Kamis, 27 Februari 2014

Nasib Presiden

Nasib Presiden

Acep Iwan Saidi  ;   Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
KOMPAS,  27 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Esai ini ditulis setelah saya membaca buku Selalu Ada Pilihan karya Susilo Bambang Yudhoyono. Buku setebal 807 halaman itu sebenarnya tidak diperuntukkan bagi pembaca seperti saya. Periksalah, judul kecilnya berbunyi: ”Untuk Pencinta Demokrasi dan Para Pemimpin Indonesia Mendatang”.

Tentu saya bukan calon presiden mendatang. Saya juga bukan pencinta demokrasi, setidaknya demokrasi yang dirayakan di negeri ini. Sejauh yang teramati, demokrasi yang kita praktikkan kiranya masih bolong di sana-sini. Ia bahkan memberi ruang bagi penistaan bahasa: atas nama demokrasi apa pun seolah bisa dibahasakan.

Namun, saya tetap membeli dan membacanya. Saya dan bangsa ini mesti berterima kasih kepada Presiden SBY sebab telah bersusah payah menulis di sela- sela kesibukannya sebagai presiden. Kita tahu, tak banyak pemimpin yang menulis. Padahal, tulisan adalah ”artefak pikiran” yang di dalamnya si penulis mengabadikan diri. Seorang presiden yang menulis adalah ia yang menambahkan ”artefak” itu ke perbendaharaan sejarah kepemimpinan, ke dalam perjalanan peradaban bangsa ke depan.

Sebagai keburukan

Sebagaimana disampaikan SBY, Selalu Ada Pilihan (SAP) adalah kumpulan pengalaman selama lebih kurang 9 tahun jadi presiden. Namun, ia ditulis selama satu tahun, yakni antara 2012 dan 2013. Dengan begitu, pengalaman yang terjadi tahun 2004, misalnya, menjadi sebuah opini tentang pengalaman di tahun lampau tersebut. Dengan kata lain, SAP adalah narasi pengalaman SBY selama 9 tahun menjadi presiden dalam perspektif satu atau dua tahun terakhir.

Di situlah SAP jadi menarik. Kita tahu, ruang dan waktu akan selalu memengaruhi psikologi penulis ketika menulis. Dan, semua pihak yang peduli pada bangsa ini kiranya bersaksi: tahun-tahun terakhir kepemimpinan SBY adalah episode begitu banyak masalah, baik sebagai ketua partai maupun presiden. Hal ini, paling tidak, bisa dilihat dari gesture SBY yang belakangan kian galau, emosional, dan acap marah-marah. Walhasil, SAP adalah rekaman pengalaman masa lalu yang ditulis dalam gundah.

Sebab itu pula nada buku ini terasa agak sumbang, sarat pengalaman negatif, juga saran-saran yang dimotivasi pengalaman demikian. SBY mengatakan, SAP adalah hak jawabnya atas begitu banyak perlakuan buruk yang dialamatkan kepadanya; SBY tak merasa perlu memberikan hak jawab tentang sesuatu yang sebaliknya. Dalam masyarakat kita, kebaikan memang seolah tak perlu lagi dikritik, sedangkan keburukan selalu meminta dibicarakan. Ini juga pendapat yang disitir SBY mengenai pers, good news is no news. Sebaliknya, yang buruk-buruk akan terhormat sebagai berita. Disadari atau tidak, SAP pun seperti itu: mengabarkan yang buruk-buruk, setidaknya nuansa ini yang membungkus keseluruhannya.

”Asalkan Tahu, Beginilah Jadi Presiden”, demikian judul Bagian II SAP. Isinya (33 artikel), umumnya berupa kisah luka: tentang kritik yang tidak berhenti, caci maki, hingga fitnah. Atas semua berita buruk tersebut barangkali kita akan mengajukan dua pertanyaan. Pertama, sebegitukah menjadi presiden. Kedua, begitukah mestinya presiden bersikap atas apa yang dihadapi dan dialaminya? Jawaban atas pertanyaan ini penting, terutama untuk presiden mendatang; sebuah alamat yang secara spesifik memang dituju oleh buku ini.

Dalam perspektif hermeneutika, segala yang mewujud di jagat ini bisa disebut teks; sebuah tenunan (textile) yang dibangun oleh relasi tanda, bahkan ketika ia masih bersifat alamiah. Selembar daun kuning yang jatuh adalah tanda. Kita mungkin bisa menafsir: di situ Tuhan sedang mengirim pesan, yang tua (kuning) pada akhirnya luruh, lalu jatuh. Dalam konteks ini, seorang presiden—juga pejabat dan tokoh publik—adalah teks. Ia hadir ke tengah-tengah dan mengemban amanat publik. Konsekuensinya, ia menjadi milik publik, seperti penari yang  tidak lagi berhak atas tubuhnya saat ia menari.

Sebagai teks

Ketika predikat presiden telah menjadi teks sedemikian, ia segera jadi makhluk tafsir. Pada titik ini, segala tindak dan perilaku presiden adalah sumber informasi yang memberikan ruang terbuka untuk ditafsir. Di sini, predikat presiden telah melampaui ranah politik. Komunikasi presiden bukan lagi komunikasi praksis-politik, melainkan telah masuk ke dalam ranah signifikasi (John Fiske, 1990). Presiden bukan sekadar sekumpulan pesan, melainkan konstruksi makna. Dalam komunitas tafsir, pemaknaan dan ketepatan makna tak pernah jadi milik mutlak seseorang atau kelompok tertentu. Itu sebabnya Fiske mengatakan: tak pernah ada tafsir salah, yang ada tafsir berbeda. Kebenaran tafsir bersifat metodologis.

Demikianlah, di hadapan 250 juta penduduk, presiden bisa jadi memiliki makna sejumlah itu pula. Di dalamnya bisa hadir pujian setinggi langit, juga cercaan securam palung di lautan. Keduanya adalah kritik, timbangan baik dan buruk. Dengan cara berbeda, ia memberi makna bagi eksistensi kepresidenan seorang presiden. Belum lagi jika kita bicara soal intrik politik. Hingga situasi terburuk yang dialaminya, seorang politisi harus paham bahwa itu adalah bagian dari risiko politik yang harus dihadapi.

Dengan begitu, seorang presiden—predikat yang meniscayakan dirinya sebagai negarawan— semestinya tidak menyikapi hal yang terburuk pada dirinya sebagai ”fitnah”, misalnya. Jika sesuatu yang serupa menimpa rakyat atau bangsanya, barulah hal itu bisa dirasakan sebagai fitnah oleh presidennya. SBY memang manusia biasa, tapi Presiden SBY bukan. Ia subyek utama bangsa. Sebab itu, mau tak mau, suka tak suka, ia harus jadi tidak biasa.

Bukankah begitu pemimpin sejati dipilih sejarah. Ketika pisau bermata dua ditusukkan Abu Lu’lu’ah ke perut Umar bin Khatab, pemimpin besar ini berkata, ”Itu bagian dari titah Tuhan,” bukan buah kedengkian manusia. Umar pun melarang membunuh si penusuknya. Khalifah ini bahkan menyuruh wudu, shalat, dan ibadah haji kepada orang yang telah berucap akan membunuh Lu’lu’ah jika Umar menghendakinya. Umar sadar betul: takdir menjadi pemimpin besar sering buruk secara fisik, tapi itu risiko yang mesti diambil. Maka, demikianlah pula Gandhi ditembak, dan Soekarno dikucilkan di akhir kehidupannya. Bukalah riwayatnya, bukankah tidak ada keluhan dari mereka?

Mereka menyerahkan kepada sejarah untuk mengambil alih hak jawabnya. Dan, sejarah ternyata memang memilihnya. SBY memilih cara lain. Tentu sah. Selalu ada pilihan, dengan begitu, menjadi judul yang tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar