di antara negara-negara Asia itu, tahukah Anda di mana saja terjadi pertumbuhan paling tinggi? Anda benar, selain China, pertumbuhan besar itu ada di sini, di Indonesia, yang membuat Garuda Indonesia habis-habisan mengeksploitasi pasar domestik dengan pesawat ATR.

Gubernur Kaltim Awang Farouk pun bersurat kepada Garuda agar tujuh bandara di daerah terpencilnya pun dapat didarati pesawat-pesawat baru itu. Garuda pun menyambutnya. Untuk mengimbangi pertumbuhan angkutan manusia danbarang, maskapai-maskapai penerbangan pun terus menambah jumlah pesawatnya. Selama tahun 2012 hingga 2032, IATA meramalkan, jumlah pesawat di seluruh dunia akan bertambah dari 20.310 unit menjadi 41.240.

Bandara Faktor Kunci

Apa yang bisa kita simpulkan dari beberapa perkiraan tersebut? Buat saya, bandara bakal menjadi faktor kunci dari gelombang kelima peradaban transportasi, yang terjadi pada abad ke-21. Sebab, ke mana lagi tujuan dari pesawat-pesawat tadi kalau bukan ke bandara? Tentu saja konsepnya bukanlah bandara di masa lalu yang membuat semuanya berpusat di Jakarta. Bayangkan kalau semua pesawat harus bertemu di Jakarta untuk transit, apa jadinya Cengkareng?

Untuk terbang dari Kalimantan Barat ke Kalsel misalnya, semua harus via Jakarta dulu. Lantas selama ini, semua warga Cirebon, Bandung, dan Tasik pun harus terbang dari Cengkareng, padahal mereka punya Bandara Husein Sastranegara di Bandung. Ini tentu menambah beban bagi bandara di Cengkareng serta jalan-jalan darat yang datang dan pergi dari dan ke bandara tersebut.

Jadi, untuk melayani jumlah penumpang yang bakal mencapai 14 miliar tadi, kita jelas membutuhkan bandara yang lebih banyak, lebih luas, lebih mudah diakses, dan lebih cepat prosesnya. Saya sengaja tidak menyebut lebih bersih dan lebih nyaman karena itu sudah menjadi standar minimal yang tidak bisa dikompromikan lagi. Lalu, jika semakin banyak barang mudah rusak (seperti ikan tuna, bunga, dan obat-obatan) yang bakal diangkut dengan layanan angkutan udara, para pengelola bandara tentu mesti menyiapkan dukungan logistik yang prima.

Akses ke bandara mesti lancar dan gudang-gudang berpendingin mesti tersedia di kawasan dekat bandara. Barang-barang berteknologi tinggi juga membutuhkan dukungan pergudangan yang memadai. Jadi, bandara, akses dan fasilitas yang tersedia di sekitarnya adalah faktor kunci. Jika suatu bandara mampu menampung lebih banyak pesawat—terutama yang berbadan besar–– serta mampu membangun sistem untuk membuat arus manusia dan barang di bandara dan sekitarnya menjadi lebih lancar, tentu akan lebih banyak peluang dari gelombang kelima peradaban transportasi yang berhasil ditangkap dan baik bagi perekonomian Indonesia.

Fenomena inilah yang mencuatkan anggapan kemajuan perekonomian dari suatu negara akan sangat ditentukan oleh perkembangan bandaranya. Menurut saya, anggapan tersebut sama sekali tidak berlebihan. Rasanya kita juga mesti bergerak lebih cepat lagi ke arah sana, yakni dengan membenahi bandara-bandara kita.

Setelah Kualanamu (Medan), menyusul Bandara Sepinggan (Balikpapan), lalu juga bandara-bandara di bandar-bandar ekonomi di seluruh Indonesia. Bandung pun kini mulai padat dengan kunjungan wisatawan dari Malaysia yang berbelanja di factory-factory outlet kita. Demikian juga di Sumatera Barat. Butuh kecepatan dan kesungguhan untuk menyambut gelombang kelima ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar