Jumat, 28 Februari 2014

Menumpas Pemberantasan Korupsi

Menumpas Pemberantasan Korupsi

Bambang Widjojanto  ;   Komisioner KPK
KOMPAS,  28 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
BANGSA ini tampaknya tidak cukup serius melakukan pemberantasan korupsi. Indikasi atas kesimpulan itu sangat jelas. Revisi Kitab Hukum Pidana yang disampaikan Presiden kepada DPR pada 11 Desember 2012 telah mengabaikan dan bahkan mengingkari tuntutan rakyat yang menjadi dasar spiritualitas ditumbangkannya rezim koruptif dan nepotistik Orde Baru dan lahirnya rezim Reformasi.

Tuntutan rakyat itu dijustifikasi melalui Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 dan Ketetapan MPR Nomor VIII Tahun 2001 yang menegaskan, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, perlu dibentuk lembaga yang khusus menangani anti korupsi, pencucian uang, perlindungan saksi, dan pembuatan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Perubahan adalah keniscayaan sehingga revisi atas suatu perundangan adalah hal yang lazim, tetapi semua revisi itu terbuka untuk disikapi secara kritis dan dikaji oleh berbagai pihak, termasuk oleh KPK.

Tak jadi rujukan
Lihatlah naskah akademik yang menjadi dasar revisi KUHP itu, ternyata kedua TAP MPR di atas tidak dijadikan rujukan sama sekali. Begitupun berbagai perundangan materiil lain, antara lain UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian uang, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan perundangan yang mengatur lembaga tertentu seperti UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor serta perundangan lain tidak dikaji secara mendalam dan menjadi bagian penting dalam naskah akademik yang kemudian perlu diserap dalam revisi KUHP.

Yang perlu mendapat perhatian, naskah akademik seperti tersebut dalam publikasi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) 2012, menurut jawaban surat Menteri Hukum dan HAM, sudah disiapkan sejak 1982 dan karena itu rujukan referensinya sebagian besar buku-buku terbitan di bawah tahun 2000-an. Bahkan, ada buku terbitan lama sekali yang dijadikan rujukan, seperti Studies Comparative Criminal Law (1874), The Dilemma of Penal Reform (1939), dan Sentencing in Magistrate Court (1962). Apakah ini mungkin karena buku referensi tersebut tak tergantikan hingga masih tetap jadi rujukan? Bukankah ada cukup banyak referensi baru yang memperdebatkan topik seperti dalam buku di atas? Bersyukur ada buku yang agak baru yang dipakai sebagai rujukan, yaitu Tujuan dan Pedoman Pemidanaan (2009), meski tidak jelas sudah cetakan yang ke berapa.

Kita belum tahu apakah buku-buku mutakhir mengenai perkembangan modus operandi kejahatan tindak pidana korupsi dan pencucian uang serta perkembangan teori pidana dan pemidanaan yang menjadi referensi rujukannya juga digunakan sebagai dasar referensi naskah akademik. Belum lagi jika ditanyakan apakah pengalaman dan pengetahuan terbaik dari lembaga penegakan hukum di Indonesia dan internasional telah cukup digali, dikaji dan dipertimbangkan, serta diabstraksi jadi kerangka masukan dalam naskah akademik agar perumusan pasal-pasal revisi bisa kompatibel dan antisipatif atas perkembangan modus kejahatan yang kian canggih.

Pertanyaan dasar yang perlu diajukan, apakah benar revisi KUHP tidak mendekonstruksi dan mendelegitimasi sifat extraordinary dari kejahatan korupsi menjadi tindak pidana umum? Apakah benar UU Tipikor tetap menjadi UU yang tetap bersifat lex specialis sesuai revisi KUHP?

Kesimpulan dalam naskah akademik menyatakan secara tegas: ”… pembentukan hukum pidana di luar KUHP telah menyimpangi ketentuan umum hukum pidana… dalam kenyataannya membentuk hukum pidana sendiri di luar KUHP… mengakibatkan terjadi problem hukum pidana pada level normatif dan praktik penegakan hukum pidana. Keadaan… diperparah dengan dibentuknya lembaga/institusi baru yang bersifat independen yang diberi wewenang untuk melakukan penegakan hukum dan pembentukan pengadilan baru…”. Kesimpulan itu menegaskan: ”…kebijakan kodifikasi menjadi pilihan yang tepat dan meniadakan hukum pidana khusus yang dimuat dalam undang-undang di luar kodifikasi…”.

Jadi, sudah disimpulkan bahwa pembentukan lembaga baru, yaitu KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan lainnya, termasuk pengadilan yang bersifat independen, telah merusak sistem hukum pidana yang ada. Apakah kesimpulan ini tak terlalu terburu-buru dan terlalu percaya diri (overconfident) karena diputuskan secara sepihak, elitis, dan eksklusif hanya oleh tim perumus, tidak melibatkan kalangan ahli yang lebih luas dengan multiexpertise, para users dalam perundangan ini, dan masyarakat yang kelak akan mendapatkan dampak dari pengaturan revisi ini. Padahal, perundangan yang hendak direvisi menyangkut hajat hidup orang banyak.

Apabila kesimpulan di atas dikaitkan dengan pernyataan halaman 158 naskah akademik yang mengemukakan, ”… kebijakan kodifikasi merupakan pilihan yang tepat dan meniadakan hukum pidana khusus yang dimuat dalam undang-undang di luar kodifikasi… ”. Oleh karena itu, yang diambil kebijakan kodifikasi tertutup dan ditetapkan menjadi pilihan oleh perumus naskah akademik. Itu artinya revisi KUHP akan melakukan penghapusan tindak pidana di luar KUHP yang sekaligus penghapusan hukum pidana khusus, termasuk di dalamnya tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang perlu diatur dalam UU yang bersifat lex specialis. Konsekuensi logis lanjutannya, bukan tidak mungkin kelak akan dilakukan penghapusan lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan khusus di bidang pemberantasan korupsi, termasuk pengadilan tipikor. Dengan demikian, pernyataan Menteri Hukum dan HAM dan pejabat lain bahwa UU Tipikor akan diatur secara lex specialis adalah tidak benar. Fakta bahwa pemberantasan korupsi dan lembaga yang diberi mandat untuk itu dilemahkan dan diamputasi adalah sesuatu yang tak terbantahkan.

Kodifikasi tertutup
Hal lain yang penting diperhatikan, model kodifikasi tertutup yang dianut oleh revisi KUHP menegaskan dan menekankan bahwa dalam suatu hukum nasional hanya ada satu sistem hukum pidana dan serta-merta meniadakan pengaturan hukum pidana di luar kodifikasi. Perkembangan jenis kejahatan dan peningkatan modus operandi tidak akan bisa diakomodasi oleh kodifikasi model tertutup.
Oleh karena itu, KPK memilih kodifikasi model terbuka karena masih terbuka ruang dan kesempatan untuk mengatur hal-hal khusus yang tidak cukup diatur dengan adanya perkembangan kejahatan selain dari yang diatur di kodifikasi. Lebih-lebih kejahatan korupsi yang masih sangat masif dan bersifat sangat terorganisasi dan kejahatan transnasional, maka dapat dipastikan dengan penanganan atas hukum acara yang bersifat umum dan strategi penanganan yang biasa-biasa saja tidak akan dapat ”menaklukkan” korupsi.

Pilihan atas kodifikasi tertutup menyebabkan pengaturan tindak pidana khusus seperti korupsi, pencucian uang, terorisme, HAM, dan narkotika diatur di dalam Buku II Revisi KUHP, kecuali tindak pidana perbankan dan perpajakan. Tim perumus KUHP menggunakan kriteria tertentu untuk menarik masuk suatu jenis tindak pidana khusus ke dalam kodifikasi, yaitu: (1) suatu perbuatan jahat yang bersifat independen; (2) daya berlakunya relatif lestari karena tak berkaitan dengan masalah prosedur atau proses administrasi; dan (3) ancaman hukumannya lebih dari satu tahun pidana perampasan kemerdekaan.

Pada kenyataannya, tim perumus tidak mendefinisikan secara utuh dan menyeluruh pengertian pokok yang dijadikan kriteria tersebut di atas; dan pada konteks tipikor ada banyak tindak tipikor yang terjadinya sangat bergantung pada pelanggaran norma di bidang hukum administrasi sehingga memengaruhi penilaian atas terjadinya tindak pidana korupsi. Dengan demikian, korupsi seyogianya tidak dapat dimasukkan ke dalam kodifikasi Buku II Revisi KUHP.

Selain itu, ketentuan yang tersebut di dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) yang sudah diratifikasi Indonesia dan juga ”katanya” digunakan sebagai rujukan revisi KUHP tidak hanya telah menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, tetapi juga menjelaskan dampak luar biasa yang disebabkan oleh kejahatan itu. Misalnya: runtuhnya kepercayaan publik pada birokrasi pemerintahan dan lembaga penegakan hukum, rusaknya nilai etika dan keadilan serta prinsip demokrasi, pelanggaran atas hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat selain menghalangi terwujudnya masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.

Karena itu, diperlukan upaya dan sarana yang luar biasa dan tentu saja diperlukan aturan khusus pidana materiil dan hukum acara yang khusus pula.

Beberapa kemunduran
Ada beberapa hal yang dapat dikategorisasikan sebagai suatu kemunduran atas pengaturan pasal tertentu di dalam Buku I KUHP, misalnya: (1) tentang percobaan pidana. Revisi KUHP mengatur perluasan definisi percobaan bukan hanya permulaan pelaksanaan, melainkan juga hingga perbuatan persiapan. Perluasan itu tidak diperlakukan untuk tindak pidana korupsi dan justru diperlukan untuk tindak terorisme; (2) dalam pembantuan. Dalam UU Tipikor, ada suatu norma bahwa pihak yang melakukan pembantuan diancam sama dengan ancaman terhadap pelaku tindak pidana, tetapi di dalam revisi KUHP norma khusus tadi justru dihilangkan.

Kemudian (3) tentang pidana dan pelaksanaan pidana. Pada revisi KUHP ternyata tidak diatur tentang sanksi pidana pembayaran uang pengganti sebagaimana dikenal dalam Pasal 18 UU Tipikor. Tujuan esensial dari UU Tipikor untuk mengembalikan kerugian negara sebanyak-banyaknya tidak dirumuskan dalam revisi; (4) rumusan Pasal 20 UNCAC yang mengatur Illicit Enrichment, yaitu peningkatan kekayaan yang luar biasa dan tidak dapat dipertanggungjawabkan belum dirumuskan sebagai tindak pidana korupsi; dan Pasal 22 UNCAC mengenai Embezzlement of Property in Private Sector justru dirumuskan sebagai tindak pidana penggelapan bukan tindak pidana korupsi.

Ada cukup banyak hal yang perlu diajukan dan semuanya ada dalam kajian KPK atas revisi KUHAP yang segera dipublikasikan oleh KPK. Akhirnya, seluruh uraian di atas dapat menjawab pertanyaan dasar yang diajukan, revisi KUHP ternyata dapat mendekonstruksi dan mendelegitimasi pemberantasan korupsi. Sifat extraordinary dari kejahatan korupsi akan berubah menjadi tindak pidana umum dan kehilangan sifat lex specialis-nya dan lembaga yang mempunyai mandat untuk melaksanakan pemberantasan korupsi akan kehilangan dasar legalitasnya seperti tersebut di dalam revisi KUHP.

Semoga kita tidak bermain-main dengan kata dan pernyataan atas suatu revisi perundangan yang menyangkut hajat hidup banyak orang dan kepentingan atas bangsa dan negara ini. Optimisme pemberantasan korupsi harus terus dihidupkan meski hujan badai dan gelegar petir korupsi terus menghantam persada dari negeri tercinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar