Sabtu, 29 Maret 2014

Clean Coal, Masa Depan Kelistrikan Indonesia

Clean Coal, Masa Depan Kelistrikan Indonesia

Wahyu Utomo  ;   Asisten Deputi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah
Kemenko Perekonomian
MEDIA INDONESIA, 29 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
INDONESIA sebagai negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia telah menunjukkan eksistensinya di perekonomian global. Walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun menjadi 5,8% pada akhir 2013 jika dibandingkan dengan 6,2% pada 2012, tingkat kepercayaan global tidaklah menurun. Kini Indonesia berada di peringkat 16 ekonomi dunia, dan peringkat competitiveness index mengalami peningkatan tertinggi di 2013 sebanyak 14 peringkat menjadi posisi ke-40 (pada 2012 pada peringkat 54).

Tak ayal, investasi asing di Indonesia kian meningkat dan memicu pertumbuhan sektor industri di Indonesia. Berdasarkan data Badan Kerja Sama Penanaman Modal (BKPM), Rp100,5 triliun investasi telah terealisasi pada kuartal ketiga di 2013 dan Rp67 triliun dari nilai tersebut merupakan investasi asing (PMA). Penguatan sektor industri di Indonesia perlu sekali didorong terutama untuk memastikan Indonesia mampu menjadi negara maju di 2025 dan tidak terjebak pada middle income trap. 

Sektor industri setidaknya memiliki performa yang menonjol jika dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya di Indonesia. Pada kuartal III 2013, pertumbuhan sektor industri menyumbang 1,25% dari total pertumbuhan ekonomi Indonesia dan merupakan kontribusi tertinggi dari keseluruhan 5,8% pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Kestabilan peningkatan investasi, khususnya pada sektor industri, itu perlu dipastikan. Salah satu kunci utama yang sangat diperlukan ialah pasokan tenaga listrik yang dapat menjamin industri berkembang dan memberikan kontribusi yang signifikan pada perekonomian nasional.

Pada 2013, jumlah pelanggan PLN meningkat sebanyak 4,4%, sementara pelanggan dari sektor industri besar meningkat hingga 8% dan sektor industri sangat besar meningkat hingga mencapai 10%. Secara umum, konsumsi listrik di Indonesia sampai saat ini masih didominasi kebutuhan rumah tangga sebesar 41%, kemudian industri 35%, dan dunia bisnis 17%.

Bahan baku murah

Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2011-2020, untuk 2020 diperkirakan kebutuhan listrik akan mencapai 328,3 Twh dengan beban puncak pada 55.053 Mw. Pada RUPTL tersebut juga direncanakan pada rentang waktu 2011 hingga 2012 untuk pembangunan pembangkit listrik baru dengan kapasitas total 54.647 Mw, dengan 31.180 Mw disediakan oleh PLN dan sisanya melalui independent power producer (IPP). Untuk memenuhi target tersebut pemerintah setiap tahunnya menargetkan setidaknya 4.000 Mw pembangkit listrik baru terbangun di Indonesia.
Pada 2011 dan 2012 PLN telah membangun 6.006 Mw. Angka tersebut masihlah di bawah target pemerintah dan PLN sendiri sehingga diperlukan percepatan di tahun-tahun mendatang, terutama untuk mengantisipasi kebutuhan setelah 2020.

Percepatan penyediaan listrik Indonesia setidaknya harus memenuhi dua persyaratan, yaitu listrik murah dan ramah lingkungan. Batu bara pada dasarnya dapat memenuhi kedua syarat tersebut. Berdasarkan kebijakan bauran energi Indonesia, share penggunaan batu bara yang pada 2005 hanya sebesar 16%, akan ditingkatkan hingga 33% di 2025. Hal itu sangat rasional mengingat batu bara merupakan sumber energi yang murah. Berdasarkan data statistik PLN 2012, biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kwh dari PLTU ialah Rp810, sementara diesel, gas, dan panas bumi berturutturut membutuhkan biaya Rp3.168, Rp2.362, dan Rp1.121.

Saat ini 41% sumber energi listrik dunia berasal dari batu bara. Batu bara merupakan bahan baku yang murah dan mudah untuk diolah menjadi sumber energi listrik. Sejumlah negara industri menggunakan batu bara sebagai bahan baku energi listriknya, berturut-turut share batu bara dalam penciptaan listrik di Tiongkok, India, Amerika, dan Jerman ialah 79%, 68%, 45%, dan 41%.

Pertanyaan berikutnya ialah apakah batu bara itu ramah lingkungan? Jawabannya ialah memungkinkan untuk ramah lingkungan. Teknologi masa kini, ternyata memberi jawaban pada penggunaan batu bara sebagai bahan baku pembangkit listrik (PLTU) yang ramah lingkungan. Teknologi yang dikenal sebagai clean coal ini mengubah paradigma bahan baku batu bara yang berpolusi menjadi ramah lingkungan. Salah satu yang mulai dipakai ialah dengan aplikasi teknologi ultra-supercritical.

Pengembangan USC

Teknologi ultra-supercritical (USC) adalah teknologi pembakaran yang beroperasi dengan tekanan dan suhu yang sangat tinggi (supercritical) mencapai 593°C yang menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi dalam sistem pembakaran dan pemanfaatan energi. Sebuah unit generator uap beroperasi pada tekanan tertentu sehingga air mendidih terlebih dahulu baru kemudian diubah menjadi uap yang sangat panas. 

Pada tekanan supercritical itu air dipanaskan untuk menghasilkan uap yang sangat panas tanpa mendidih. Efisiensi itu mampu mengurangi penggunaan bahan bakar utama (batu bara), pembuangan padat, penggunaan air, dan biaya operasi.
Jepang ialah salah satu dari berbagai negara yang telah menggunakan teknologi itu untuk menghasilkan listrik yang lebih baik secara efisien dan lebih baik un t u k lingkungan. Salah satu PLTU yang telah menerapkan teknologi itu ialah PLTU Matsuura. Di PLTU Matsuura, terdapat dua pembangkit 1.000 Mw, dengan suhu uap panas dari unit pertama ialah 538°C.

Suhu uap panas dari unit kedua yang menggunakan teknologi USC dapat mencapai 593°C. Efisiensi yang dihasilkan dari pembangkit yang menggunakan teknologi USC dapat menghasilkan lebih banyak listrik dengan membakar lebih sedikit batu bara.
Selain efisiensi dalam proses pembakaran dan penggunaan bahan bakar, teknologi USC juga menghasilkan efisiensi dalam pembuangan sisa proses pembakaran. 

Berkurangnya kebutuhan batu bara berarti menurunnya emisi SO2 dan CO2, mengurangi produksi sisa pembakaran seperti abu. Saat ini dari total kebutuhan batu bara sebesar 5 juta ton, 10% darinya (500 ribu ton) akan menjadi abu, tetapi masih dapat digunakan kembali, seperti menjadi batu bata. Pada PLTU Matsuura, hanya 4.000 ton (0,8%) dari abu tersebut akan dibuang pada area pembuangan abu yang terlindungi dan terpisah dari air laut. Di PLTU tersebut, abu yang sudah tidak dapat diolah lagi (dimanfaatkan industri lain) akhirnya akan dimanfaatkan untuk reklamasi tanah. Lebih jauh lagi, teknologi USC akan mengurangi 15% emisi karbon yang dihasilkan dari jumlah batu bara yang sama oleh PLTU pada umumnya.

Memang dalam kenyataannya, pembangunan PLTU dengan menggunakan bahan bakar batu bara masih banyak menyimpan penolakan dan kekhawatiran khususnya dari masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut, alangkah baiknya apabila pengembangan teknologi clean coal, khusus USC power plant dapat terus dikembangkan Indonesia. Selain itu, dibutuhkan peran yang besar dari pemerintah setempat untuk membantu memberikan pengertian kepada masyarakat tentang pem bangunan tersebut.

Dibutuhkan persepsi yang sama tentang pentingnya keberadaan PLTU antara masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta yang membangunnya. Indonesia membutuhkan listrik yang murah dan ramah lingkungan untuk mempercepat pembangunan ekonominya.

Saat ini momentum besar Indonesia untuk membangun, dan kehadiran teknologi clean coal dan USC menjadi jawaban untuk kebutuhan listrik di Indonesia. Pertanyaannya ialah apakah Indonesia ingin memanfaatkan teknologi tersebut atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar