Rabu, 26 Februari 2014

Politikus, Puisi, dan Korupsi

Politikus, Puisi, dan Korupsi

Parni Hadi  ;   Wartawan, Aktivis sosbudling, Pendiri Dompet Dhuafa Republika
SINAR HARAPAN,  25 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
“Sastrawan, termasuk penyair, adalah orang-orang yang selalu gelisah.”

Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya. Itu kata siapa? Jangan main-main, ini ucapan John F Kennedy (29 Mei 1917-22 November 1963), presiden legendaris Amerika Serikat. Ah, puisi cuma produk lamunan yang berupa permainan kata-kata indah yang mendayu-dayu, mengharu biru.

Nanti dulu, ada pembacaan puisi yang sempat membuat aparat keamanan Indonesia disiapsiagakan, yakni pada zaman Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Tepatnya ketika penyair WS Rendra (7 November 1935- 9 Agustus 2009) membaca karyanya, puisi-puisi protes terhadap pemerintah. Tercatat pada 5 Desember 1978 pembacaan puisinya di Yogyakarta dihadiri sekitar 2.500 orang. Jumlah yang fantastis. Penguasa dalam sistem tertutup mana yang tidak miris?

Puisi bukan hanya untaian kata-kata indah yang kosong, melainkan sarat makna, yang dapat mengguncang stabilitas politik dan keamanan plus syaraf kaum yang telah mapan. Puisi Rendra, misalnya, sangat peduli kaum duafa atau orang-orang miskin. Ia berseru:

Jangan kamu bilang negara ini kaya

Karena orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa

Jangan kamu bilang dirimu kaya

Bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.

Pesan seruan itu persis kata seorang kiai tetangga saya, yang mengutip Hadis, sabda Rasulullah Muhammad saw: Bisakah kamu tidur tenang, jika perut tetanggamu keroncongan?

Puisi tidak hanya mengancam kemapanan, tetapi juga mencerdaskan, mencerahkan batin, dan sekaligus menggerakkan orang untuk bertindak. Itu dulu, bagaimana sekarang, pada zaman demokrasi yang terbuka? Ketika semua orang dapat bebas berceloteh, bermain kata-kata melalui media sosial yang bebas hambatan, masihkah puisi mempunyai daya gerak?

Jawabnya tentu saja bisa, tergantung roh yang dikandung puisi itu dan kepedulian kita mendekatkan masyarakat, terutama generasi muda, terhadap karya sastra dan demikian sebaliknya.

Tolak Korupsi

Sastrawan, termasuk penyair, adalah orang-orang yang selalu gelisah melihat keadaan sekelilingnya yang dianggap tidak sesuai kata hatinya. Itu sejak dulu. Tentang korupsi, misalnya, Pramudya Ananta Toer (6 Februari 1925- 30 April 2006), sastrawan besar Indonesia, yang sikap politiknya dianggap kontroversial, menulis novel Korupsi pada zaman Orde Lama di bawah Presiden Soekarno.

Pram menyoroti munculnya bibit-bibit korupsi sebagai penyelewengan terhadap cita-cita revolusi. Novel itu berpengaruh pada hubungannya dengan pemerintahan Bung Karno. Karya itu mengungkapkan modus dan skala korupsi saat itu. Tentu, jumlahnya belum sebesar sekarang, baik pelaku maupun uang yang diselewengkan.

Karya-karya Pram punya pengaruh besar kepada sastrawan luar negeri. Salah satunya, Tahar Ben Jeloun, sastrawan kelahiran Maroko yang kemudian bermukim di Prancis. Sastrawan terkenal dengan berbagai penghargaan internasional itu menulis novel Corruption, yang diakuinya berdasarkan novel Korupsi karya Pram.

Itu dulu, bagaimana dengan sikap sastrawan dan penyair kita tentang korupsi saat ini, ketika barang haram itu semakin merajalela? Lagi-lagi, sastrawan adalah “makhluk lain” yang tinggal di atas angin karenanya bisa melihat persoalan hidup sehari-hari, termasuk korupsi, dengan lebih jeli.

Banyak penyair kini yang gigih melawan korupsi melalui puisi. Salah satunya adalah para penyair Indonesia yang bergabung dalam Forum Sastra Surakarta. Mereka menerbitkan buku berjudul Puisi Menolak Korupsi (Mei 2013), yang memuat karya 85 penyair setebal 450 halaman.

Biasa, judul karya mereka beranekaragam, ada yang garang, sarkastis, sinis, dan skeptis, tapi tak kurang pula yang lucu.

Demikian pula ragam isinya. Inilah contoh beberapa judul, yaitu “Musang Berbulu Agama”, “Selamat Datang di Negeri Setan”, “Surat Terbuka Kepada yang Terhormat Presiden Susi”, “Anas”,  “Puisi Sapi”, dan “Senjata di Selangkangan”. Berikut contoh cuplikan isinya: “Semoga Monas, bukan berarti monumen Anas!” Ada juga yang berpantun: “Bukit kapur di Singaraja, Ngakunya jujur, eh korupsi juga”.

Ada puisi yang judulnya panjang “Reportase Puisi, Klinik Layanan Iklan Korupsi”, tapi isinya pendek:

Puisi terus ditulis,

Korupsi jalan terus,

Habis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar