Rabu, 26 Februari 2014

Menyambut Kampanye Mencerdaskan

Menyambut Kampanye Mencerdaskan

Nuswantoro Dwiwarno  ;   Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA,  25 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
MENJELANG pelaksanaan Pemilu 2014 yang kurang dari 60 hari, suhu politik lokal mulai meningkat dengan kemerebakan baliho, spanduk, dan banner di sepanjang jalan. Sayang, alat peraga kampanye tersebut terpasang sembarangan di gardu listrik, terpaku di pohon pinggir jalan atau pojok perempatan jalan. Tidak saja mengurangi keindahan kota, alat peraga kampanye itu  mengganggu pandangan pengguna jalan.

Alih-alih menarik simpati warga, justru jadi sampah visual yang merampas hak masyarakat di ruang publik. Peraturan KPU tentang pemasangan alat peraga kampanye menjadi tak berwibawa karena diabaikan dan tidak ditaati  calon anggota legislatif (caleg). Apalagi batasan kampanye dan sosialisasi sangat sumir, yang mendorong caleg menyiasati celah hukum aturan kampanye.

Setidak-tidaknya ada tiga alasan atas hal itu. Pertama; imbas dari mekanisme perekrutan caleg yang instan, tidak mengakar di konstituen. Ini berakibat hilangnya ikatan moral caleg dengan partai dan justru memunculkan simbiosis partai dan para caleg. Bagi caleg, partai hanya sebagai kendaraan atas keinginannya menjadi anggota legislatif. Sebaliknya, partai mendapat keuntungan finansial dari caleg  bermodal kuat.

Kedua; persaingan ketat di internal dan eksternal partai dalam satu daerah pemilihan (dapil). Ketatnya persaingan antarcaleg dalam satu dapil mendorong mereka berlomba memasang gambar di sembarang tempat. Celakanya, pemasangan dilakukan orang suruhan yang tidak memahami peraturan KPU.

Ketiga; kalkulasi biaya berkampanye melalui penyebaran bahan dan alat peraga kampanye lebih murah ketimbang pertemuan dengan masyarakat untuk menjabarkan visi-misi program partai. Fenomena ini tidak lepas dari kepentingan praktis sebagian masyarakat dan juga kekhawatiran caleg akan banyaknya proposal permintaan bantuan tiap menjelang pemilu. Pemberian bantuan dari caleg dianggap sebagai kewajaran dan menjadi kebiasaan, sehingga tidak dianggap melanggar hukum karena masyarakat dan caleg sama-sama diuntungkan.

Regulasi Kampanye

Secara substansial, semangat Peraturan KPU Nomor 15/2013 cukup progresif  karena mengatur zonasi dan membatasi jumlah alat peraga kampanye yang dipasang. Harapannya, caleg tidak jor-joran memasang alat peraga di sembarang tempat yang mengganggu keindahan ruang publik. Sayang, peraturan baru diberlakukan mulai 29 Agustus 2013, padahal sejak 11 Januari 2013 partai  sudah boleh berkampanye dalam bentuk pemasangan alat peraga di tempat umum.

Keterlambatan regulasi juga berimbas pada mundurnya koordinasi KPU dengan pemangku kepentingan. Penegasan luasan zonasi dan jumlah alat peraga kampanye yang boleh dipasang tidak saja penting bagi pemda dan para caleg, tetapi juga bagi masyarakat yang turut terlibat dalam pengawasan.

Di samping itu, juga penting bagi Panwaslu untuk menjamin keadilan dan penegakan hukum. Sebab, dapil untuk caleg DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR, dan DPD tentunya berbeda, sehingga tidak bijak kalau perlakukannya disamakan. Sebaliknya, tanpa pengaturan  tegas, ruang publik akan tampak semrawut, tidak elok dipandang karena dijejali alat peraga.

Demikian halnya pemasangan alat peraga kampanye di titik-titik reklame yang berbayar (pajak). Secara yuridis mereka terikat dengan asas-asas perikatan yang tunduk pada hukum perdata. Sebaliknya, demi menjamin keadilan, seharusnya  tidak boleh ada alat peraga kampanye di titik itu jika titik reklame berbayar termasuk zona terlarang. Penyelesaian aspek hukum ini perlu mengingat kompetensi hukum yang mengatur berbeda. Pembiaran atas hal ini berarti mencederai rasa keadilan karena perlakuan diskriminatif pada caleg yang bermodal besar.

Ketidaktaatan pemasangan alat peraga kampenye sejatinya tidak lepas dari UU Nomor 8 Tahun 2012. Meskipun secara eksplisit disebut sebagai larangan, pelanggaran pemasangan alat peraga bukan sebagai pidana pemilu. Sanksi yang dikenakan pun hanya penertiban, sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelanggar.

Demikian halnya penegakan hukum oleh aparat pemda (Satpol PP) ketika harus menertibkan alat peraga kampanye sebagaimana diperintahkan peraturan KPU. Tupoksi mereka sebagai aparat pemda secara hierarkis taat pada kepala daerah (yang juga sebagai kader/ketua partai politik di daerah).

Kampanye Cerdas

Kampanye idealnya sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat yang dilakukan secara bertanggung jawab. Masyarakat harus jadi subjek untuk mengembalikan kepercayaan politik mereka agar tidak apatis terhadap pemilu. Ironisnya, sampai saat ini masyarakat hanya jadi objek klaim-klaim dukungan partai, bahkan dipaksa memaklumi perilaku kampanye partai yang tidak mencerdaskan.

Konstruksi kampanye efektif dan mencerdaskan dapat digagas KPU bersinergi dengan pemangku kepentingan. Misalnya, KPU memfasilitasi pelaksanaan kampanye pertemuan dialogis di masing-masing dapil dengan melibatkan tokoh/kelompok masyarakat, partai, dan  caleg. Dalam konteks ini kampanye dimaknai sebagai penyampaian gagasan yang akan diperjuangkan partai dan calegnya atas masalah dan kebutuhan di dapil itu. Sementara masyarakat dapat menilai kualitas partai dan caleg dalam menyelesaikan masalah agar layak dipilih. Dapat pula disertakan kontrak/deklarasi moral-politik sebagai ikatan caleg dan partai dengan masyarakat di dapilnya.  Dengan demikian masyarakat dapat mengawal, menagih, dan mendorong pergantian antarwaktu (PAW) caleg jika tidak menepatinya. Dapat juga disosialisasikan, partai/caleg yang mengelabui tak akan dipilih lagi dalam pemilu mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar