Rabu, 26 Februari 2014

“Ibu” yang Merawat NKRI

“Ibu” yang Merawat NKRI

Supriadi Rustad  ;   Pengelola Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
SUARA MERDEKA,  25 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
ADA yang perlu saya tambahkan pada dua tulisan Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti, "Sekolah di Atas Awan" dan "Magister Segala Ilmu", yang dimuat berseri di harian ini (28-29/2/14). Sama sekali bukan untuk mengoreksi artikel yang berfokus pada kisah pengabdian Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T), terutama di pelosok Kabupaten Landak Kalimantan Barat itu, melainkan mengimbuhkannya dalam perspektif lain.

Di tengah ancaman kemeningkatan segregasi sosial politik, terutama di daerah yang tergolong sensitif, secercah sinar Indonesia baru justru terpancar dari berbagai pelosok negeri. Di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T), para sarjana mendidik telah menunjukkan cara merawat negara kesatuan yang amat besar lagi plural ini.

SM3T adalah program pengabdian sarjana mendidik di daerah 3T selama setahun. Tak hanya mengajar di sekolah, ribuan sarjana pendidikan itu berusaha meleburkan diri untuk menjadi bagian dari kehidupan sosial tempat mereka tinggal. Setahun mengabdi, setelah itu mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang merupakan bagian dari program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia (MBMI) Kemdikbud.

Pertimbangan ”putra daerah”dengan segenap medan makna yang terbangun di dalamnya, yang sering dijadikan variabel penentu dalam pemilihan ataupun pengangkatan aparatur namun sesungguhnya potensial membuat bangsa ini jalan mundur dalam konteks persatuan dan kesatuan, justru tidak menemukan relevansinya dalam program ini. Pasalnya, spirit yang kemudian terbangun, baik pada diri sarjana mendidik yang mengabdi, siswa, guru, maupun masyarakat, adalah spirit dalam satu dekapan NKRI.

Ketika kali pertama kami luncurkan pada 2011, program SM3T pernah diragukan diminati sarjana baru. Kenyataannya, jumlah pelamar membeludak hingga di atas 10.000 dari kuota 3.000, hingga 2.400 peserta dinyatakan layak. Kini, setelah memasuki tahun ketiga, mereka usai sudah mengikuti tahap penggemblengan karakter di asrama dan PPG di berbagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Yang kemudian tidak terduga, 78% peserta mengajukan diri kembali bertugas di daerah 3T setelah kelak menamatkan PPG. Benar-benar telah terjadi pergeseran cara pandang anak muda terhadap makna Indonesia.

”Awalnya saya mengikuti program ini karena tertarik mendapatkan pekerjaan sekaligus insentif bulanan. Namun setelah sebulan berjalan, saya merasa harus menjadi bagian dari upaya mencerdaskan anak-anak di wilayah tertinggal,” ungkap Sandra Novita, peserta SM3T asal Unnes yang bertugas di Ruteng NTT.

Kedatangan peserta SM3T bak curah hujan saat kemarau panjang. Anak-anak yang sebelumnya enggan bersekolah, dengan kehadiran para sarjana mendidik itu merasakan sentuhan kasih sayang dari guru muda yang disebutnya sebagai bapak ibu guru yang ”baik dan tara pakai kekerasan”. Tak mengherankan jika kemudian muncul kekhawatiran sebagaimana diungkapkan Andrianus Usior, siswa SMP 3 Oridek Biak Numfor Papua, ”Tidak bisakah masa kontrak mereka diperpanjang? Ibu Kartini yang mengajar kami, kalau bisa jangan pulang, tetaplah di sini.”

Karena itu, pernyataan sebagaimana diungkapkan oleh Bupati Biak Numfor, Bupati Alor, dan beberapa kepala daerah lainnya untuk bersedia menerima para SM3T menjadi guru tetap di daerah masing-masing setelah mereka menamatkan pendidikan, adalah nutrisi yang makin menyehatkan bangunan NKRI.

Tidak hanya di tingkat elite perasaan semacam itu muncul. Seorang peserta SM3T di Pulau Numfor, Biak Numfor, Papua menuturkan pengalamannya setelah sebulan berada di wilayah pengabdian. ”Tahu kalau kami jauh-jauh datang dan sungguh-sungguh mengajar, mereka bilang, kalau bapak guru sama ibu guru tak diangkat di sini, kami siap angkat parang.”

Kisah Rinon

Nukilan kisah lain yang tak kalah menggetarkan datang dari ujung barat republik ini. Desa itu lebih barat dari Sabang, termasuk kawasan di Pulau Breueh yang selama 24 jam penuh tanpa aliran listrik. Namanya Desa Rinon, termasuk wilayah Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Konon, berasal dari kata RI non yang bisa berarti bukan RI, namun ada pula yang menyebutkan berasal dari kata RI nol. Maksudnya di sanalah letak titik nol RI.

Enam presiden silih berganti di negeri ini, namun belum pernah anak-anak sekolah di sana mengibarkan Merah Putih dengan iringan lagu ”Indonesia Raya”dalam sebuah upacara. Hingga kemudian, para sarjana mendidik itu datang melakukannya bersama guru dan murid SD. Kini, Sang Saka senantiasa dikibarkan di depan gedung sekolah dan anak-anak riang sekali menyanyikan ”Indonesia Raya”pada setiap kesempatan. Para leluhur telah mengajarkan bahwa negara itu secara idiomatik sebagai Ibu Pertiwi, bukan Bapak Pertiwi. Negara yang dicita-citakan oleh nenek moyang (bukan kakek moyang) adalah negara yang memiliki spirit keibuan sekaligus watak kodrati asah, asih, dan asuh.

Negara ini sudah tentu harus dirawat oleh institusi berwatak ibu yang rela jatuh bangun demi keberlangsungan generasi mendatang yang lebih baik. Berbagai persoalan pengelolaan pendidikan  saat ini justru makin meneguhkan sektor ini sedang bekerja keras menjalankan tugas utamanya sebagai Ibu Pertiwi untuk negara besar nan kompleks ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar