Selasa, 25 Februari 2014

Menghindari Gugatan Medis

Menghindari Gugatan Medis

Sri Murniatiningsih  ;   Ketua Komite Etik dan Hukum RSUD Kabupaten Kebumen
SUARA MERDEKA,  24 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
KEMENINGKATAN tingkat pendidikan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat, serta kecanggihan teknologi komunikasi, berkorelasi dengan kemeningkatan kesadaran masyarakat akan hak atas pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan mereka peroleh melalui penyelenggaraan upaya kesehatan, dengan inti praktik kedokteran.

Kepesatan perkembangan ilmu kedokteran dan kemajuan peralatan medis menimbulkan harapan dokter pasti berhasil menyembuhkan/ mengobati. Ketika terjadi ketidakberhasilan maka pasien dan keluarga kecewa. Mereka tidak tahu atau tak mau tahu apakah cedera, cacat, atau kematian itu terjadi karena penyakit yang memburuk, efek samping obat, risiko tindakan operasi, keterbatasan fasilitas, kecelakaan medis; atau memang karena kelalaian dan malapraktik.

Ketidakpuasan pasien/keluarga melahirkan konflik yang berkembang jadi sengketa medis yang dapat berlanjut menjadi gugatan di pengadilan. Dasar yuridis hak gugat atas pelayanan kesehatan secara lex specialis diatur dalam Pasal 66 UU Praktik Kedokteran (UU Nomor 29 Tahun 2004), Pasal 58 UU Kesehatan (UU Nomor 36 Tahun 2009), Pasal 32 Huruf r dan Pasal 46 UU Rumah Sakit (UU Nomor 44 Tahun 2009).

Dalam melaksanakan pelayanan medis, dokter harus memenuhi berbagai persyaratan, yang semua itu bertujuan melindungi dokter dan pasien. Sekalipun peraturan praktik kedokteran makin lengkap, sorotan masyarakat terhadap profesi dokter masih sering terjadi. Mengapa profesi dokter masih saja disorot, masih digugat ke pengadilan, sementara UU yang mengatur profesi dokter makin lengkap?

Salah satu penyebabnya adalah dari aspek kultur, khususnya budaya dokter dan juga masyarakat tentang kurangnya pemahaman atas apa yang disebut transaksi terapeutik. Dokter pun acap kurang menyadari bahwa ketika ia menerima pasien, sebenarnya telah terjadi transaksi, perjanjian, persetujuan. Dunia medis biasa menyebut kontrak terapeutik, yang memunculkan hubungan hukum (perikatan) antara dokter dan pasien, yang kemudian melahirkan hak dan kewajiban.

Pasien mempunyai hak dan kewajiban, demikian juga dokter. Menurut ketentuan hukum,  hubungan itu berlaku sebagai undang-undang yang harus ditaati. Bila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, pihak yang dirugikan dapat menuntut atau menggugat pihak lain. Transaksi terapeutik pada dasarnya perjanjian antara dokter dan pasien untuk melakukan ’’pekerjaan’’.

Bentuk prestasi yang menjadi kewajiban dokter (dan menjadi hak pasien) adalah upaya medis yang layak dan benar berdasarkan teori kedokteran yang telah teruji kebenarannya. Sementara bentuk kontraprestasi yang menjadi kewajiban pasien (dan menjadi hak dokter/rumah sakit) adalah uang atau apa saja yang bersifat materi, dengan jumlah layak, sesuai kesepakatan atau kebiasaan yang berlaku.

Menurut Bahder Johan Nasution, dalam hukum perikatan dikenal dua macam perjanjian. Pertama; inspanning verbintenis, yaitu perjanjian upaya, artinya kedua pihak berjanji atau sepakat berdaya upaya secara maksimal mewujudkan apa yang  diperjanjikan. Kedua; resultaat verbintenis, yaitu perjanjian yang akan menghasilkan resultaat atau hasil yang nyata seperti diperjanjikan.

Sebagai Upaya

Transaksi terapeutik termasuk inspanning verbintenis atau perjanjian upaya, karena dokter tak mungkin menjanjikan kesembuhan kepada pasien. Dokter melakukan pelayanan kesehatan sebagai upaya menyembuhkan pasien. Upaya ini harus dilakukan dengan penuh kesungguhan, mengerahkan seluruh kemampuan berpedoman pada standar profesi.

Bila seluruh upaya yang dilakukan dokter atas persetujuan pasien sudah dilaksanakan sesuai standar profesi, standar pelayanan medis, dan standar prosedur operasional namun hasilnya tak seperti yang diinginkan, kita tidak bisa mengatakan dokter telah melakukan wanprestasi.

Hal ini berbeda dari resultaat verbintenis, di mana pihak yang berjanji akan memberikan resultaat, yaitu perjanjian yang akan menghasilkan sesuai dengan apa yang dijanjikan. Contoh adalah ketika rumah sakit menjanjikan ruang rawat inap kelas utama dengan fasilitas tempat tidur pasien, tempat tidur penunggu pasien, kamar mandi dengan pemanas air, kulkas, dispenser, televisi 20 inci, dan telepon. Bila janji itu tidak ditepati karena kenyataannya tidak ada  kulkas misalnya maka rumah sakit telah melakukan wanprestasi, dan pasien mempunyai hak menggugat.

Transaksi terapetik dimulai saat pasien datang ke rumah sakit/tempat praktik dokter, dan bagian pendaftaran menerima pasien dan mencatatnya. Pada pasien yang mendaftar lewat telepon, sepanjang pihak rumah sakit/tempat praktik dokter menyatakan kesanggupannya melayani, saat itulah transaksi terapeutik dimulai. Sikap etis dan profesional dalam mengupayakan kesembuhan pasien akan dilihat dan dirasakan pasien dan keluarganya. Karena itu, andai upaya yang dilakukan dokter tak berhasil, mereka mau menerima dan tidak akan menggugat dokter/rumah sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar