Rabu, 26 Februari 2014

Jasa Tak Terhimpun, Dosa Tak Berampun

Jasa Tak Terhimpun, Dosa Tak Berampun

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Psikolog Universitas Indonesia
dan Universitas Pancasila
KOMPAS,  26 Februari 2014

                                                                                         
                                                                                                                       
PADA 3 Februari 2009, demonstran dari kelompok pemekaran Provinsi Tapanuli berhasil menyerbu masuk gedung DPRD Provinsi Sumatera Utara. Terjadi kericuhan di dalam ruang sidang yang berakibat Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara Abdul Azis Angkat tewas.

Ketika itu polisi disalahkan karena tidak mampu mengendalikan massa.

Di sisi lain, pada 24 Desember 2011 polisi bertindak tegas membubarkan massa yang memblokade Pelabuhan Sape di Bima, Nusa Tenggara Barat. Namun, mereka juga disalahkan karena ada dua korban di pihak massa. Padahal, dengan dibebaskannya Pelabuhan Sape masyarakat bisa merayakan Natal di tempat masing-masing. Kapolda dan kapolres dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab. Mereka diminta mundur.

Banyak contoh lain yang bisa dideretkan di sini. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru di DPR  tidak ada yang membela polisi. Padahal, kewenangan penyelidikan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akan ditiadakan. Mana mungkin polisi bekerja tanpa kewenangan penyelidikan? Apalagi dalam hal RUU Ketahanan Nasional tahun lalu dan yang paling mutakhir RUU Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Polri benar-benar harus berjuang sendirian.

Nasib polisi

Itulah nasib polisi. Jasa tak terhimpun, dosa tak berampun. Setiap anggota kepolisian tahu itu. Namun, apa mau dikata?  Faktanya, Aiptu Labora Sitorus yang bukan jenderal saja bisa menumpuk duit berkontainer-kontainer, apalagi yang jenderal.

Dan untuk menjadi jenderal di Polri, konon, tidak susah. Lika-liku di dalam manajemen SDM Polri bisa dimanfaatkan oleh setiap  anggota Polri yang mau memanfaatkannya.

Banyak sekali hal di dalam Polri yang dianggap masyarakat di luar sebagai bisa dipermainkan. Itulah sebabnya masyarakat tidak percaya kepada Polri, apalagi mendukungnya.

Sebagian masyarakat bahkan bukan lagi hanya curiga kepada Polri, melainkan sudah menganggapnya sebagai musuh. Penembakan dan pembunuhan terhadap anggota Polri yang sedang berdinas dan di luar dinas, yang jumlahnya makin meningkat pada 2013, merupakan bukti bahwa Polri adalah public enemy bagi sebagian masyarakat.

Pemikiran seperti ini tentu saja sangat keliru. Tanpa Densus 88, misalnya, mungkin kita tidak bisa tidur nyenyak sejak Bom Bali I karena setiap hari ada bom meledak, seperti yang terjadi di Irak dan Afganistan.

Orang Jakarta sudah bisa menikmati layanan traffic management center (TMC) yang disiapkan oleh Polda Metro Jaya melalui televisi dan Twitter untuk menghindari kemacetan lalu lintas. Polisi bersama TNI (bukan IPW, Kompolnas, atau Komnas HAM) selalu yang paling dulu hadir membantu masyarakat di saat bencana. Beberapa penelitian yang pernah saya lakukan tentang tanggapan masyarakat terhadap Polri (2012 dan 2013) membuktikan bahwa bagaimanapun juga masyarakat membutuhkan polisi.

Momentum

Akan tetapi, memang betul sudah saatnya Polri mengadakan koreksi ke dalam. Reformasi Birokrasi Polri (RBP) dan Rencana Strategis (Renstra) Polri  yang sudah disusun dan mulai diterapkan sejak masa Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo perlu diikuti dengan tindakan-tindakan nyata dari Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman terhadap jajaran Polri yang terbukti masih berperilaku menyimpang.

Momentumnya sekarang sedang pas karena masyarakat masih penuh harap terhadap Kapolri Sutarman yang dianggap sebagai perwira tinggi Polri yang bersih dan hampir tidak punya catatan cela dalam kariernya.

Demikian juga dengan Wakil Kapolri  Komjen Oegroseno yang, meski sudah masuk usia pensiun pada 19 Februari 2014, masih tetap dipertahankan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tanpa mengurangi penghargaan kepada Polri sendiri, jika kapolri dan wakapolri bisa menunjukkan kinerja yang konkret seperti Jokowi-Ahok (keruk kali yang mampet, relokasi pedagang kaki lima, menambah bus transjakarta, pecat pejabat yang ”brengsek”), dengan sendirinya publik akan mendukung Polri.

Divisi Hubungan Masyarakat (Humas) Polri bisa duduk manis saja karena media massa dan media sosial otomatis akan menjadi humas Polri, seperti media massa dan media sosial sekarang juga selalu mendukung setiap langkah Gubernur dan Wagub DKI meski banjir dan macet masih tetap terjadi di Jakarta.

Yang kita perlukan dari Polri sekarang adalah KKN: kemauan kerja nyata!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar