Rabu, 26 Februari 2014

Nalar Politik Pers Kekinian

Nalar Politik Pers Kekinian

Pangki T Hidayat  ;   Peneliti di Bulaksumur Empat, Yogyakarta;
Aktif bergiat di forum diskusi intelektual muda UNY
SUARA KARYA,  25 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
Sudah 68 tahun pers mengawal perjalanan demokrasi dinegara ini. Kala itu, pada tanggal 9 Februari 1946 beberapa wartawan berkumpul di Societeit Sasana Soeka, Surakarta atau yang kini lebih dikenal dengan sebutan Monumen Pers Nasional. Dari perkumpulan tersebut, kemudian dibentuklah organisasi para jurnalis yang disebut Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sejak saat itu, tanggal 9 Februari kemudian ditetapkan sebagai hari kelahiran PWI dan sekaligus dijadikan sebagai Hari Pers Nasional (HPN) melalui Surat Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1985.

Seiring berjalannya hal tersebut, berbagai kekerasan pun turut mewarnai perjalanan pers nasional. Bahkan, tak jarang muncul korban jiwa akibat dari pemberitaan yang disampaikan kepada publik. Misalnya saja, kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat) dan Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press). Juga, ada Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI), Ersa Siregar (jurnalis RCTI) dan Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur).

Diakui atau tidak, pers mempunyai peran signifikan dalam membentuk opini publik. Tak jarang, akibat dari pemberitaan pers yang bertubi-tubi sebuah kasus bisa menjadi prioritas utama para penegak hukum. Bahkan kasus yang telah lama terkubur, jika pers kembali memberitakan secara bertubi-tubi, niscaya kasus tersebut akan dibuka kembali.

Pasca reformasi, kebebasan pers secara hukum diakomodir melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Pers. Undang-undang ini mempertegas bahwa pers tidak bisa diintervensi dalam hal apapun terkait penyajian pemberitaan. Hal ini mempertegas posisi pers sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate), selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun agaknya, dewasa ini peran pers mulai bergeser. Banyak dijumpai penggunaan pers untuk kalangan tertentu, semisal kampanye 'terselubung' partai politik tertentu.

Hal ini jelas menjadikan posisi pers menjadi abu-abu dimata masyarakat. Dalam pasal 3 UU No. 40 Tahun 2009 tentang Pers dijelaskan bahwa, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial serta lembaga ekonomi. Kemudian, dalam pasal 6 disebutkan bahwa peranan pers adalah memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong supremasi hukum dan HAM, serta menghormati kebhinekaan. Fungsi dan Peranan pers tersebut jelas mustahil diwujudkan jika pers bersifat partisan atau memihak kelompok tertentu.

Memasuki tahun politik 2004 ini, peranan pers sangat diperlukan untuk menjaga proses sebelum dan pasca ritual elektoral, April 2014 mendatang. Hal ini tak lepas dari peran pers yang juga sebagai penjaga kondusivitas bangsa. Dalam hal ini, pers harus mampu bersikap secara bijak, dan tidak hanya tunduk pada kepentingan pemilik modal.

Bukan menjadi rahasia umum lagi jika di ritual elektoral 2014 mendatang, beberapa di antaranya diikuti oleh para pemilik media massa besar. Sebut saja, Surya Paloh dengan Metro TV-nya, Aburizal Bakrie dengan TV One dan ANTV-nya, dan Hary Tanoe dengan MNC groupnya. Oleh sebab itu, pers harus mampu menunjukkan positioning-nya secara jelas. Artinya, pers tidak boleh dalam posisi 'abu-abu' atau bahkan menitikberatkan pada kepentingan tertentu. Pers harus mampu menyajikan fungsinya dengan baik sesuai amanat UU No. 40 Tahun 1999 tersebut.

Kontrol

Pers saat ini, jauh berbeda dengan pers di zaman Orde Baru maupun Orde Lama. Kini, pers merupakan lembaga yang powerfull dan tidak bisa diintervensi oleh kekuatan mana pun, termasuk oleh pemerintah. Hal ini bisa menjadikan kerisauan tersendiri. Alih-alih menyajikan berita yang berimbang dan akurat, pers kini telah berevolusi menjadi tangan kanan para pemilik modal, yang tak lain kebanyakan juga merangkap sebagai politikus. Artinya, tagline Hari Pers Nasional (HPN) 2014 yakni 'Pers Sehat, Rakyat Berdaulat', bisa saja hanya menjadi sebuah wacana. Peluang terjadinya hal tersebut sangat besar mengingat pers kini tak lagi bisa dikontrol.

Selain itu, cukup banyak pula oknum jurnalis sering kali membuat berita tanpa memperhatikan etika jurnalistik. Oleh sebab itu, diperlukan kearifan dan kematangan berfikir insan pers untuk benar-benar menjalankan praktik jurnalistik dalam koridor yang benar. Kepentingan pemilik modal ataupun kepentingan kelompok tertentu, hendaknya tidak dibawa-bawa keranah jurnalis secara berlebihan. Karena, hal ini tentu saja akan menjadikan informasi yang disajikan menjadi tidak akurat dan berimbang.

Seyogianya, tagline HPN 2014 yang secara seremonial diperingati secara terpusat di Bengkulu, baru-baru ini tidak hanya menjadi sebatas wacana semata. Orientasi ke arah tagline 'Pers Sehat, Rakyat Berdaulat' secara nyata harus mampu diwujudkan melalui pembenahan undang-undang sehingga kepentingan pemilik modal tidak sepenuhnya mempengaruhi indepensi pers nasional. Keleluasaan pemilik modal dalam mempengaruhi obyektivitas pemberitaan pers jelas menyebabkan pers menjadi tidak sehat.

Memasuki tahun politik ini, pers secara nyata memegang peranan penting dalam menentukan kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, pers nasional harus benar-benar bersih dari kepentingan pemilik modal maupun kepentingan golongan tertentu. Sehingga, kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui pers yang sehat benar-benar murni berasal dari suara rakyat itu sendiri. Waallahu'alam bi ash-showwab!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar