Selasa, 25 Februari 2014

Netizen di Belakang Risma

Netizen di Belakang Risma

Reza Indragiri Amriel  ;   Psikolog Forensik, Analis PoliticaWave
KORAN SINDO,  25 Februari 2014

                                                                                         
                                                                                                                       
Betapa sakitnya ditelikung oleh teman-teman (baca: partai) sendiri. Ibarat sebuah keluarga, musuh terbesar justru suami atau istri yang pernah diharapkan paling sehati.

Orang yang semestinya paling erat kita jabat, justru menjadi agen makar terdahsyat. Relasi ketua dan wakil ketua yang sepatutnya harmonis, malah dihantui bayang-bayang sabotase sadis. Begitu kurang lebih gambaran situasi antara Walikota Surabaya Tri Rismaharini dan Wakil Wali Kota Wisnu Sakti Buana. Saking tertekannya batin Risma, walau tak terungkap lewat kata-kata, mukanya basah oleh derai air mata. Keinginan mengundurkan diri dari kursi wali kota pun terlontar, disusul bujukan sana-sini agar Risma membatalkan rencananya itu.

Siapa pun yang mau berempati pada Risma niscaya bisa merasakan gerahnya suasana kantor wali kota Surabaya saat ini. Kursi yang diduduki pun serasa akan mendatangkan wasir. Karena itulah, andaikan saya Risma, saya akan tetap memilih untuk menanggalkan jabatan wali kota. Betapa pun itu akan membuat—utamanya—warga kota Surabaya kecil hati. Toh, ungkapan “mengalah untuk menang” sangat mungkin menjadi situasi yang akan Risma hadapi ke depannya. Tanda-tanda ke arah situ sudah terlihat sejak sekarang.

#SaveRisma kini menjadi nama sekaligus kata kunci untuk gerakan mendukung Risma. Saat naskah ini ditulis, sudah hampir lima ribu netizen (masyarakat di media sosial) yang membubuhkan tanda tangan mereka pada petisi daring tersebut. PoliticaWave memantau puluhan ribu buzz yang riuh rendah berdiskusi tentang #Save-Risma. Jumlah netizen yang berpartisipasi dalam perbincangan terus menanjak kencang dan berpeluang menjangkau puluhan juta akun.

Angka sefantastis itu semakin kuat magnitudonya, karena digerakkan secara swadaya oleh masyarakat tanpa Risma harus ikut cawe-cawe. Anggaplah ada akun abal-abal yang ikut meramaikan suasana. Namun sistem algoritma PoliticaWave membuktikan bahwa gerakan dukung Risma di media sosial tetap pantas dikategorikan sebagai people power. Dan di balik kata “people” itu terdapat manusia sungguhan, bukan entitas siluman. Situasinya menjadi sangat mirip dengan masa pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun lalu. Jokowi menjadi primadona para loyalis garis keras yang sudi berperan sebagai prajurit penjaga sang calon gubernur.

Tanpa ampun, segala bentuk pendiskreditan terhadap Jokowi dipatahkan oleh para relawan media sosial itu. #SaveRisma dan segala bentuk aktivitas terkait di media sosial memungkinkan orang-orang muda, termasuk para calon pemilih pemula pada pemilu mendatang, memperoleh hidangan manis tentang figur pemimpin ideal. Ideal, karena Risma adalah satu dari sedikit sosok yang tidak dirisaukan oleh pencitraan.

Terpapar terus-menerus oleh hal positif tersebut, di alam bawah sadar orang-orang muda tadi akan mengendap sebuah rujukan tentang bagaimana memilih pemimpin. Endapan itu diharapkan dapat berfungsi sebagai penolak bala politik uang dan partisipasi berbasis upeti.

Risma kini sudah memiliki tiga elemen penting di jagat maya yang sangat mungkin tidak dirancang oleh tangannya sendiri. Pertama strategi, yaitu gerakan menghimpun dukungan bahkan dari masyarakat luar Surabaya yang nyata-nyata bukan konstituen Risma. Kampanye dukung Risma melalui media sosial, yang bertolak belakang dengan arus utama para anggota DPRD Surabaya, mengindikasikan perbedaan suasana kebatinan antara wakil rakyat dan rakyat yang mereka wakili.

Bahwa publik kemudian enggan mendatangi gedung parlemen, juga tak lagi bergerak sebagai parlemen jalanan, tetapi mengartikulasikan kehendak politik mereka lewat media sosial, pada dasarnya selaras dengan temuan Hansard Society. Mereka menyimpulkan bahwa masyarakat sebenarnya tidak begitu antusias lagi dalam proses pembuatan keputusan-keputusan politik. Masyarakat sebatas menginginkan keterlibatan minimal dalam proses tersebut, yakni menyuarakan apa yang mereka mau.

Kecenderungan perilaku seperti itu terfasilitasi oleh perkembangan teknologi komunikasi informasi, termasuk media sosial. Netizen memegang inisiatif penuh untuk mengutarakan kehendak mereka, sekaligus menyaksikan bahwa opini yang sama dari para netizen lainnya semakin mengkristal menjadi sebuah aspirasi yang legitimasi. Strategi sedemikian rupa berpotensi menghasilkan efek masif untuk menggempur gerakan anti-Risma yang digalang oleh enam partai politik di DPRD Surabaya.

Kedua, manuver. Amplifikasi di media sosial, seperti tersaji lewat angka-angka hasil pemantauan PoliticaWave, memperlihatkan bahwa strategi menggalang dukungan nirbatas melalui dunia maya benar-benar terealisasi di lapangan. Dinamika gerakan selamatkan Risma itu pun berhasil menyedot perhatian media-media konvensional (cetak dan siar) untuk kemudian mewartakannya. Ketiga, peranti. Hardware dan software bukan persoalan, karena hampir setiap orang kini membawa ponsel cerdas ke mana pun mereka pergi. Yang paling utama adalah brainware.

Mereka adalah para aktivis politik di media sosial. Mereka pula para perindu kejayaan Indonesia, dengan sosok Risma sebagai salah satu tumpuan asa. Asyik untuk diimajinasikan episode-episode berikutnya setelah para netizen kompak membarikade Risma. Langkah apa yang akan Risma ambil? Politisi profesional tentu ingin secara kontinu menapaki jenjang karier yang lebih tinggi. Derasnya perbincangan tentang Risma serta manisnya sentimen positif terhadap dirinya merupakan modal berharga bagi Risma untuk tidak ragu meninggalkan rival politiknya, lalu melompat ke anak tangga politik berikutnya.

Bagaimana pula nasib para politisi Surabaya yang selama ini getol ingin menjungkal Risma? Politisi dan anggota DPRD punya kepentingan untuk mempertahankan reputasi mereka dengan tidak mudah digoyahkan oleh tuntutan publik. Tetapi apa daya; muskil bagi mereka untuk mengabaikan jutaan suara netizen yang kian lama kian menggumpal.

Para wakil rakyat, pun mereka yang ingin mendelegitimasi bahkan memakzulkan Risma, harus menyimak opini dan sentimen netizen. Mudah-mudahan tidak ada netizen yang “usil” dengan membuat gerakan baru, semisal #BubarkanDPRD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar