Kamis, 27 Februari 2014

Menanti Kepemimpinan Din

Menanti Kepemimpinan Din

Mohammad Bisri  ;   Mantan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah GP Ansor
Provinsi Jawa Tengah
SUARA MERDEKA,  26 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
RAPAT harian Pengurus MUI Pusat pada Selasa (18/2) menetapkan Prof Dr Din Syamsuddin sebagai ketua umum menggantikan Dr KH Sahal Mahfudh yang wafat pada 24 Januari 2014. Din, yang sebelumnya wakil ketua umum, akan menjabat hingga 2015. Adapun kursi yang ditinggalkan diserahkan kepada KH Ma’ruf Amin. 

Din diharapkan mampu membawa MUI menjadi lebih baik. Keberadaan MUI di tengah umat Islam kini menampakkan potret buram karena kurang bisa mewadahi aspirasi dan kepentingan umat Islam. Beberapa persoalan justru diadukan ke Komnas HAM, Komnas Penyiaran Indonesia, Komnas Perlindungan Anak Indonesia, Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan sebagainya. Lembaga komnas tersebut dinilai objektif dan diperhitungkan.

Karena itu jika kehadiran MUI dianggap masih diperlukan, diharapkan mampu menjadi artikulator aspirasi masyarakat sekaligus memperjuangkannya di tingkat elite, untuk merealisasikan kebutuhan dan menyelesaikan masalah umat. Pembentukan MUI pada 26 Juli 1975 antara lain dimaksudkan sebagai lembaga keagamaan yang bisa meneruskan tugas rasul al ulama warosatul ambiya, mengajak masyarakat untuk beramal makruf nahi mungkar. Ulama seyogianya memiliki kepekaan untuk mendorong masyarakat berbuat baik dan mencegah dari hal-hal yang merendahkan nilai-nilai kehidupan.

Selebritis Politik

Konsekuensinya, MUI harus berani menunjukkan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Karena itu, jika masyarakat atau umat, termasuk pemerintah, menyimpang dari rel etika dan moral, MUI perlu mengingatkan. Prof Dr Ahmad Syafii Maarif berpendapat, saat ini kemungkaran politik berjalan begitu saja tanpa hambatan berarti. Rakyat begitu mudah kehilangan harapan dalam menatap masa depan kehidupan.

Bagaimana mungkin harapan mereka dapat hadir, sementara moral para elite bangsa yang seharusnya menjadi tempat bersandar, begitu rapuh. Tak jauh berbeda ketika rakyat mendengar berita politik dengan menonton infotainment selebritis, karena ternyata isi berita politik itu hanya pergulatan kepentingan para selebritis politik. Intrik-intrik politik di lingkaran kekuasaan saat ini bukan lagi hal baru (Agama dan Politik Moral, 2013).

Posisi MUI saat ini memang sulit, lembaga itu dibentuk dan dibiayai oleh pemerintah, tetapi kiprahnya sebagai ahli waris rasul ditunggu-tunggu umat. Meminjam kata-kata Buya HAMKA, ketua umum pertama, MUI bagaikan kue bika yang sedang dimasak dalam periuk belanga. Api dinyalakan dari bawah, sebagai ibarat berbagai ragam aspirasi keluhan umat. Api pun mengimpit dari atas, sebagai ibarat kepentingan pemerintah. Berat ke atas, niscaya putus dari bawah. Putus dari bawah berarti berhenti sebagai ulama yang didukung umat.

Berat kepada umat, kehilangan hubungan dengan pemerintah karena dianggap tidak berhasil, tidak loyal kepada kekuasaan, atau antikemapanan. Ujungujungnya, subsidi dana bisa dihentikan. Sejarah MUI dipenuhi tarik-menarik antara kepentingan pemerintah dan suara nurani ulama. Sejak awal langkah sarat dengan perjuangan ulama untuk melindungi umat dari berbagai kesulitan, sekaligus mendukung berbagai program pemerintah yang makin berbobot, rasional dan pragmatis. Melihat hal itu, yang dapat dilakukan MUI adalah berupaya lebih menjaga jarak dengan kekuasaan serta kepentingan politik, ekonomi, dan budaya yang bersifat sesaat artifisial. Kita membutuhkan political will pemerintah, agar MUI relatif terbebas dari tarikan kepentingan politik, sosial, dan ekonomi. Hal itu supaya kemandirian, independensi dan kedewasaan dalam kerangka hubungan yang konstruktif, dinamis dan kritis dengan pemerintah atau negara bisa terwujud.

Dalam situasi demikian, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bisakah negara benar-benar independen dan tidak bernafsu mencampuri urusan MUI dengan umatnya. Dengan ungkapan yang agak ekstrem, hal itu bisa diungkapkan dengan kata ”posisi MUI di luar negara”. Maksud dari ungkapan itu adalah bagaimana antara MUI dan negara berdiri pada wilayah masing-masing dan tidak ada intervensi satu sama lain. Bukan MUI yang menafikan kehidupan bernegara dan bukan negara yang menjadi polisinya MUI. Kalau terjadi saling keterpengaruhan antara MUI dan negara, hal itu hanya terjadi pada tingkat moralitas seperti pengelolaan negara yang didasarkan pada moral universal keagamaan.

Memang tidak sepenuhnya bijak jika gerakan moralitas itu kemudian melakukan pemutusan hubungan secara mutlak dengan negara. Jika harus mengambil pilihan moderatif, sebaiknya MUI tetap berpolitik. Namun itu cukup menjadi jalan sekunder, dan yang utama adalah peran sosial keagamaan. Selain untuk menjaga netralitas, yang terpenting adalah posisi mereka sebagai pelayanan umat tidak terlupakan. 

Kebutuhan umat biasanya hadir pada saat-saat genting, yakni ketika umat mulai tidak percaya kepada penguasa. Umat akan mencari kepemimpinan alternatif yang sekiranya netral dan tidak memiliki keberpihakan kepada parpol mana pun. Jika yang dicari itu tidak ada, mereka merasa kehilangan tanpa perlindungan. Hal itu bisa berakibat pada rasa tidak percaya terhadap situasi dan nasib bangsa sendiri.

Padahal, kepercayaan merupakan social capital yang niscaya adanya. MUI seharusnya bisa menghadirkan kepemimpinan alternatif itu yang berada di luar kekuasaan. Umat yang frustrasi dan tidak percaya terhadap negara, memiliki kecenderungan mencari tempat perlindungan baru yang bisa memperbaiki kondisi hidup. Kaum marginal seperti pedagang kaki lima, anak jalanan, tenaga kerja wanita, buruh, tani dan nelayan bila ditindih oleh kebijakan negara yang tidak memihak, pasti membutuhkan advokasi. Peran ini hanya bisa dilakukan dengan baik oleh MUI, bila bebas dari kepentingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar